[CERPEN] Jejak Renungan di Bawah Langit Senja

Senja mulai melukis langit dengan warna jingga yang memukau. Di tepi sebuah danau yang tenang, seorang lelaki duduk termenung di atas bangku kayu yang telah usang oleh waktu. Namanya Bima, seorang pria berusia tiga puluhan yang sudah lama meninggalkan kampung halamannya. Di hadapannya, permukaan air danau tampak berkilau, memantulkan cahaya matahari yang mulai meredup.
Bima selalu menyukai senja. Ada sesuatu yang menenangkan dalam perpaduan warna dan ketenangan alam di saat itu. Namun, hari ini senja yang biasa menenangkan justru membawanya pada pusaran kenangan yang sulit ia lupakan. Satu demi satu kenangan itu menyeruak ke permukaan, mengisi pikirannya yang penuh dengan penyesalan.
Bima teringat masa-masa ketika ia masih muda, ketika ambisi dan mimpi-mimpinya begitu besar. Ia meninggalkan kampung halaman dengan semangat membara, berharap bisa meraih sukses di kota besar. Namun, dalam perjalanannya, ia mulai melupakan akar dan nilai-nilai yang telah dibangun di dalam dirinya sejak kecil. Keluarga yang dulu selalu mendukungnya, kini terasa seperti bayang-bayang yang semakin pudar di kejauhan.
“Apa yang sudah aku lakukan?” gumam Bima dalam hati, menundukkan kepala. Ia merasa terjebak dalam dunia yang tak lagi ia kenali, penuh dengan kesibukan dan kebisingan yang membuatnya semakin jauh dari dirinya sendiri. Kegagalan demi kegagalan yang ia alami di kota membuatnya semakin terpuruk, hingga akhirnya ia merasa hampa dan kehilangan arah.
Senja yang mulai berganti malam seolah menjadi saksi bisu atas perenungan Bima. Ia mengingat kembali momen terakhir bersama ayahnya, seorang petani sederhana yang selalu mengajarkan nilai-nilai kehidupan dengan tindakan, bukan kata-kata. “Hidup ini bukan tentang seberapa jauh kau pergi, tapi tentang seberapa dekat kau dengan dirimu sendiri,” kata ayahnya suatu ketika. Namun, kata-kata itu baru terasa bermakna sekarang, ketika semua sudah terlambat.
Tanpa sadar, setitik air mata jatuh di pipinya. Bima tahu, ia harus kembali. Bukan kembali untuk melarikan diri dari kegagalan, tapi kembali untuk menemukan kembali jati dirinya yang hilang. Ia sadar bahwa kesuksesan bukan hanya tentang materi, melainkan tentang bagaimana ia bisa hidup damai dengan dirinya sendiri dan orang-orang yang ia cintai.
Bima bangkit dari duduknya, menatap langit yang mulai gelap. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan angin malam yang sejuk menyentuh kulitnya. Dalam keheningan malam, Bima merasa telah menemukan sebuah keputusan penting. Esok pagi, ia akan pulang. Pulang ke kampung halaman, pulang ke keluarganya, dan pulang ke dirinya yang sebenarnya.
Dengan langkah mantap, Bima meninggalkan danau itu, meninggalkan segala kegelisahan dan penyesalan di sana. Ia tahu, perjalanan pulang ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah babak baru dalam hidupnya—sebuah babak di mana ia akan menapaki jejak-jejak baru, dengan hati yang lebih lapang dan penuh rasa syukur.
Di bawah langit senja yang beranjak malam, Bima tersenyum. Ia siap menjemput hari esok dengan hati yang telah menemukan kembali cahaya.