Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Suatu Siang di Terminal Bus

Terminal Purabaya, Bungurasih, Sidoarjo tampak lengang pada H-3 lebaran, Minggu (7/4/2024) siang. (IDN Times/Ardiansyah Fajar).
Terminal Purabaya, Bungurasih, Sidoarjo tampak lengang pada H-3 lebaran, Minggu (7/4/2024) siang. (IDN Times/Ardiansyah Fajar).

Asap hitam kendaraan, orang-orang yang kesal kepanasan, bermandikan keringat dengan wajah kusam kehitaman dan rambut acak-acakan. Jalanan berbatu tidak rata, penuh comberan dengan lumpur kehitaman yang apabila terkena kulit akan menimbulkan rasa gatal yang amat sangat. Ada yang membuka kancing bajunya dan duduk di warung kopi berpasangan, menikmati sedikit angin, berteduh dari kepanasan yang memanggang.

Di pintu keluar terminal, bus-bus antri, mengumbar gas, menghembuskan asap hitam dari lubang knalpot yang membuat terminal yang sudah sumpek ini menjadi semakin sumpek dan berbau tidak sedap.

Suami istri penjual salak menggelar tikar, menjajakan barang dagangannya di atas tikar. Sang istri tidak segan-segan mempertontonkan payudaranya untuk menyusui anaknya yang masih orok.

Dua orang pemuda memasuki terminal, akan pulang ke kota asal, setelah sebelumnya menyelesaikan urusan mereka di kota ini, mengembalikan barang-barang dagangan yang tidak terdistribusi di kota mereka, pada pusat disribusi barang di ibukota provinsi ini. Mereka berjalan, mencari-cari bus-bus yang masih kosong untuk menumpang ke kota asal mereka.

“Mobil mana yang akan kita naiki ini, Kar?” Tanya salah seorang pemuda berrambut lurus pendek, bercelana panjang jeans, kemeja dan mengenakan sandal kulit, pada temannya seorang pemuda tinggi besar berkulit gelap dan berbadan tegap layaknya tentara, namanya Abu Bakar. Wajah mereka berdua sudah demikian lelah dan kumal setelah mengelilingi kota ini dengan jalan kaki.

“Itu saja yang masih sepi, ayo Man, cepat! aku sudah kepanasan nih!!”. Ajak Abu Bakar sambil berlari ke arah bus yang masih kosong di depan warung kopi tempat sepasang muda-mudi duduk bersantai menikmati sedikit angin siang. Usman temannya mengiringi di belakangnya.

“Di depan saja! Jangan di belakang sempit nanti!”. Perintah Abu Bakar pada Usman, yang akan duduk di kursi busa penuh bolongan berlapiskan kulit usang berwarna hitam. Usman duduk tepat di belakang bangku sopir kemudian, bau busuk memenuhi rongga pernafasannya tapi tidak diprdulikannya, menatap kosong, menerawang keluar jendela.

“Hei ! bersihkan ini, bau sekali !”. Abu Bakar yang kelihatannya suka memerintah, menyuruh seorang kernet bus untuk membersihkan tahi ayam yang ternyata adalah asal dari bau busuk yang menusuk hidung. Kotoran itu dibersihkan kemudian dengan sehelai koran yang telah dilipat-lipat persegi dan sabut kelapa oleh si kernet yang segera keluar bus setelah itu.

Dua karib itu kembali membisu, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Abu Bakar duduk di belakang Usman, kelihatan agak tidak tenang dan gelisah. Sementara Usman mencoba untuk tenang dan sabar di tengah panas dan pengapnya suasana di dalam bus.

“Man lihat suami istri itu. Kasihan sekali mereka, begitulah rakyat jelata mencari makan. Di tengah panas, debu dan asap mengais-ngais sesuap nasi yang susah sekali datangnya. Tidak peduli pada sekitarnya dan rasa malu, istrinya menyusui anaknya di tempat umum. Apakah orang-orang atas yang selalu berbicara yang “indah-indah” itu ada memikirkan nasib mereka ?”. Kata Abu Bakar memecah kebisuan, memancing percakapan dengan Usman karibnya untuk menutupi rasa bosan.

