Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[PROSA] Nostalgia bersama Senja

ilustrasi senja (unsplash.com/Manny Moreno)

Cinta dalam diam, bukanlah hal baru dalam hidupku. Selalu bersembunyi dan berlari dari realita, sudah biasa bagiku. Saat kubilang dirimu mengingatkanku pada masa lalu, tiada dusta dari ucapanku.

Di bawah kemuning cahaya mentari ini, senja tiba-tiba mengajakku bernostalgia. Semuanya bermula saat masih SMA. Tiap pagi, aku sengaja datang awal-awal. Masuk kelas dan langsung duduk di dekat jendela. Untuk apa? Sekadar melihat seseorang berlalu saja.

Tepat pukul 7 pagi, aku sudah steady di dekat jendela. Karena di waktu itu, dirinya yang begitu bercahaya selalu muncul dalam netra. Kamu pikir aku akan menyapa dan berbincang dengannya? Tentu saja tidak. Aku benar-benar cuma menanti dan memandanginya yang berjalan menuju kelas. Bisa kubilang, ini adalah "Cinta dari Jendela SMA".

Memang, rasaku padanya tak kunjung molor meskipun kami tak pernah bertukar kata. Namun, aku selalu ingin mendengar suaranya.

"Kapan, ya, aku bisa ngobrol samanya?" batinku.

Seolah pintaku didengar oleh Sang Pencipta, kami ada kesempatan. Waktu itu sedang kemah sekolah dan berbekal alasan kalau temanku suka padanya, aku pun bisa berbicara dengannya. Namun, bukan temanku saja yang punya rasa, nyatanya aku juga. Malam itu adalah sebuah opportunity yang tak boleh dilewatkan begitu saja.

Sayangnya, hanya di momen itu kami bertukar kata. Bahkan, hingga akhirnya aku tamat SMA, tak ada kelanjutan cerita. Kisah yang kuanggap romansa itu kandas dalam antap; tanpa ada goodbye atau bahkan hello yang awali kami berdua.

Kali ini, aku malah menemukanmu. Apakah kamu penggantinya? Entahlah, tapi aku takut. Tentu karena aku tahu semuanya akan berakhir sama: menjadi rasa tak terbalas yang kelak terbenam.

Ada konflik batin antara harus mengejar atau menyerah. Karena faktanya, aku yakin tak punya kesempatan. Sebab, kamu sudah ada yang punya. Namun, kalau boleh jujur, aku ingin terus mengejar. Jiwa egoisku meronta-ronta karena aku tak mau dianggap teman saja.

Terlepas dari itu, aku masih bisa menjadi seorang teman. Paling tidak, kamu bakal melihat ke arahku kalau kita berteman, kan?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Atqo
EditorAtqo
Follow Us