Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Perjalanan Pulang

ilustrasi siluet seseorang (pxfuel.com)

Hujan membasuh sekujur tubuhku yang hampir habis digerogoti rindu. Aku terus berjalan menyusuri kegelapan yang dipenuhi bayang-bayang wajahmu. Di tengah berisiknya hujan dan kegelapan dadaku terasa sesak. Rasanya seperti hampir mati.

Perjalanan yang cukup panjang berhasil membawamu semakin melekat di pikiranku. Fokusku yang kau ambil alih membuat segalanya menjadi berantakan. Aku hampir tidak bisa melihat apa pun di depan. Mataku tertutup penuh olehmu. Aku mulai menangis.

Lampu merah menjadi sedikit jeda agar cahayanya tak menampakkan kesedihanku. Aku menunduk mencoba melihat kembali atas semua yang terjadi. Memori antara kita yang sebenarnya tidak pernah ada dan tidak pernah menjadi sebuah cerita panjang. Dadaku semakin sesak dan aku terisak.

Ketika larut dalam lamunanku, aku melihat sebuah bayangan yang sedang menyeberang. Bayangan yang berjalan sendirian di tengah keramaian lampu merah Kota Yogyakarta. Aku menoleh dan mencoba memastikan siapa pemilik bayangan dengan bentuk sempurna itu. Aku terkejut saat mengetahui bahwa pemilik bayangan itu adalah manusia yang sedari tadi sedang aku tangisi. Entahlah, apakah aku harus bahagia karena akhirnya bisa melihatmu lagi atau harus bersedih karena setelahnya aku harus menahan rindu yang tak memiliki kedaluwarsa itu?

Langkah kakimu yang lebar berjalan begitu saja melewatiku. Pandangan yang hanya fokus menyeberang mungkin membuatmu tak sadar bahwa aku sedang mengawasimu. Senyum lebar pada wajahmu dengan headset merah menempel di telingamu seakan menjadi bukti bahwa kaulah pemenangnya. Kau terlihat sangat baik-baik saja tanpaku. Rasanya aku sedikit kecewa.

Namun, lagi-lagi pertemuan itu hanya cerita asal-asalan yang dibuat oleh isi kepalaku. Pertemuan tanpa sengaja yang kuharap akan menjadi obat atas rasa rindu yang kupunya. Berkhayal tiba-tiba kita saling menyapa atau hanya sekadar aku yang melihatmu.

Lampu hijau menyala. Aku kembali menarik gas motorku dengan sedikit sisa tenaga yang kupunya. Bertengkar dengan isi kepalaku sendiri untuk segera menentukan pemenang antara pilihan lanjut atau berhenti. Ketidakadilan atas perasaan sepihak yang menimbulkan rindu tanpa permisi dan tak kunjung pamit untuk pergi. Ini terlalu menyakitkan untukku.

Suara hujan yang semula begitu terdengar kini tertutup oleh suaraku yang terus mencari seraya memanggil namamu. Bising kendaraan menjadi provokator betapa kacaunya aku malam ini. Lalu lintas yang sebenarnya berjalan normal tampak saling bertabrakan tak karuan. Sayangnya, justru aku yang jatuh tersungkur dan terluka terkena aspal jalanan. Orang-orang hanya melihat tanpa menolongku. Mereka bilang aku perempuan menyedihkan yang sedari tadi dibuntuti rindu hingga akhirnya ia menarikku jatuh dan menertawakanku.

Perlahan aku bangkit dengan luka yang masih menganga. Aku tidak tahu mengapa rindu yang datang begitu kejam dan menyiksaku. Bukankah ia hadir tanpa aku panggil? Mengapa ia tak kunjung pergi dan menghilang? Mustahil jika ia mampu membawa sebuah pertemuan antara aku dan kau, sementara harapan itu hanya ada padaku.  

--

Aku memutuskan untuk berhenti di satu toko. Ada sesuatu yang harus aku beli. Aku akan membeli dua tiket. Tiket untuk pergi dan tiket untuk kembali. Seorang penjaga toko mengatakan bahwa hanya tersisa satu tiket. Dengan perasaan setengah ragu aku mengambil satu tiket tersebut.

Aku kembali melanjutkan perjalanan dengan mata sembabku. Pernah aku membayangkan kita kembali bertemu. Kau berdiri di depanku dan aku hanya mampu diam menatapmu. Aku kembali melihat wajahmu, melihat senyummu, dan mendengar suaramu. Hal sederhana yang sempat hilang dan tak satu pun aku dapatkan meski hanya sepersekian detik. Saat itu, rasanya aku hanya ingin terus melihatmu. Aku tidak peduli sekalipun orang lain mencoba mengalihkan pandanganku.

