Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[PROSA] Cerita dari Kota Tua

ilustrasi kota tua (pixabay.com/TomasHa73)
ilustrasi kota tua (pixabay.com/TomasHa73)

Malam ini seperti biasa, aku kembali dilanda insomnia. Angan pikiran melayang tiada tentu kurasa, sanubari kembali merindukan kabar dari sisi dimensi seberang. Meditasi kembali kujalani, sepenuh hati membuka dan menerima intuisi serta memasrahkan semua pada Illahi.

Saat cahaya terang mulai menghilang, aku telah sampai di sebuah kota. Riuh rendah suara manusia. Semua dengan wajah bahagia. Sejenak semua mata tertuju padaku, diam sesaat lalu kembali dengan hiruk pikuk aktivitas mereka. Hanya tatapan sopan dan senyuman persahabatan, tanpa ada satu perkataan. Aku lega, aku disambut dengan tangan terbuka meski tanpa kata-kata. Gestur badan mereka sudah cukup menyampaikan ucapan selamat datang padaku.

Perlahan aku menyusuri jalanan kota yang lebih lengang. Bangunan nampak menarik, hampir semua didominasi warna merah. Warna dari materi penyusunnya yaitu batu bata. Penerangan kota cukup istimewa. Lampu kristal cukup terang, tanpa kabel dan tanpa tiang. Iya, lampu-lampu itu melayang, memberi kesan keajaiban.

Aku menatap pada seorang wanita yang menjual bunga. Perlahan aku mendekat kepadanya. Aku ingin bertanya sedang di mana aku sekarang. Kembali hanya senyuman yang dia berikan, tanpa sebuah ucapan.

Setangkai mawar merah dia berikan padaku sebagai hadiah. Aku menerimanya penuh rasa gembira. Kucium dalam-dalam bunga itu. Begitu harum untuk ukuran sebuah bunga mawar. Aku ucapkan terima kasih, namun hanya kembali dibalas senyuman.

Semakin jauh aku berjalan, kota ini begitu banyak acara keramaian. Ramai namun menyenangkan dan tidak menyesakkan. Di kejauhan nampak bangunan yang lebih megah. Sepertinya itu istana kerajaan. Warna keemasan terpancar begitu terang. Aura kedamaian semakin kurasakan.

Aku hendak ke bangunan itu, ingin tahu tentang yang ada di sana. Namun sejenak dadaku terasa berdetak tidak enak, ini tanda aku harus kembali. Untuk sekarang biarlah yang lain tetap tersembunyi, agar masih tersisa misteri yang menggoda hati, sehingga mungkin aku bisa dibawa kembali ke sini.

Perlahan kulihat badanku mulai memudar. Seiring dengan itu, semua orang nampak sedang memandangku, melambaikan tangan tanda perpisahan. Aku membalas senyuman dan lambaian tangan mereka. Sungguh inilah rasa persahabatan atau mungkin kekeluargaan.

Aku membuka mata, semerbak harum memenuhi ruang kamar. Bunga mawar yang kugenggam mulai memudar menghilang, namun menyisakan wangi yang tidak hambar. Kurebahkan diri di kasur lantai. Sebelum rasa kantuk membius diri, aku sempatkan menulis kisah perjalananku di buku harian. Masih dengan sejuta harapan, semoga diriku bisa kembali lagi ke sana, ke sebuah kota penuh senyuman.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Chalimatus Sa'diyah
EditorChalimatus Sa'diyah
Follow Us