“Ah sudah biasa itu Kar. Aku bahkan pernah melihat yang lebih parah lagi, seorang tukang jagung menjajakan mulutnya untuk memuaskan berahi para sopir di atas kapal penyebrangan. Apalagi untuk keadaan sekarang, tentunya mereka lebih sengsara lagi, semuanya mahal, bahkan untuk buang air sekali pun. Perkara orang atas mau peduli kepada mereka-mereka itu, sebaiknya jangan terlalu berharap, karena biasanya kepedulian mereka timbul bukan karena itu semua”. Jawab Usman dengan nada pesimis, matanya liar menatap semua tempat dari balik jendela kaca bus ini. Ia mencari penjaja koran untuk dibaca menghilangkan rasa bosan dan muak menunggu di tempat yang pengap ini. Tapi tidak kunjung juga ditemuinya orang yang menjajakan koran di terminal ini.

“Cari apa kamu ?”. Tanya Abu Bakar, melihat karibnya yang celingukan ke sana kemari.“Tukang jual koran. Mau lihat-lihat berita”.
“Nanti saja, kalau bus akan keluar terminal pasti ada”. Kata Abu Bakar pada karibnya yang kembali membisu dan menatap ke lantai bus yang kotor penuh tanah dan lumpur yang mengering kehitaman. Mencoba tenang dalam penantian yang membosankan.

“Bang !, tolong bukakan pintunya !”. Teriak seorang lelaki kurus berkulit kecoklatan dari luar bus, ia mengenakan topi pet yang dibalik. Ia ternyata salah satu kernet bus ini, yang segera naik setelah Usman menarik pegangan pintu dari besi. Dinyalakannya mesin sambil memaki-maki tidak jelas, entah pada siapa.

Usman tidak memperdulikan makiannya. Yang diinginkannya adalah bus ini segera berangkat meninggalkan terminal yang tidak menyenangkan ini. Untuk itu ia harus menunggu lama, karena bus ini baru bergerak kalau penumpang telah memenuhi setengah bus ini.

Dua karib itu kembali membisu, menunggu dan terus menunggu, sementara itu ibu penjual salak masih tetap menyusui anaknya dan melindunginya dari asap kendaraan yang sesekali berhembus ke arahnya. SuaKarya tetap merokok seperti kereta api tidak peduli bahwa ia menambah polusi di terminal yang sebelumnya telah banyak polusi ini.

***

Akhirnya bus itu bergerak dengan penumpang setengah penuh, mengeluarkan bunyi yang memekakkan telinga. Tidak jauh bergerak, bus itu kembali berhenti di belakang bus-bus lain yang harus antri untuk keluar dari terminal ini.

Kernet itu kembali memaki-maki bus-bus dan pengemudi yang berada di depannya.
“Memang bajingan ! mereka itu, berhenti seenak perutnya, tidak perduli sama yang lainnya yang harus antri cukup lama. Sudah jelas-jelas orang kesal menunggu, kadang mereka malah mainan HP (Handphone/Telepon Genggam) ria di depan sana !”.

Seorang penjaja koran naik keatas bus, menawarkan korannya yang kebanyakan didoKarasi oleh koran-koran bergambar perempuan berbikini dan celana dalam dan cerita-cerita cabul.

“Indonesia Baru, ada ?”. Tanya Usman pada penjaja koran bertubuh kurus dan suka ngomong asal-asalan itu.

“Wah, tidak ada bang, adanya Cuma ini”. Ia menyodorkan sehelai koran dengan headline seorang perempuan berpakaian sangat Karim, berpose menantang, membangkitkan berahi yang melihatnya. “Tapi saya bisa ambilkan koran lain di depan, Media Pembebasan atau Rakyat Bersatu?”.
“Rakyat Bersatu, saja”. Pilih Usman dan penjual koran itu segera turun, berlari ke kios koran. Beberapa orang laki-laki berjaket loreng, belang-belang hitam jingga, terlihat berkeliaran mengelilingi bus-bus berteriak-teriak arogan.

Tidak lama kemudian penjual koran itu muncul kembali, menyodorkan koran lewat jendela. Usman membayar dengan selembar uang limapuluh ribuan.

“Wah, uang kecil saja bang !”. Kata penjaja koran itu keberatan, setengah berteriak. Ia capek harus berlari bolak-balik lagi.

