Kamu Cantik

Mataku awas memandang setiap gerik langkah Rani, sedang dia masih saja sibuk dengan ponselnya, sesekali dia tertawa kecil, sibuk mengetik hingga sepersekian detik kemudian tiba-tiba dia berhenti, memandang lurus kedepan, diam, hingga tiba-tiba wajahnya tampak kesal. Dia lalu mengambil cermin dari tas-nya, memandangi dirinya cukup lama, dan mengatur poninya yang entah untuk kesekian kalinya.
“Diiiin, aku udah rapi belum sih?” tanyanya tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari cermin
“cantik” jawabku singkat, sejujurnya aku bosan dengan pertanyaannya yang bila bisa kuhitung sudah sepuluh kali sejak setengah jam yang lalu
“yang benerrrr?” tapi kok gebetanku tadi ga ngelirik aku sedikitpun yaa?” dia bertanya sambil menunjuk sosok yang dia maksud dengan tatapan matanya.
“Rani, gimana kamu mau dilirik, muka mu itu dikit lagi retak!”
“maksudmu?” dia menatapku tajam
“Bedakmu udah tebel banget, disentuh dikit lagi palingan retak, alismu udah kayak ulat bulu tuh” aku menatapnya lekat.
“sirik aja, kamu aja ga mau aku keliatan cantik!”
Aku mendengus kesal, kali ini aku yang menatapnya tajam dia memalingkan wajahnya., tidak ada gunanya lagi menasehatinya, aku bangkit dan meninggalkannya. Aku kadang heran dengan Rani, dia rela saja memakai hak sepatu yang sangat tinggi, tapi setelah itu dia meringis sambil mengipasi kakinya yang lecet, dia rela saja memakai bedak yang tebal walau setelah itu dia akan sibuk mengobati jerawatnya yang terdempul, atau bahkan dia rela saja memakai pakaian minim walau setelah itu dia akan mengeluh masuk angin dan memintaku memijat bahunya.
Rani sebenarnya anak yang sederhana, tapi tuntutan untuk dapat menonjolkan eksistensi dirinya dikampus membuatnya melupakan rasa nyaman dan menjadi bukan dirinya. Dia akan rela makan sushi dengan daging ikan yang mentah padahal seleranya lebih cocok dengan nasi kuning, tetapi makan nasi kuning ketika hang out di mall menurutnya ga gaul banget.
Pernah suatu ketika aku nyaris tak mengenalinya, mengenali sahabatku sejak TK ketika dia jalan di mall sambil menenteng tas KW di lengannya, alisnya menukik tajam dan tebal, hak sepatunya menjulang tinggi, dia berjalan sambil ketawa-ketawa dengan geng sok eksis sambil bermain hape, hingga satpam mall itu menyapanya dengan sebutan tante!
Aku baru saja akan tertidur ketika Rani tiba-tiba muncul dikamar kosku sambil menangis terisak, dia memelukku erat hingga aku sulit bernafas.
“Kenapa sih?” tanyaku datar sambil berusaha melepaskan pelukannya.
“Diniiii, aku tadi denger Firman ngobrol sama temennya katanya aku kayak tante-tante makanya dia ga mau deket-deket” Rani masih sesenggukan.
“terus?”
“yaa kok terus? Aku harus gimana?”
“gak tau!”
“kok gituuu? Aku suka, sayang malah sama Firman” dia cemberut
“Rani sayang, yaa semuanya terserah kamu, dari dulu sudah kubilangin, dandan yaa yang natural aja. Ga ada yang ngelarang kamu tampil cantik, tapi kamu mesti tau sikon juga, kekampus aja bedak lima senti. Aku ga nge-judge orang yang full make up itu jelek tapi kamu sendiri kan ga nyaman, please just be your self, jangan karena cuma pengen eksis kamu jadi bukan kamu, Firman aja cowok cakep dikampus ilfeel kan, jadi gak semuanya bisa diukur dengan tampilan luar, kamu dibilangin malah ngatain aku sirik yaudah terserah kamu,” kataku sambil kembali tidur dan memeluk guling.
“Aku kayak gini Cuma karena pengen keliatan didepan geng eksis, biar mereka ga remehin aku, biar Firman tertarik tapi ternayata aku salah,” Rani mulai menangis lagi, matanya tampak menghitam akibat eyeliner dan maskara-nya yang luntur bercampur air mata
“Rani, yang ga keliatan itu bukan berarti ga ada, percaya deh. Kamu akan keliatan lebih cantik dengan jadi diri kamu sendiri, apa adanya kamu” kali ini aku bangkit dan memeluknya.
Aku celingukan mencari Rani, biasanya jam segini dia udah nongkrong ditaman kampus, tapi aku ga ngeliat dia, di gerombolan geng eksis yang sibuk selfie sambil bibirnya di monyong-monyongkan pun dia tidak tampak, kemana yaa dia, aku mulai khawatir. Tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang, aku menoleh kaget, dan semakin kaget begitu melihat sosok yang menepuk pundakku. Orang yang menempuk pundakku tersenyum manis dan mengambil tempat disampingku. Rani!
Tapi Rani kali ini, tanpa bedak tebal, tanpa bulu mata palsu, tanpa alis ulat bulu-nya, tanpa lipstik menor, dia begitu cantik dengan bedak tipis dan riasan naturalnya.
“Kamu sakit?” tanyaku sedikit khawatir.
“Ga, sehat walafiat, seratus persen,” dia tersenyum.
“Terus? Tumben ga dandan?”
“Yee ini dandan tapi lebih tipis, aku baru sadar omongan kamu selama ini bener, aku kasian sama kulitku, ternayata selama ini ga nafas, kasian sama tumitku yang lecet-lecet, lebih enakan gini, lebih nyaman rasanya, lebih aku banget, sekarang bodo amat mau dianggap atau ga sama geng sok eksis itu, toh mereka sepertinya berteman sama aku cuma buat seneng-seneng aja, buat heboh-hebohan di sosial media biar dianggap gaul, yang penting ada kamu Din, sahabat sejatiku” ujar Rani dan ucapannya barusan nyaris membuatku menitikkan air mata.
“Haii.. Rani yaa? boleh minta nomor hape ga?” tanya seseorang yang tiba-tiba muncul dihadapan kami.
Rani bengong, “bo.. bo.. boleh” ujarnya setelah dia berhasil menguasai diri sepersekian detik kemudian.
“Makasih yaa, ntar aku sms,”ujar orang itu sambil tersenyum dan meninggalkan kami.
“Dinn,.. aku ga mimpikan? Firmannn minta nomor hapeku langsunggg, pingsan deh akuuu” ujarnya sambil senyum-senyum ga jelas
“Gaaa, emang Firman ituuu,” ujarku senang melihat Rani yang terlihat sangat bahagia, yaahh ternayata memang benar tidak semuanya bisa diukur dengan penampilan fisik, jadi apa adanya dan diri sendiri.