Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Harapan di Sudut Pulau

Unsplash/ John Towner

Pada dasarnya, aku cuma kambing hitam yang didapat dari hasil undian. Ketika aku mengira akan mendapat tawaran untuk naik jabatan, aku justru tak tahu kalau di sanalah, lubang menganga sudah menunggu.

Aku terperosok jauh ke dalam jurang yang tak pernah sekali pun ada dalam perhitungan. Orang-orang menggunjing, menyalahkan, memaki, pada diriku sebagai papan yang patut mendapat lemparan tajam anak panah.

"Ini cuma sementara, kami akan berikan pengacara terbaik untuk Anda," janji seorang pesuruh yang mendatangiku pada waktu itu.

Lalu aku harus menelan ludah ketika yang mereka kirim hanyalah seorang pengacara tak berpengalaman, sengaja untuk benar-benar membuatku kalah dalam persidangan.

Prosesnya begitu cepat. Aku dikirim ke penjara di seberang pulau sebagai tahanan seumur hidup, atas pembunuhan pada salah seorang klien dari perusahaan tempatku mengabdikan diri.

Sekali lagi, seumur hidup.

Untuk yang ke sekian kali, aku tertawa keras dalam hati. Menertawai diri sendiri yang begitu polos dan bodoh. Menertawai takdir yang terasa seperti permainan di meja judi.

"Maafkan aku," ujar Naya ketika menyodorkan dokumen perceraian. "Kamu ditahan seumur hidup di sana. Sementara aku harus menafkahi Arga sendirian. Ini berat untuk kita semua, tapi aku dan Arga harus tetap bertahan."

Kalimat itu membuatku terdiam cukup lama. Perasaan menyesal menyeruak memenuhi dada. Aku sadar, semua yang terjadi tidak hanya membuatku hancur, tapi juga keluarga yang baru kubangun tujuh tahun terakhir.

"Aku nggak membunuh laki-laki itu. Dia sudah mati saat aku datang ke sana." Entah sudah berapa kali aku mengatakan hal ini di persidangan, tapi orang-orang tak ada yang percaya.

Kini aku mengulangnya di depan istriku, sebagai satu-satunya orang yang kuharap akan percaya. Tidak peduli apakah kami harus berpisah di sini dan aku harus menandatangani dokumen itu, aku akan merasa lega, kalau setidaknya dia memercayaiku.

"Aku percaya," ujarnya. Namun entah kenapa, aku tak melihat hal yang sama dalam tatapannya. Yang aku lihat, dia mengatakan itu agar aku menghentikan percakapan kami dan segera menandatangani dokumen di atas meja.

"Maafkan aku." Aku menatap penuh sesal pada istriku. "Dan juga, sampaikan maafku pada putra kita. Ayahnya tidak bisa merayakan ulang tahun bersama, besok dan seterusnya."

Aku tak mendapat jawaban apa pun selain suara hak sepatu yang kian menjauh. Aku tak menyalahkannya karena keputusan yang dia inginkan. Justru akan lebih menyakitkan melihat istriku memilih bertahan ketika ia bisa melepaskan diri dariku.

Esoknya, tepat sehari sebelum kepindahanku ke pulau terpencil, ibu datang. Berjalan terseok-seok dengan kaki pincang peninggalan dari penyakit polio, menemuiku dengan membawa bungkusan nasi dan banyak lauk.

"Ibu menitipkan banyak makanan pada penjaga, dan mereka bilang akan membawanya."

Berbeda dengan istriku, yang ketika datang, aku ingin mendapat banyak pengharapan padanya. Cinta, kepercayaan, dan lain sebagainya. Namun tidak pada ibuku. Aku bahkan tak mampu untuk sekadar menatapnya. Pandanganku selalu berputar-putar pada dinding ruangan, meja, atau penjaga yang tengah menunggu.

Sebelum berpisah, aku mencuri pandang ke arah ibu. Lalu yang kudapati adalah sesak di dada. Perasaan kecewa pada diri sendiri sangat menyiksa. Sementara ibu, bahkan tanpa aku menjelaskan apapun, beliau sepertinya tidak butuh penjelasan. Cintanya tetap ada, harapan dan doa-doanya senantiasa abadi di sana.

Aku mengehela napas dalam. Memandangi hutan belantara sepanjang perjalanan menuju rumah baru, dengan dinding dan sel dingin yang sudah menanti.

Tidak ada Ibu, tidak ada Naya dan putra kecilku yang menggemaskan. Tak ada kawan dan pekerjaan yang memuakkan. Tak ada apa pun.

Untuk sesaat, aku bertanya-tanya, harapan macam apa yang tersisa?***

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Arifina Budi A.
EditorArifina Budi A.
Follow Us