“Wah, kebetulan tidak ada tuh”. Kata Usman setelah merogoh-rogoh seluruh kantong yang dimilikinya.
“Tambah media saja ya !”. Pinta penjual koran itu.
“Tidak, tidak ! kembalikan saja sisa uangnya !”. Teriak Abu Bakar dengan nada memerintah. “Kembalikan ya ! Kalau tidak awas kau !”.

Tukang koran itu kembali berlari dengan wajah kesal. Panas semakin memanggang dan membuat wajah seluruh penumpang menjadi memerah seperti kepiting rebus. Laki-laki berjaket loreng jingga masih saja mengelilingi bus-bus, berteriak-teriak arogan, memamerkan kejantanannya pada penumpang yang berjenis kelamin perempuan.
Tak Lama kemudian penjaja koran itu kembali, menyodorkan uang kembalian lewat jendela kaca.

“Terimakasih”. Kata Usman setelah menerima uang dari balik jendela kaca.
“Memang harus dikerasi orang-orang seperti ini”. Kata Abu Bakar tiba-tiba. “Kalau tidak keras, bisa-bisa kita dilindas mereka”.
Usman tidak berkata apa-apa. Ia tenggelam dalam untaian berita-berita di koran. Headlinenya tentang mahasiswa dan rakyat yang berunjuk rasa dengan cara aneh-aneh.

“Ah, sudah biasa ini”. Katanya membuka lembaran koran lainnya. Di halaman kedua ia berhenti, melihat-lihat gambar yang dipasang di sana dan tulisan-tulisan yang dicetak hitam tebal.

Tiba-tiba Abu Bakar kembali bersuara keras mengomentari berita yang dilihatnya sekilas. “Dunia sudah terbalik rupanya! Yang jahat dibilang baik, yang baik dibilang jahat!”. Usman tidak peduli dan membuka halaman-halaman lain dan setelah bosan diserahkannya koran itu pada Abu Bakar.

“Nih baca sendiri !” Disodorkannya koran pada Abu Bakar yang ada di belakangnya. Sekarang Abu Bakar yang tenggelam membacai berita, membisu.

Bus itu bergerak lagi, sudah hampir keluar pintu terminal. Seorang perempuan bermake-up tebal dan pakaian serba ketat memperlihatkan lekukan tubuhnya, menaiki bus, ia duduk di kursi paling depan di sebelah tempat duduk sopir. Seorang laki-laki berjaket loreng hitam jingga menyusul naik setelah perempuan itu. Laki-laki berkumis jarang-jarang tapi panjang itu duduk di sebelah perempuan yang bermake-up tebal. Mencoba menggoda perempuan itu, menempelkan bahunya ke bahu perempuan itu, mendekatkan wajahnya ke wajah perempuan itu yang membisu ketakutan, tidak berani menjawab ataupun menatap wajah penggodanya yang nekat itu.

“Adik saya ini bang”. Kata kernet yang duduk di belakang kemudi pada laki-laki itu, yang tidak mempedulikannya dan tetap nekat menggoda, sementara tangannya mulai bergerak liar menjalari tubuh perempuan itu.
“Adik saya ini bang!”. Kata kernet itu lagi setengah berteriak. Perempuan itu melengahkan wajahnya, memperlihatkan ketidaksukaannya pada godaan yang nekat dan kasar itu. Laki-laki itu keluar dari bus kemudian, karena tidak berhasil dengan godaannya yang diiringi dengan hembusan nafas lega perempuan itu.

Usman dari tadi diam saja, matanya menatap tajam pada laki-laki berjaket loreng hitam jingga itu. Sekarang matanya mengamati perempuan itu.

Bus bergerak lebih maju lagi dan berhenti tepat di depan pintu keluar terminal ini. Laki-laki tadi terlihat berjalan bolak-balik dengan dada membusung di depan kaca bus, tampaknya ia telah melupakan kegagalannya yang tadi. Mencoba mencari mangsa lagi untuk digodanya. Karena tak juga menemukannya, ia pergi ke tempat orang-orang yang menghitung uang setoran bus-bus yang keluar masuk di depan pagar pintu keluar terminral di belakang parit yang airnya berwarna hitam dan menebarkan bau busuk. Meminta bagiannya dan kemudian bolak-balik lagi berteriak-teriak memamerkan kejantanannya, mencari mangsa-mangsa lain untuk digoda.

