Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Pigura Air Mata

Default Image IDN

Lantai teras basah seperti kemarin. Aku berjalan sedikit berjinjit setelah melepas sepatuku agar tidak membuat kotor seluruh ruangan nantinya. Aku menatap jam dinding bergambar Menara Eiffel di ruang tengah. Jarum jam menunjukkan angka 3 dan 11. Lima menit lagi pukul 3 dini hari, dan aku baru pulang setelah menghabiskan malam di rumah Riko.

Aku melanjutkan langkahku, mengabaikan wanita yang tengah tertidur di sofa dengan rambut tak tertata dan menutupi wajahnya, salah satu tangannya terjulur menyentuh lantai. Dari jarak tiga meter ini aku dapat mencium bau alkohol yang menempel di tubuhnya. Ibu … ah, bukan, wanita itu pasti habis mabuk-mabukan lagi. Tak ada rutinitas lain yang bisa dilakukannya selain menyiksa diri selepas kepergian Ayah setahun lalu.

“Kau baru pulang?” tanyanya sedang suara berat.

“He-eh,” jawabku tanpa membuka mulut sama sekali. Lantas menutup pintu kamar dan menguncinya.

Aku tahu, selepas mengajukkan pertanyaan itu dia akan kembali tertidur. Dia tak pernah benar-benar peduli padaku atau segala hal yang berkaitan denganku. Dia hanya peduli pada dirinya sendiri, pada kesedihan atau obsesinya. Ya, sebuah obsesi bahwa dia akan memiliki Ayah seutuhnya.

“Kamu tahu kalau Ibu adalah cinta pertama Ayah, begitu juga sebaliknya,” cerita Ayah di suatu sore.

“Ayah akui, Ayah tidak terlalu menyukai seorang wanita yang agresif. Tapi … Ayah merasa ada daya tarik tersendiri dalam diri ibumu. Dia berbeda dengan wanita lainnya, dan karena itu Ayah memutuskan untuk menerima lamarannya,” lanjutnya.

Aku mendelik, menatap Ayah bingung. “Jadi, Ibu yang melamar Ayah?”

Ayah mengangguk sembari tersenyum dan mengelus rambut panjangku yang tergerai.

“Ibu bilang tidak ada salahnya jika seorang wanita bertindak lebih dahulu ketimbang menyesal.”

Aku mengangguk. Berpikir bahwa itu merupakan sebuah cita yang luar biasa. Maksudku Ibu merupakan seorang wanita yang berani. Dia tidak segan-segan mengambil langkah sejauh itu hanya untuk menunjukkan cintanya pada Ayah, yang mana mungkin wanita lain sibuk berlomba-lomba untuk menarik perhatian Ayah agar bisa dijadikan pacar. Tapi Ibu tidak, dia langsung melamar Ayah dan mengajaknya menikah, dan tentu itu melalui perantara Kakek.

Sayangnya, kisah cinta mereka tak berjalan hanya sebatas itu: Ibu mencintai Ayah, meminta atau mengajaknya menikah, kemudian lahirlah aku setelah mereka menikah 2 tahun lamanya dan kisah berakhir bahagia. Tidak … tidak pernah seperti itu!

“Kamu memiliki wanita lain!” bentak Ibu setibanya Ayah di rumah.

Ayah mengerutkan keningnya, melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya, melempar begitu saja tas kerjanya ke sofa. Ayah tidak menjawab pertanyaan Ibu melainkan kembali pergi mengendarai mobil Avanza hitamnya. Sedangkan Ibu duduk di sofa, tangannya dilipat di bawah dada. Di matanya selama ini hanya ada Ayah dan Ayah. Segala hal yang berkaitan dengan Ayah menjadi begitu penting dibanding hal lainnya, termasuk aku yang masih berusia 7 tahun. Yang saat itu sedang berdiri di balik tembok sambil menenteng tangan Mr. Teddy, boneka beruang cokelat hadiah ulang tahun dari Ayah tahun lalu.