Pikiranku teringat pada satu hari sebelum malam ini. Sebuah peristiwa yang membuatku setengah menyesal. Seorang teman mengabariku bahwa kita berada di satu tempat yang begitu dekat. Sialnya, kesempatan yang mungkin bakal menjadi sebuah pertemuan itu tidak berpihak padaku. Aku baru mengetahuinya setelah kau pergi dari tempat itu. Semesta belum mengizinkan kita bertemu. Lantai basement bukan tempat pertemuan pertama kita setelah perpisahan yang terjadi. Kejadian itu membawaku pada sepenggal lirik lagu band favoritku, 5 Seconds of Summer, “So close but so far away, can you hear me?”

Pikiran itu semakin berenang-renang di kepalaku. Memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang belum kudapatkan jawabannya. Pertanyaan pertama, apakah sebenarnya saat itu kau melihatku, namun, kau ragu atau justru kau sengaja mengabaikanku? Pertanyaan kedua, apakah sebenarnya jarak antara kau dan aku tidak begitu jauh? Pertanyaan ketiga, apakah memang kita sama-sama tidak mengetahui? Beberapa kali aku mencoba mencerna peristiwa tersebut. Sebuah ketidaksengajaan yang berujung pada kenyataan menyakitkan. Hanya sedikit lagi pertemuan yang kuharapkan terjadi. Naasnya hari itu aku belum beruntung.

Tiket yang tadi telah kubeli masih tersimpan aman di dalam tasku. Aku tidak tahu kapan tiket itu akan aku pakai. Yang jelas, tidak ada masa berlaku pada tiket tersebut. Aku bisa kapan pun mengeluarkannya tergantung situasi yang terjadi.

Aku penasaran bagaimana hidupmu tanpa aku. Ah, benar pertanyaan retoris, ya? Sudah pasti kau baik-baik saja. Bohong jika aku mengatakan aku juga baik-baik saja tanpamu. Pada kenyataannya aku nyaris mati bertahan melawan rindu yang semena-mena ini. Hari-hariku tidak pernah absen melibatkan bayang-bayangmu dalam hidupku.

--

Jarak tempuh dari kampus menuju ke rumahku yang seharusnya tidak membutuhkan waktu lama ini rasanya menjadi begitu panjang dan melelahkan. Bergelut dengan isi kepalaku sendiri dan mencari sebab akibat atas perasaan yang kupunya. Akhir yang sudah dapat dipastikan hanya menjadi cerita dari sudut pandangku.

Masih teringat jelas malam di mana tangan kita saling melambai. Lambaian tangan yang tak kusangka akan kau balas. Aku pikir itu hanya lambaian biasa tanpa makna apa-apa. Lambaian tangan antara dua manusia yang akan berpisah. Entah kapan pertemuan selanjutnya akan terjadi atau justru pertemuan selanjutnya sudah tidak berlaku lagi.

Fakta bahwa kehadiranmu di hidupku memang bukan untuk menetap, melainkan hanya sekejap. Durasi temu dan interaksi yang terbatas bahkan tidak memiliki cerita istimewa apa pun di dalamnya. Hanya hubungan teman seperti pada umumnya. Dengan begitu, masih waraskah jika aku memilih untuk terus?

Aku sudah memutuskan. Tiket yang kubeli akan aku keluarkan saat ini juga. Akan aku berikan kepada penjaga ketika menuju pintu masuk. Pintu masuk yang di dalamnya hanya sebuah ruangan kosong dengan cat tembok berwarna putih. Menandakan bahwa aku akan memulai sebuah kisah baru tanpa dirimu. Ruangan kosong itu nantinya akan kuisi dengan orang baru dan dengan cerita yang lebih indah. Melepaskanmu memang bukan perkara yang mudah, tetapi terus mempertahankanmu jauh lebih sulit dan menyakitkan.

Tidak ada yang perlu aku sesali atas perjalanan ini. Perjalanan pulang yang sesungguhnya telah tiba sampai pada tujuan. Aku akan mengakhiri semuanya. Ah, benar! Bagaimana aku akan mengakhiri jika semuanya tidak pernah dimulai? Yang jelas aku pamit pergi. Biarkan rindu ini bosan dan pergi dengan sendirinya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Kidung Swara Mardika
EditorKidung Swara Mardika
Follow Us