[CERPEN] Tangisan Rahasia

- Orang dewasa sering menangis sendirian tanpa suara, membuat penasaran.
- Melihat banyak orang menangis di kampus, termasuk dirinya sendiri.
- Diriku merasa sulit mengelola emosi dengan baik, ingin menemukan seseorang yang bisa diajak menangis tanpa rasa malu.
Diriku pernah bertanya dalam hati mengapa ketika dewasa selalu menangis dalam diam. Selalu menangis sendirian tanpa suara. Hal itu sangat membuatku penasaran karena sewaktu kecil semua manusia menangis dengan keras sampai semua orang di dekatnya menjadi tahu akan tangisan itu.
Entah jawabannya apa, tetapi diriku mungkin sedikit mengerti akan jawabannya. Tetapi jawaban yang pasti masih belum diketahui.
Hari ini diriku seperti biasa menempuh jarak cukup jauh dari rumah menuju kampus menggunakan sepeda motor. Terdapat janji pertemuan bersama teman yang baru dikenal karena program Kuliah Kerja Nyata dulu. Tentu tak sabar dan menunggu dengan senyum untuk menemui mereka. Karena diriku memang suka jika terkait bertemu dengan orang.
Beristirahat sejenak di sebuah gedung kampus, menunggu sampai waktu pertemuan itu tiba. Di sebelahku ada seorang perempuan yang tengah menangis ditemani oleh kedua temannya. Sang temannya hanya bisa menunggu sampai tangisan itu selesai. Lega rasanya dia tidak menangis sendirian, setidaknya ada yang menemaninya.
Diriku sangat mudah merasakan perasaan orang lain. Jadi selalu menghindari film sedih dan tidak mendengarkan lagu yang pilu. Karena tidak ingin memunculkan rasa sedih, cukup situasi nyata saja yang membuatku merasakan kesedihan. Air mata kesedihan bukanlah hal yang menyenangkan.
Anehnya, ketika mulai berjalan menuju tempat pertemuan. Diriku melihat kembali perempuan lain yang menangis berjalan sendirian sambil berusaha menutupinya. Tangisan yang tak bisa ia tahan kembali sepertinya. Diriku tentu tahu akan hal itu tapi berpura-pura tak melihat dan berjalan melewatinya. Aku hanya berpikir mungkin saja ia tak nyaman dilihat oleh orang lain bahwa ia menangis.
Hari itu sangatlah aneh mengapa diriku melihat banyak orang yang menangis. Sebuah kebetulan yang tak biasa.
“Naraa! Kamu udah lama di kampus? Kebetulan banget ketemu, janjiannya disana ya tinggal jalan sebentar dari sini,” ucap Rina teman sekelasku yang tiba-tiba muncul.
“Belum lama, kayanya gak bisa kumpul semuanya ya.”
“Iya kayanya gak bisa datang semuanya, Nita katanya udah di sana loh.”
Begitu sampai, tentu diriku menyapa Nita dengan ramah dan senyuman. Dan menunggu teman-teman lainnya. Tak ada hal yang salah pada detik itu, sehingga diriku ceria seperti biasanya. Aku pun bercerita telah bertemu orang yang menangis hari itu.
“Aku pernah menangis pada saat selesai ujian mandiri, tetapi tau tidak karena Nara mengelus kepalaku jadi susah untuk berhenti untuk menangis saat itu. Kayanya aku belum pernah deh liat Nara nangis.”
“Ehh, pernah deh pas KKN kemarin kamu nangis pagi-pagi, tapi aneh. Soalnya kamu nangis tapi malah senyum juga,” tambah Rina.
“Ohh ya?” Diriku berpikir setelah mendengar pernyataan itu.
Ingat sekali seperti biasa tangisan itu hasil dari kesedihan yang sudah tertumpuk sehingga tak bisa ditahan. Saat itu diriku menangis dan tersenyum untuk menyatakan tidak apa-apa.
Bahkan diriku juga tak mengerti mengapa tangisan itu tiba-tiba datang. Tapi ternyata karena terdapat beberapa masalah yang datang sekaligus. Saat itu seperti biasa diriku telat membayar uang kuliah sehingga tidak dapat ikut bergadang seperti teman lainnya untuk memilih mata kuliah. Ditambah memendam rasa kesal atas perlakuan seseorang.
Diriku bukanlah orang paling baik sedunia, tetapi hanya manusia yang berusaha untuk sebisa mungkin menjadi orang baik. Tetapi terkadang menjadi baik itu tidaklah mudah. Arti lain dari senyuman di akhir tangisan itu juga menyiratkan hanya dirikulah yang malu untuk menangis di depan orang lain. Hanya saja terbiasa menangis dalam diam dan rahasia.
