[CERPEN] Panas Takkan Lagi Membakarku

Siang ini matahari rasanya benar-benar seperti di atas kepala, panasnya menyengat kerudung hingga tembus ke kulit kepalaku. Panasnya pula menyengat jacketku hingga tembus ke kulit. Hawa panas dan kering, namun bajuku basah, basah keringat. Sepertinya panas matahari juga bisa menyengat perasaan, sebab nampaknya orang-orang mudah tersulut emosi. Lagi pula siapa yang tak emosi terjebak hawa kering panas di sekeliling, dan debu jalanan bertebaran bebas ditambah busuknya asap knalpot.
Detik di lampu merah memang tak lama, 120 detik, tapi cukup membuat kulit gosong memerah.
Aku berkali-kali mengibaskan tanganku ke leher, menciptakan angin untuk mengurangi panas. Tidak banyak membantu, tetap saja panas. Akhir-akhir ini cuaca memang tak jelas. Pagi hingga siang panasnya luar biasa, mungkin 2 jam menjemur baju bisa langsung kering. Tapi kemudian sore harinya mendung, dan malamnya turun hujan. Yah namanya cuaca.
35 menit perjalanan yang panas menuju kampus.
Masih tersisa 15 menit sebelum masuk kelas. Aku memutuskan bergabung dengan temanku di kantin kampus. Tanpa membuang waktu, 2 botol air dingin langsung aku serobot dari kulkas. Alih-alih menyiram kepala dengan air dingin, aku menghabiskan sebotol full tanpa pause. “Haus amat?” sapa Bella selesaiku membuang botol kosong. “Iya panas banget, kayak omongan tetangga sebelah”. Balasku melirik ke arah anak-anak tengil yang sibuk bergosip. Mereka selisih 4 meja dari tempat kami.
Aku seharusnya bisa terbiasa dengan ini, sebab anak-anak itu sering melakukannya. Aku tidak tuli, aku jelas mendengar percakapan mereka. Rasanya panas matahari siang ini tidak sebanding dengan omongan mereka. Aku tahu diriku tak secantik anak-anak tengil itu. Aku tahu tak sepopuler mereka, dan aku tidak punya 2.700 anak laki-laki mengejarku di belakang. Aku hanya mahasiswi cupu yang sulit bersosialisasi, gaya berpakaianku tak semodis mahasiswi di sini, kaca mata tebal minus 5 setia menghiasi mataku, dan aku tahu takkan ada lelaki yang jatuh cinta padaku. Itu sebabnya mereka gemar membicarakan betapa culun dan kasihan-nya aku.
Pandanganku teralihkan oleh Bella yang menarik lengan bajuku. “udahlah Dev! Kamu punya dua tangan, pakai buat nutup kupingmu!” ucap Bella melirik anak-anak itu.
“Oke!” balasku tersenyum pada Bella. Bisa dikatakan aku hanya punya satu teman, Bella. Dia tidak jauh berbeda denganku, selalu jadi bahan bully-an. Tapi dia selalu memasang headphone tiap kali dia mulai mendengar orang-orang membicarakannya.
Aku sempat berpikir untuk menjadi wanita yang lebih modis dalam berpakaian, lebih supel dalam bergaul, dan sedikit make-up wajah, sehingga kupingku tidak lagi panas mendengar ucapan-ucapan mereka. Tapi aku tidak bisa! entah, aku hanya tidak bisa saja melakukan itu. Aku tidak tahu caranya bergaul, aku pendiam, aku kira tidak memiliki hal menarik untuk diceritakan jadi lebih baik aku diam dan mendengarkan orang lain berbicara. Dan aku tidak memiliki banyak uang untuk membeli pakaian modis dan make-up seperti mereka. Aku tidak bisa.
Aku kira anak-anak tengil itu sesekali harus mencoba hidup sederhana (cenderung susah) sepertiku. Mereka harus mencoba merasakan berjalan di atas sepatu orang lain. Menjalani hidup seperti yang mereka anggap “cupu, miskin, kampungan, tak selevel”. Sepertinya mereka tidak akan bertahan. Jika mereka bertahan sehari atau bahkan seminggu, mungkin mereka akan jatuh tersandung di atas sepatu mereka sendiri.
