Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Tangisku di Stasiun

Default Image IDN

Aku masih ingat, dia yang bersedia menemani selama perjalanan ke stasiun itu. Kesediaan itu entah atas dasar apa, yang jelas Aku harap sebagai teman, tapi aku sudah tahu dia memiliki harapan lebih. Kenyataan yang sulit aku ingin pungkiri.

Lama kereta datang, akhirnya kami duduk di ruang tunggu. Itu adalah waktuku dan dia mulai bercerita hal-hal yang remeh temeh dan sampai menceritakan hal yang rumit untuk aku ceritakan.

Sekarang tak banyak yang bisa aku ingat, apa yang menjadi topik ketika itu, yang masih aku ingat ketika itu adalah aku sedang lari dari masalah dan aku ingin pergi jauh. Aku tahu nasihat yang akan dia berikan seperti itu

“Hadapi masalah, masalah tidak akan selesai kalo kamu menghindarinya terus. Bereskan!”. Jawabnya dengan yakin.

Karena orang tidak tahu masalah aku serumit apa, orang lain pasti punya masalah dan mungkin lebih besar, tapi ini adalah tentang aku dan masalahku yang tidak akan selesai. Yang hanya akan selesai jika aku akhiri dan pergi, atau aku tetap tinggal tapi dalam kondisi perlahan rapuh  dan hancur. Aku mengatakan :

“Hanya dua hal itu solusinya”. Jawabku.

Bahkan ketika di stasiun itu, aku akan menghampiri masalah itu, dan sebenarnya ingin rasanya aku tidak pergi ketika itu, tapi tak bisa. Mungkin dia sulit memahami yang menjadi masalahku, karena kata sudah tak keluar lagi dari mulutnya yang sering berceloteh.

Pikiranku masih melayang dengan masalah-masalah yang perlahan menghantui lagi, ingin menghapus semua itu. Karena aku tahu, apapun kondisinya sekarang aku yang salah, pergi ataupun tinggal itu adalah salahku.

Perlahan Aku menundukkan kepala, masalah itu ternyata sudah menyerang lebih dalam, sampai air mata itu menetes tak henti. Dia terkejut dengan aku yang selalu ceria, ketika itu meneteskan air mata. Tak banyak yang bisa dia lakukan, karena dia tak tahu harus melakukan apa untuk mengahadapi perempuan yang menangis. Tapi dia memberikan pundaknya untuk tempat bersandar dan memberikan dekapan hangat agar aku kuat menghadapi masalah apapun, yang sebenarnya dia tak mengerti.

“Ini konyol, aku bodoh kenapa harus menangis”. Kesalku pada diri sendiri.

Itulah yang aku katakan. Akhirnya beban itu terlihat juga beratnya, ternyata pertahananku terus menggerogoti sisi yang terpendam.

Kereta ternyata lebih cepat datangnya

Bolehkah aku tak pergi?

Pertanyaan itu datang dalam benakku, tapi kaki tetap melangkah menaiki setiap anak tangga. Dia ada jauh dibelakang dan aku sendiri. Kelu rasanya ingin mengatakan…

Bisakah kamu memberikan alasan agar aku tak pergi?

Share
Topics
Editorial Team
Wida Noor Fatwa
EditorWida Noor Fatwa
Follow Us