Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Jejak Kelam

Pixabay/AdinaVoicu

Seharusnya kulepas saja. Tidak perlu melukai perasaannya atau bersikap dingin dan ketus. Letta tidak bersalah. Letta tidak tahu apa-apa. Ya, kurasa Letta tidak tahu apa-apa.

“Apa ada gadis lain?” suara lirihnya menyimpan getar.

Aku kelu, membuang muka, menatap kejauhan. Letta tidak bisa menerima keputusan sepihakku. Seperti aku juga tidak bisa menerima kenyataan mengejutkan tentang dirinya.

“Bukan karena gadis lain. Ini soal hatiku,” tukasku.

“Mulai tidak mencintaiku?” kejarnya.

“Atau mulai bosan?” Letta yang lembut dan halus mendadak emosional. Nada suaranya meninggi.

Aku mendelik, menatap Letta dengan gusar dan nyeri yang menggigit. Sifat keras kepalanya itu mengingatkan aku pada lelaki yang sangat kuhormati, kupuja dan kujadikan panutan dalam hidupku. Masihkah perasaan itu ada padaku? Aku sendiri tidak yakin.

Letta masih menatapku, menuntut jawaban.

Aku masih diam, masih sulit mencari alasan.

Sejak mengenal Letta sebagai adik kelasku, aku sudah tertarik padanya. Dia menarik, cerdas dan keras kepala. Kedekatan kami bermula dari perbincangan kecil saat berpapasan di koridor sekolah; sering bertemu di perpustakaan; mengobrol banyak hal, lalu kami menemukan banyak kesamaan. Sama-sama suka membaca, gila menonton, tergila-gila dengan film Makoto Shinkai, maniak dengan novel detektif dan misteri, cinta mati dengan soundtrack film Barat, selalu kalap dan heboh bila ada diskon dan bazar buku murah. Alergi buku silat. Saling mencari bila tak bertemu, saling merindu bila jauh.

Sejak itu, kami jadi tak terpisahkan. Seperti Edward Cullen dan Bella Swan, Peter Parker dan Marry Jane, serta pasangan Kim Shin dan Ji Eun Tak (untuk pasangan yang terakhir ini, Letta yang memberitahuku karena aku tidak suka drama Korea).

Orang bilang, wajah kami mirip. Takdir telah mempertemukan kami sebagai sepasang kekasih. Aku sangat mencintai Letta, dulu, bahkan tergila-gila padanya. Bagiku, Letta bukan hanya sebuah nama atau sosok terkasih dalam hidupku, tapi juga pergulatan hati yang melelahkan. Menguras pikiran dan perasaanku.

Letta masih menatapku,  beku dan kelu,  menanti jawab yang tidak juga terucap. Ada bayang bening di matanya, yang siap jatuh dalam satu kerjapan mata.

“Kamu bukan gadis yang tepat untukku. Kamu ... hanya sebuah kesalahan,” kecamku kemudian, datar. Rasa nyeri itu kembali menggigitku.

“Begitukah?” desisnya parau dengan wajah terluka.

Kata-kataku pasti menyilet dalam di hatinya. Yang bisa kulakukan kemudian hanyalah membuang tatapku ke kejauhan. Aku tidak boleh lemah, tidak boleh merasa iba. Letta memang kesalahan dalam hidupku. Kesalahan itu sudah tidak bisa diperbaiki. Sudah terlalu lama tersimpan dalam lipatan waktu. Ada banyak hati yang akan terluka. Aku membenci kenyataan ini.

“Setelah semua yang kita jalani bersama, kamu bisa mengatakan itu,” suaranya lirih dan terbata. Hampir menyerupai bisikan.

“Aku baru sadar, kamu adalah gadis yang tidak pantas aku cintai,” tegasku. Aku merasa telah menjadi orang yang tak berperasaan. Keinginan untuk menyakiti perasaannya begitu kuat.

“Kenapa?”

Aku tergugu. Lidahku terlalu kelu untuk berujar. Aku cuma bisa mendesah. Mengurai ikatan resah di hatiku. Andai waktu bisa diulang, aku tidak mau dia ada dalam hidupku. Tidak ingin mengenalnya. Masih dalam diam, aku masih merasakan getar itu di hatiku. Perasaan yang kubenci. Perasaan yang melukai hati.

Sekarang aku baru menyadari, Letta memiliki mata yang tidak asing. Alis tebal yang letaknya  berjauhan dan hidung yang sama denganku. Perasaan terluka dan terkhianati itu kembali menggangguku.

