[CERPEN] Sekeras Batu

Satu kata yang masih menyayat hati yaitu kehilangan. Entah mengapa aku masih mengingat akan hari di mana orang yang paling aku sayangi meninggalkanku demi lelaki lain. Sakit, kecewa, sedih? Semua itu telah bercampur menjadi satu. Hatiku benar-benar rapuh di situ.
Perjalanan dari Jakarta menuju Bandung sangat membekas. Waktu itu, aku bersama Shika mengelilingi kota di bawah sinar rembulan. Sungguh menyesakkan, ternyata dia mengatakan satu hal yang membuat hatiku bagai tertusuk jarum. Iya, Shika memutuskan hubungan denganku dan pergi dengan lelaki lain.
Aku menggeram mengingat akan hari itu. Bagiku itu sebuah pelajaran hidup hingga aku berubah menjadi sosok yang kaku dan keras.
Tiba-tiba, datang seorang perempuan dengan sebuah tas branded ditangannya. Wajah putih mulus serta rambut panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja.
“Permisi, Kak. Apakah ada orang lain yang duduk di sini?” Perempuan itu tersenyum kecil. Aku tebak umurnya tidak jauh berbeda denganku.
“Tidak,” jawabku singkat.
Aku tak mau banyak berbasa-basi dengannya. Sebab sejak hari itu, aku memutuskan untuk tidak berdekatan dengan kaum hawa. Aku menjadi orang yang keras dan tidak suka mendengarkan perkataan orang lain.
Hening. Perempuan itu hanya duduk diam. Perlahan-lahan angin malam mulai berembus dan merayap masuk hingga menusuk ke tulang. Sinar rembulan meredup. Aku yakin sebentar lagi hujan akan turun.
Benar saja beberapa menit kemudian, hujan mengguyur. Aku segera mengeluarkan jaket dari tas dan mengenakannya. Aku tak peduli dengan perempuan yang duduk di sebelahku. Mau dia kedinginan atau menggigil, aku tak mau tahu. Itu urusan dia, bukan urusanku. Iya, aku egois. Penting diriku tidak kedinginan.
Hujan semakin lama semakin deras. Aku sudah duduk di halte selama kurang lebih dua jam. Namun, masih belum ada bus yang datang. Aku mulai bosan dan mengeluarkan handphone dari tasku. Perempuan itu memeluk tubuhnya, ia mengigil kedinginan. Namun, aku seperti manusia yang tak memiliki hati. Aku biarkan perempuan itu kedinginan dan terus memainkan handphone.
Hingga tiba-tiba, aku dikejutkan oleh suara bersin perempuan itu. Aku melirik sebentar.
“Hm, masih baik-baik saja,” gumamku.
Aku kembali memainkan games di handphone. Selang beberapa menit kemudian, aku mendengar suara bersin itu lagi. Aku melirik kembali. Kali ini, dia terlihat ingin membicarakan sesuatu.
“Kak, apakah ada tisu?” tanyanya.
“Tidak,” jawabku.
Aku berbohong. Sebenarnya masih ada tisu di dalam tasku. Namun, kala mengingat Shika, aku menjadi enggan untuk mengasihani perempuan itu.
Diam-diam aku perhatikan, wajahnya semakin memucat. Dia benar-benar kedinginan. Namun, hatiku benar-benar sudah mengeras. Aku tak peduli dengan apa yang dirasakan oleh perempuan itu dan kembali dengan aktivitasku.
Hening. Aku tidak mendengar suara bersin perempuan itu lagi. Diam-diam kulirik ke samping dan menemukan gadis itu telah pingsan. Aku masih diam dan memperhatikan perempuan itu. Bahkan aku tidak memiliki sedikit rasa afeksi untuk menolong perempuan itu.
Hingga sampai sebuah bus lewat. Aku segera naik ke atas dan meninggalkan perempuan itu sendirian. Aku tak peduli apa yang akan terjadi dengan perempuan itu.***