Bulir keringat terus mengalir di wajahku bahkan makin banyak. Rasanya panas matahari dan panas mendengar gosip berpadu sempurna menghancurkan mood. Inginku tutup mulut-mulut mereka. Mereka sebenarnya yang cupu jika mereka sadar. Dengan menggosipi orang, mereka pikir mereka sempurna? Aku sadar penuh diriku aneh, dan aku sebenarnya nyaman jadi diri sendiri, namun kadang mendengar omongan mereka, tanpa sadar mereka telah membunuh rasa percaya diriku.
aku raih botol air dinginku lainnya, meminumnnya tanpa jeda hingga setengah botol. Benar-benar panas hari ini.
Aku memandang tiap sudut ruang kantin, mencoba mengalihkan perhatianku pada hal lain selain anak-anak tengil itu. Dan tiba saat pandanganku terhenti pada sebuah objek. Seorang pria muncul dari koridor kantin. Pernahkah kau merasakan panas yang aneh di hatimu ketika melihat seseorang?
Dia adalah Benjamin, lelaki yang membuatku memendam rasa panas ini selama hampir 4 tahun. Benjamin menghampiri kumpulan anak-anak tengil itu, bergabung bersama mereka – pacar Benjamin ada di sana juga, mereka asyik berbincang dan tertawa, menertawakanku tepatnya. Menertawakan sebuah pepatah “pungguk merindukan bulan”. Iya, aku pada Benjamin bagai pungguk merindukan bulan.
Aku sempat berpikir lagi. Mungkin jika aku cantik, kaya dan sepopuler mereka, Benjamin akan mau menjadi temanku, atau bahkan menjadi pacarku. Aku tak tahu mengapa bisa jatuh cinta dengan Benji (panggilan sayangku). Aku tahu ini salah, ini tidak seharusnya terjadi, melihat dari jauhnya perbedaan kami. Benji, dia, dia laki-laki sempurna bagiku. Rasa panas ini yang biasa aku artikan cemburu selalu datang tiap kali melihat Benjamin bersama wanita lain. Aku bahkan tak punya hak untuk cemburu.
“Dev, udah jam satu nih. Ayo masuk kelas!” ucap Bella sambil merapikan barang-barangnya di meja. Namun mataku masih terpaku menatap Benji dari kejauhan. I Love You, Benji, bisikku dalam hati.
Aku habiskan sisa air di botol. Rupanya air dingin takkan pernah bisa memadamkan rasa panas ini, rasa panas di hati. Aku tidak seharusnya mencintai Benji seperti ini, level kami terlalu jauh. Ketika Benji adalah Pangeran, aku hanyalah pelayannya. Dan kekasihnya sangat pantas untuk jadi Cinderellanya.
“Ayo Dev cepetan!” ucap Bella sambil berdiri memakai tasnya. “Ayolah Dev! Ga usah nangis gitu dong!”. Bella melepaskan lagi tasnya dan kembali duduk. Aku meraba pipiku, ada tetesan air sebesar biji jagung, aku tak sadar menatap Benji membuatku menangis. Aku menatap Bella dan dia membalasku dengan tatapan ya-ampun-Dev-segitunya-ya?
Aku memeluk Bella. “I Love Him” ucapku dalam pelukan Bella. “I know. You told me about that thousand times” balasnya. “Relakan Benji, Dev! Dia hanya mendung yang menutupi cerahmu! Dia cuma panas yang hanya akan membakarmu.” Bella mengusap punggungku untuk menenangkan.
Aku melihat Benji pergi bersama teman-temannya, tanpa menoleh sedikit pun padaku. benar kata Bella, relakan Benji. Relakan rasa panas itu pergi. Biarkan angin menerbangkan jauh rasa panasku. Biarkan hujan yang menghentikan kemarauku.
Aku tahu ketika merelakan Benji, panas takkan lagi membakar hatiku. Dan aku tahu ketika aku menutup telingaku dari omongan mereka, panas takkan lagi membakar telingaku. Biarkan hanya matahari yang memberiku panas, jangan orang lain.
Cuaca! selalu ada panas, hujan, mendung, berangin, cerah. Begitu juga kehidupan. Tanpa panas hidup akan dingin, tanpa hujan kau takkan merasakan betapa sejuknya gerimis, tanpa mendung kau takkan merindukan cerah, dan tanpa angin kau takkan merasakan nikmatnya angin meniup wajahmu.