Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Menolak Lupa

ilustrasi lelaki yang sedang menyendiri (pexels.com/Darwis Alwan)

Lalu lintas terlihat sangat padat. Para pejuang rupiah kembali pulang untuk bertemu dengan keluarga di rumah. Rasa lelah terlihat menutupi raut wajah mereka, sedikit sayup, tetapi masih penuh harap dan mimpi sebab ada keluarga yang menjadi alasan mereka untuk bertahan. Berbeda dengan Luthfi yang memilih berlari tanpa tujuan di sebuah trotoar yang panjang.

Dengan raut wajah yang sedikit tersenyum dan sesekali datar, ia terus berlari. Tak tahu harus ke mana tujuannya berhenti, ia hanya ingin berlari, menggapai sesuatu yang tak pasti. Meluapkan semua beban di pikiran. Ia masih hancur, sangat-sangat hancur. Hanya serpihan luka yang tersisa di tubuhnya sekarang. Serpihan itu sangat tajam, menggores dan mengingatkannya kembali tentang masa itu dan duka yang lalu. Kenyataan benar-benar menyakitkan baginya.

Tiba-tiba lubuk hati Luthfi memerintahkan seluruh anggota tubuhnya untuk berhenti di sebuah jembatan yang di bawahnya terdapat sungai dengan arus yang sangat deras. Luthfi tersenyum melihatnya. Air itu seperti memanggilnya untuk melambaikan tangan kepadanya. Mereka ingin Luthfi ikut bergabung bersama mereka. Berenang bebas, merasakan ketenangan, melepas semua beban, bergandengan dengan arus, menyatu dengan air hingga hilang luka yang ia rasa sebab ikut hanyut bersama air yang mengalir.

Terdengar suara teriakan seorang perempuan di telinga Luthfi, “Mas!”

“Hanum?”, jawabnya.

“Sedang apa?”

“Ingin bertemu denganmu.”

“Untuk apa?”

“Aku sangat merindukanmu, Num.”

“Aku juga mas.”

“Wajahmu semakin bersinar, ya, Num. Apa kamu bahagia di sini?”

Hanum mengangguk perlahan sembari melempar senyum manis kepada Luthfi.

“Kalau begitu aku juga ingin di sini denganmu, dengan ibu, dua perempuan yang sangat aku cintai. Aku akan menjadi pelengkap kebahagiaanmu di sini. Kita bangun hidup yang indah di sini.”

“Memangnya tempatmu sudah pasti di sini mas?”

“Maksud kamu?”

“Bagaimana jika tempatmu lain? Berbeda dariku dan ibu?”

“Aku tak mengerti.”

“Dengan keputusanmu yang ingin mati mendahului takdir apakah itu akan membuatmu bersamaku dan ibu? Tidak, kan?”

“Aku tak peduli! Aku hanya ingin satu dimensi denganmu, Num!”

“Percuma jika satu dimensi tapi ruang kita berbeda mas. Rasanya sama saja jauh dan sangat menyiksa. Bagiku, terlebih lagi bagimu,” jelas Hanum.

“Lalu, aku harus bagaimana? Aku benar-benar tak bisa hidup tanpamu, Num! Aku tak mau kehilanganmu!”

“Mas, kamu tak pernah kehilanganku. Aku selalu ada di sini, menunggumu.”

“Kan aku juga sudah di sini bersamamu.”

“Kamu harus pulang mas.”

“Tidak!”

“Mas, tolong dengarkan aku jika kamu mencintaiku.”

“Kali ini aku tidak akan mendengarkanmu! Aku ingin bersamamu karena aku sangat mencintaimu.”

Tiba-tiba terpancar cahaya yang sangat terang menyilaukan mata Luthfi dan menghalangi pandangannya ke arah Hanum, “Hanum! Hanum! Jangan tinggalkan aku!”

Seketika cahaya itu perlahan menghilang. Mata Luthfi yang tadinya menyipit kini kembali membuka perlahan. Senyum kembali terlukis di wajahnya ketika dapat melihat jelas wajah Hanum. “Hanum!” teriak Luthfi memeluk gadis yang berada di depannya sekarang. “Kapan kamu ganti baju? Dan kenapa dahimu ada luka? Kenapa tanganmu diinfus?” pungkasnya.

“Mas, kita habis kecelakaan dan kamu baru saja sadar dari komamu satu hari.”

“Num, kamu masih hidup?”

“Aku was-was mikirin kamu, Num. Aku kira kamu sudah tiada. Aku takut kehilanganmu.”

“Mas yang koma itu kamu. Sudah lama aku nunggu. Kenapa malah kamu khawatirnya sama aku?”

“Ah sudahlah. Yang terpenting sekarang kita sudah sama-sama lagi. Satu dimensi, satu ruang, dan tak kan pernah terpisahkan.”

“Mending kamu minum dulu biar otakmu jernih dan gak ngomong nglantur.”

Luthfi pun menuruti perintah istrinya dengan mengangguk mengiyakan juga melempar senyum manis padanya. Saat Luthfi sudah menenggak habis segelas air sambil menunduk, tiba-tiba saat ia ingin kembali memandang wajah indah Hanum, ia menghilang. “Hanum? Hanum!!” teriak Luthfi.

Saat Luthfi memanggil Hanum, terdengar suara pintu yang terbuka. Terdapat sosok perempuan yang berdiri di sana.

“Hanum. Kenapa kamu ganti baju lagi?” ujar Luthfi dengan heran dan wajah polosnya.

“Ayok ikut aku. Kamu harus temani aku ke Jerman bertemu dengan klienku.”

“Kamu ganti baju dulu. Masak mau ke luar negeri pakai baju kayak begitu? Lucu kamu. Hahaha.”

“Cepat ganti baju. Aku sudah belikan baju yang bagus-bagus untukmu. Sayang jika tak dipakai,” sambung Luthfi menghampiri sosok perempuan itu.

Bukannya menanggapi Luthfi, perempuan itu berteriak kepada dokter yang ruangannya tak jauh dari kamar inap Luthfi.

“Dok, pasien pengidap skizofrenia yang kemarin mencoba bunuh diri sudah sadar," ucap seorang perempuan di depan Luthfi. “Num, jangan ngomong nglantur. Aku tidak sakit, aku tidak ingin bertemu dokter!” ucap Luthfi seketika ketakutan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Adira Putri Aliffa
EditorAdira Putri Aliffa
Follow Us