Seorang perempuan, bertubuh lebih montok daripada perempuan yang digoda laki-laki itu tadi. Terlihat berjalan dipinggir jalan, juga berpakaian ketat, memamerkan dadanya yang menonjol, lekukan tubuhnya yang lain.

Laki-laki itu tanpa membuang waktu lagi, segera mendekati perempuan itu dan menggodanya dengan nekat dan kasar lagi.

“Halo dek, namanya siapa?”. Katanya semakin mendekatkan wajah dan tubuhnya pada perempuan itu sambil berjalan menjajarkan diri. Perempuan itu tidak peduli dan tetap berjalan dan menatap lurus ke depan, dengan langkah dipercepat.
Lelaki itu semakin nekat, mulai meraba pantat dan punggung perempuan itu, yang disikapi dengan teriakan marah perempuan itu.

“Kurang ajar ! Bajingan ! Setan ! Anjing ! Pergi sana !”. Ia mengayunkan tasnya sekuat tenaga, mecoba mengusir laki-laki pengganggu yang tidak disukainya. Laki-laki itu menghindar, mundur teratur, kapok dengan kenekatannya. Menyerah, ia kembali duduk di dekat orang-orang yang menghitung uang, menumpukan kaki kanannya pada kaki kiri, bersandar di dinding batu tidak rata dekat pagar besi hitam terminal, di bawah payung besar kumal berwarna jingga, merokok dan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Agen-agen bus lainnya berteriak-teriak mengajak orang-orang untuk naik bus, wajah mereka telah kusam kehitaman, terkena asap kendaraan bercampur keringat dan debu. “Ayo Buk ! Pak ! Bang ! Dek ! Kampuang! Kampuang! Kampuang!”. Teriak mereka berulang-ulang pada orang-orang yang lalu lalang. Ada beberapa yang naik tapi lebih banyak yang menolak untuk naik walaupun sudah diajak dengan setengah memaksa, diantaranya seorang wanita berjilbab berkacamata.

Usman menatap tajam pada laki-laki berjaket loreng hitam jingga yang duduk di seberang kaca jendelanya dengan perasaan geram. Ia tidak suka pada sikap arogan laki-laki itu tapi tidak berani berbuat apa-apa. Abu Bakar masih tetap sibuk membolak-balik halaman koran, tidak peduli dengan peristiwa yang baru saja terjadi.

Sudah cukup lama bus ini berhenti di pintu keluar terminal, belum ada tanda-tanda akan berangkat, tidak peduli pada semua penumpang yang sudah kesal, menunggu sampai keriting, terpanggang dalam bus yang sumpek dan bau ini.
Kernet yang duduk di belakang kemudi tadi, telah menghilang entah ke mana, sekarang hanya perempuan muda itu dan seorang ibu-ibu setengah tua berselendang yang duduk di depan. Keduanya menunggu dengan wajah beku. Menunggu sopir yang akan menjalankan kendaraan tapi belum juga datang setelah sekian lama.

***

Agak lama barulah si sopir muncul dengan bibir kehitaman bekas kopi dan menjepit sebuah tusuk gigi. Rupanya ia baru selesai makan. Dengan acuh sopir berkumis bapang itu membuka pintu bus tanpa pertolongan dan duduk di belakang kemudi, mengamati wajah-wajah penumpang bus, setelah itu dinyalakan dan dijalankannya bus meninggalkan terminal yang panas, bau, sumpek dan dipenuhi lumpur kehitaman.

Langit berwarna jingga, pertanda hari sudah senja, setelah berjam-jam menunggu, akhirnya para penumpang bisa bernapas lega barang sesaat. Nanti mereka juga harus menahan napas, karena bus harus mendaki tebing-tebing berbatu untuk sampai ke kota tujuan, biasanya banyak bus-bus yang terguling masuk jurang atau menghantam bukit karena tidak mampu melewati pendakian yang sangat curam.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Harsa Permata
EditorHarsa Permata
Follow Us