“Siapa wanita itu?” Suara Ibu terdengar lagi memukul keras gendang telingaku saat Ayah pulang larut malam.

Aku tak tahu apa yang terjadi di luar, memilih untuk tetap berada di ranjangku, bahkan menarik selimut bergambar Hello Kitty lebih tinggi hingga membuat tubuhku seakan tertelan ke dalamnya.

“Aku lelah.” Akhirnya Ayah buka suara setelah mendengar ocehan Ibu panjang lebar. Dalam hatinya, aku tahu kalau Ayah menyesal telah mengambil keputusan dengan menikahi Ibu. Tapi Ayah membantah semua itu. Katanya, jika Ayah tidak menikah dengan Ibu, maka aku tidak akan pernah terlahir di dunia. Dan satu-satunya hal yang paling berharga untuknya adalah kehadiranku di sisinya. Aku mengingatkannya kepada Almarhumah Nenek yang telah meninggal saat Ayah berusia 10 tahun. Wajahku, cara berjalanku, sampai gaya bicaraku, semuanya membuat Ayah seakan bisa merasakan keberadaan Almarhumah Nenek.

Waktu terus bergulir, dan tahun demi tahun terlewati seperti berada di neraka. Tak ada ketenangan di rumah kami, hanya ada ocehan Ibu yang terus saja terdengar saat pagi dan malam, membuat aku semakin jarang bertemu dengan Ayah karena Ayah lebih suka berada di luar dibanding mengurusi Ibu yang terus menghujaninya dengan berbagai macam kecurigaan. Dari perkara kepulangan Ayah yang terlambat satu menit atau lebih, sampai tudingan selingkuh. Dan aku sudah cukup besar untuk tahu kalau Ayah memang memiliki wanita lain di luar, bisa dibilang teman kuliahnya dulu. Mereka baru menjalin hubungan dua bulan belakangan ini setelah bertemu di acara reuni. Aku pernah diperkenalkan dengannya, dan wanita itu memang jauh lebih pantas untuk disandingkan dengan Ayah.

“Kamu gila!” bentak Ayah di ulang tahunku yang keempat belas.

“Dia pantas menerimanya!” jawab Ibu yang tak kalah tinggi nada bicaranya.

Tak ada kue tart, tak ada lilin, tak ada hadiah, dan tak ada pesta. Hanya ada pertengkaran Ayah dengan Ibu saja yang sepertinya sudah lama kumasukkan ke dalam daftar rutinitas harian atau mingguanku. Kali ini mereka bukan bertengkar soal apakah Ayah berselingkuh. Tapi mereka mempertengkarkan sesuatu yang lebih serius.

Ibu membunuh Gadis! Wanita yang dua bulan terakhir ini dikencani Ayah dan rencananya mereka akan menikah setelah Ayah mengurus perceraiannya dengan Ibu. Aku tidak habis pikir, sebenarnya apa yang merasuki Ibu sehingga dia berani berbuat hal sedemikian tidak berkeperimanusiaannya. Apakah cinta selalu menjadi hal yang mengerikan bagi orang-orang yang tak siap menanggungnya? Entahlah, karena tahun itu aku belum mengenal seperti apa cinta, dan mungkin untuk tahun-tahun selanjutnya aku tidak tertarik sama sekali untuk mengenal cinta.

Sejak hari itu, mungkin setengah tahun setelah pertengkaran mereka di hari ulang tahunku, aku tak pernah lagi melihat Ayah. Tidak ada senyum hangatnya, tak ada suara seraknya yang terdengar lembut, dan tak ada pula aroma parfum jeruk yang biasa dipakai Ayah. Semuanya lenyap beserta kekhawatiran Ibu tentang apakah Ayah akan menjadi miliknya seutuhnya atau tidak. (*)

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lily Rosella
EditorLily Rosella
Follow Us