Tak lama, semua teman telah berkumpul dan mulai memesan makanan di sebuah restoran dekat kampus itu. Sebenarnya tentu diriku awalnya senang bertemu mereka tetapi datangnya kesedihan memang tak bisa diprediksi.
“Nara orangnya aneh ya, aku belum pernah ketemu orang kaya Nara,” Tiara memotong di saat pembicaraan diriku dengan Rina tengah berlangsung.
“Orang seperti kamu pasti selalu marah meledak-ledak ya nanti, serem banget pasti, karena kamu selalu menggangguk setuju dan tersenyum. Kamu orangnya kok pendiam ya. Kalau aku gak bisa deh kayak kamu. Kita semua gak boleh berisik tahu, kaya Nara dong diam,” Risqi yang datang terakhir pun ikut berkomentar panjang.
Terkejut akan omongan itu, diriku yang sedang berbicara dengan antusias menjadi diam lalu tersenyum tipis terpaksa menyembunyikan perasaan sebenarnya. Karena mereka selalu memandangku selalu salah. Setelah kedatangan Tiara dan Risqi pembicaraan berubah hingga membicarakan teman lain yang tidak datang.
Jujur diriku memang menjadi pendiam bersama mereka karena diriku tidak suka memfitnah ataupun membicarakan orang lain. Ditambah lagi perkataan mereka selalu menyakitkan bagiku karena perspektif dan pandangan mereka tentangku. Menganggap diriku seperti ini dan itu padahal tidak benar sama sekali, merasa paling mengenal kepribadianku padahal mereka tak pernah dekat denganku.
Saat itu diriku langsung membatalkan kegiatan selanjutnya bersama mereka. Karena diriku rasanya tak bisa lagi menahan kesedihan hari itu. Dan benar saja, akhirnya menangis saat mengendarai sepeda motor saat perjalanan menuju rumah. Hanya saja mereka terlalu menyakitkan. Bahkan Rina dan Nita pun seakan menjadi jauh dariku karena omongan yang salah itu.
Diriku selalu bertanya-tanya mengapa seseorang bisa benci dan iri tanpa alasan hingga menyudutkan pada semua kata menyakitkan. Walaupun telah menjelaskan bahwa tak usah iri dan diriku bukan seperti pada pikiran mereka, tetap saja mereka tak mendengar.
Biasanya dalam acara perpisahan diriku tidak menangis seperti layaknya perempuan lain. Temanku pun pernah bertanya heran mengapa diriku tak ikut menangis. Tapi laki-laki juga kebanyakan tak ikut menangis jadi ku pikir aku baik-baik saja. Terkadang muncul rasa bersalah karena tidak ikut menangis seperti yang lain. Tapi kebiasaan itu datang, hanya terbiasa untuk menahannya.
Terbesit teringat kisah laki-laki kuat seorang petinju menang dalam pertandingan dan menangis pada salah satu wawancaranya. Dan menyampaikan bahwa menangis itu tidak apa-apa, hal ini karena ia telah kehilangan sahabatnya yang tak pernah menangis.
Kisah lain juga mempengaruhiku terdapat seseorang yang kehilangan sosok yang ia cintai. Dan berkata ia menyesal hanya pura-pura tak melihat ketika pasangannya menangis. Jika waktu dapat diputar kembali, ia ingin sekali menemani pasangannya dan menangis bersama, menghadapi lautan kesedihan bersama. Ia berpikir mungkin saja hal itu bisa mencegah pasangannya pergi. Kisah-kisah tersebut akhirnya menyadarkanku.
Usiaku bertambah terus menerus dan menjadi dewasa, terbiasa melakukan segala hal sendiri. Tapi tersadar masih belum bisa mengelola emosi dengan baik. Bahwa menangis di depan orang lain itu tidak apa-apa tidak membuatku menjadi lemah. Mengungkapkan rasa marah dan kesal itu tidak apa-apa tidak membuatku menjadi orang jahat. Ketika hatiku tersakiti, tak membalasnya dengan senyuman pun tidak apa-apa.
Tidak mungkin diriku untuk bisa menangis di depan banyak orang. Mungkin entah kapan diriku bisa menangis dengan nyaman di depan orang lain. Tapi setidaknya diriku tak akan menyerah untuk terus berharap bisa menemukan orang itu. Seseorang di mana diriku dapat menangis di hadapannya tanpa rasa malu dan salah. Hanya satu saja cukup untukku.