Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Nggak Apa-Apa, Kata Mereka

ilustrasi tindakan kekerasan (pexels.com/@cottonbro/)
ilustrasi tindakan kekerasan (pexels.com/@cottonbro/)
Intinya sih...
  • Anak perempuan pertama selalu kuat, tapi sebenarnya merasa kesepian dan lelah di kosan.
  • Merasa tertekan dengan ekspektasi keluarga, teman hanya memuji kekuatan tanpa mengerti perasaannya.
  • Akhirnya belajar untuk jujur pada diri sendiri, menolak beban tambahan, dan memberi izin untuk istirahat tanpa rasa bersalah.

Kalau kamu tanya ke orang-orang, mereka bakal bilang aku anak yang kuat. Anak perempuan pertama yang selalu pulang dengan nilai bagus, senyum lebar, dan tangan penuh oleh-oleh. Tapi nggak ada yang pernah tahu gimana rasanya jadi aku waktu sendirian di kosan, ngerasa dunia tuh kayak ruangan kosong yang gema kalau aku nangis.

Aku merantau ke kota ini empat tahun lalu. Katanya, demi masa depan. Demi jadi contoh buat adik-adik. Demi bisa banggain Bapak dan Ibu. Dan aku nggak pernah bilang enggak. Aku nurut. Selalu nurut. Soalnya, kalau aku nolak, siapa lagi yang mereka bisa andalkan?

Awalnya aku pikir aku bisa. Aku tuh anak yang tangguh, katanya. Tapi ternyata, tangguh itu bukan jaminan buat nggak capek.

Setiap hari aku bangun, masak sendiri, kerja sambilan sebelum kuliah, lalu nugas sampai tengah malam. Weekend? Aku nulis skripsi. Atau ngirim uang ke rumah. Atau pura-pura ketawa di video call biar Ibu nggak khawatir.

Kadang aku coba cerita ke teman. Tapi responnya cuma,
"Ya ampun, elu mah kayaknya sibuk terus deh. Hebat."
Atau, "Namanya juga anak pertama. Udah biasa kan?"

Padahal aku cerita bukan buat dipuji. Aku cerita karena aku pengen dimengerti. Tapi mereka nggak ngerti. Mereka pikir aku kuat, jadi mereka pikir aku baik-baik aja. Dan semakin mereka mikir aku kuat, semakin aku takut buat bilang kalau aku sebenernya udah nggak sanggup.

Aku pernah nangis seharian, nggak keluar kamar. Nggak angkat telepon dari Ibu, nggak bales chat siapa pun. Di kepala aku cuma satu suara: "Kamu gagal. Kamu nyusahin. Kamu nggak berguna." Aku nggak tahu suara itu dari mana, tapi keras banget. Dan nggak berhenti.

Pernah juga aku jalan kaki dari kampus ke kosan, padahal hujan. Nggak karena pengin sok dramatis, tapi karena aku ngerasa kalau aku pingsan di jalan, mungkin itu satu-satunya cara orang-orang bakal sadar kalau aku capek. Tapi ternyata nggak ada yang lihat. Nggak ada yang peduli.

Aku bahkan pernah ngebatin, “Kalau aku ilang, siapa ya yang bakal nyari?”

Hari itu, aku duduk di lantai kamar mandi, punggung nempel tembok, dan air keran masih nyala. Rasanya kayak pengin berhenti hidup, bukan karena pengin mati, tapi karena pengin istirahat. Sekadar rehat dari semua ekspektasi. Dari suara dalam kepala. Dari peran anak pertama yang nggak pernah boleh salah.

Dan di situ, aku akhirnya jujur sama diri sendiri:
Aku capek.
Aku takut.
Dan aku kesepian.

Setelah itu, aku mulai pelan-pelan nulis perasaan di notes HP. Nggak buat dibaca siapa-siapa. Cuma buat nyimpen semua yang nggak bisa aku omongin. Kadang cuma satu kalimat: "Hari ini pengin peluk."
Kadang panjang banget, kayak surat buat versi kecil dari diriku yang dulu, yang masih polos dan belum kenal dunia seberat ini.

Aku juga mulai bilang “nggak” ke beberapa hal. Nolak kerjaan tambahan. Nolak temen yang cuma datang kalo butuh. Dan buat pertama kalinya, aku izinin diriku istirahat tanpa rasa bersalah.

Nggak semua berubah seketika. Aku masih sering ngerasa hampa. Tapi sekarang aku tahu: aku nggak harus terus kuat. Aku nggak harus selalu senyum. Dan kalau dunia nggak ngerti aku, nggak apa-apa. Yang penting, aku belajar ngerti diriku sendiri.

Karena ternyata, penyelamat pertama dari kelelahan... adalah diri sendiri yang berani bilang, "Aku butuh istirahat."

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us