[CERPEN] Perspektif

Jantungku berhenti berdetak mengikuti kedua mata ibu yang tertutup rapat. Gemericik air yang tadinya menenangkan berubah menjadi tangisan panjang saat berita kematian ibu tersebar ke penjuru arah. Barangkali, aku masih masuk ke jajaran manusia paling beruntung sedunia. Sebab, ketika ibu berjuang melepas segalanya, mataku masih bisa menangkap senyum ibu. Akan tetapi, fakta bahwa aku adalah manusia paling menyedihkan sedunia juga tidak dapat dimungkiri. Hidupku telah berakhir.
Sebenarnya tidak ada yang berubah selain jiwa ragaku pergi entah ke mana. Aku masih mandi 2 kali sehari, menyapu lantai, mengepel kumpulan noda, bermain dengan busa, dan sederet pekerjaan lainnya. Kabar baiknya, aku mendapatkan warisan. Kabar buruknya, warisan tersebut adalah 'sosok' yang paling tidak berguna.
Heru. Dia lebih bodoh dari keledai, lebih berisik dari anjing, juga lebih menyebalkan dari nyamuk. Semula, kelahirannya dinanti-nanti, banyak harapan yang terbang tinggi. Namun, segala cinta dan perhatian menjadikan Heru compang-camping. Konon, kerusakan yang ada di dalam tubuh Heru sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Harusnya, sih, Heru pantas dibuang. Ah, tapi di mana sisi dunia yang kejam pada laki-laki?
“Mia, nasi udah habis, ya?” Heru menghampiriku yang sedang menyapu daun-daun kering di halaman rumah.
“Iya,” jawabku.
“Aduh, masak dong! Lapar, nih,” perintahnya.
Suara sapu lidi yang mengusir daun-daun kering di atas tanah seketika berhenti, aku menghela napas jengah. “Emangnya gak bisa masak nasi sendiri?”
“Masak, kan, tugas perempuan,” jawabnya santai.
Tuh, kan.
“Dih, tolol banget punya pikiran kayak gitu,” ejekku.
“ANJING!” maki Heru.
Gigiku bergemeletuk saat melihat Heru masuk ke dalam rumah sambil menghentak-hentakkan kakinya, sapu lidi tak berdosa kulempar jauh sampai menghantam pohon besar di halaman rumah, derapku tak kalah garang dari Heru. Langkahku berhenti di tengah-tengah dapur kotor rumah kami. Di sana, sosok laki-laki berusia 30-an memandangku bagai makhluk menjijikan yang ingin dia musnahkan dari dunia.
“Dasar perempuan sinting gak guna. Harusnya kau yang dikubur, bukan ibu!”
Aku merasa tertantang. “Emangnya kenapa kalau bukan aku?”
“Ya, iyalah! Ibu itu selalu manjain aku. Tapi kalau dengan kau, aku harus hidup kayak perempuan. Masak, nyuci, ngelipat. Najis banget! Emangnya aku bencong?” Matanya berapi-api, kentara sekali egonya sedang terluka.
“Astaga, Bang. Pekerjaan rumah tangga kayak gitu, kan, gak ada salahnya untuk kau kerjakan. Emangnya mau sampai kapan bergantung pada tangan perempuan?” sanggahku.
“Bergantung pada tangan perempuan katamu? Heh, sadar bodoh! Kedudukan laki-laki itu lebih tinggi dari perempuan, laki-laki dilayani bukan suruh-suruh. Kaummu itu emang harus menunduk bukan menengadah!”
Jawaban merendahkan dari mulut Heru semakin memprovokasi emosi dalam diriku. Ternyata, ketidakberdayaan ibu menyaksikan Heru lecet-lecet mengubahnya menjadi laki-laki sakit mental.
“Kau harus berbenah Mia, takutnya malah jadi perawan tua kalau ogah-ogahan melayani laki-laki,” ucapnya jumawa.
Aku melongo. Berbenah katanya?
“Aku gak salah, laki-laki—”
Aku terkekeh. “Emangnya ada perempuan yang sudi menuhin keinginan Abang selain ibu?” tanyaku skeptis.
Heru mendongakkan kepala. “Pasti ada lah! Kalau dia gak mau, aku tinggal cari perempuan baru. Gampang, kan? Buang yang lama, terus cari baru. Dengar, ya, aku akan cari istri kayak ibu. Semua laki-laki di dunia ini menginginkan perempuan penurut, bukan sok punya segalanya kayak kau!” jawabnya.
Aku terdiam sejenak. Memangnya apa yang aku harapkan dari laki-laki ini? Lagian, laki-laki 'waras' hanya ada di khayalan.
“Harusnya aku gak kaget dengar omongan Abang barusan.” Aku memberi jeda. “Hah, aku semakin takut dengan pernikahan. Kasihan ibu, hidupnya hanya digunakan untuk melayani, lalu mati.” Aku menatap mata Heru, sembari berharap semoga hatinya melunak. “Bang, udah, ya, jangan bawa-bawa ibu lagi, biarkan ibu beristirahat dengan tenang.”