“Kenapa, Genta? Kamu enggak bisa jawab?”

Shit! Gadis ini membuat kepalaku tambah berat. Padahal, aku sudah berusaha menahan perasaanku. Menahan kemarahanku, menahan mulutku jangan sampai melontarkan kata-kata yang lebih menyakitkan. Darahnya memang mengalir kuat di tubuh Letta, membuat darah di tubuhku ikut panas memikirkannya.

“Karena kamu adalah ...,” suaraku tertelan di tenggorokan. Aku tidak mungkin mengatakannya. Selain itu, aku pun tidak ingin mengungkapkannya. Biar saja tetap tersimpan dalam lipatan waktu.

Letta masih menatapku. Mata sendunya mengaduk-aduk perasaanku.

“Kamu benar, ada gadis lain dan aku sangat menyukainya,” lanjutku, tertunduk. Aku terlalu takut melihat ekspresi di wajahnya. Bagaimanapun Letta adalah gadis pertama yang membuat aku merasa senang sekaligus sedih, suka sekaligus benci, bahagia dan terluka.

Saat kutengadahkan wajah,  bayang bening di matanya telah membentuk parit kecil. Sesaat,  aku menyayangkan sikap keras kepalanya. Seharusnya dia tidak bersikeras menuntut penjelasan karena keputusan sepihakku. Agar dia tidak semakin terluka.

Aku pernah mencintai Letta dan merasa nyaman saat bersamanya karena banyak kesamaan di antara kami. Aku pernah mencintai Letta, sebelum aku tahu cinta di antara kami suatu kesalahan. Ya, sebelum aku tahu rahasia kelam yang menghubungkan kami. Sebelum Letta mengajakku ke rumahnya dan memperkenalkan aku pada ibunya. Sebelum aku tahu mereka ikut tumbuh diam-diam dalam keluargaku.

Aku ingat mata Letta, hangat dan terasa akrab. Aku ingat alis dan hidung Letta dengan garis wajah yang tidak asing, yang setiap pagi selalu kulihat saat keluarga kami sarapan pagi atau saat kupandang pantulan wajahku di cermin. Mengingatnya, membuatku selalu merasakan sesuatu menyesak di dada. Rasa kecewa, amarah, terluka, dan terkhianati berbaur di sana.

Sebelum aku mengetahui sesuatu, aku selalu menatapnya dengan pijar cinta dan penuh kekaguman. Saat ini, aku tidak bisa menatapnya dengan pijar yang sama.

“Terima kasih karena pernah mengisi ruang kosong di hatiku, walaupun aku hanyalah kesalahan buatmu.”

Suara patah Letta dengan parit kecil di wajahnya–yang sampai kapan pun tak mungkin kulupakan–adalah momen terburuk dalam hidupku sebelum dia membalik tubuhnya dan setengah berlari menghilang dari hadapanku.

Aku cuma bisa terpaku dengan perasaan membeku. Uap panas menerjang mataku. Seketika kepalaku mendongak. Aku lelaki, tidak boleh terbawa perasaan. Kelak, aku harus bisa menjaga orang-orang yang kukasihi. Aku tidak mau seperti ayahku. Sosok yang begitu kukagumi selama delapan belas tahun. Ayah yang hangat, penuh kasih, dan mencintai keluarganya. Ayah yang begitu sempurna di mataku, ternyata...

Aku mencintai Letta, tapi aku harus membencinya. Untukku, Letta adalah jejak kelam masa lalu Ayah. Letta adalah rahasia gelap dalam hidup Ayah. Aku tidak tahu, apa Ibu tahu pengkhianatan yang Ayah lakukan? Namun, aku tahu rahasia besar Ayah. Aku hanya tidak tahu, sampai kapan bisa menyimpannya?

Setelah apa yang Ayah lakukan di belakang keluarganya,  aku tidak bisa lagi menatap Ayah dengan pijar yang sama. Ayah begitu sempurna memerankan kehidupan gandanya. Begitu pandai menyimpan semua itu dari keluarganya. Sampai kami tidak menyadarinya.

Kenyataan bahwa Ayah memiliki keluarga yang lain, mengempaskan aku pada kenyataan yang teramat pahit. Menghancurkan kepercayaan, kekaguman, dan hormatku pada Ayah. Ayah telah menorehkan luka yang sempurna pada masa remajaku.

Aku mencintai Letta, tapi aku harus membencinya. Aku mencintai Letta ... adikku.*

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us