Sayang, Saat Itu Hujan

Sayang, saat itu hujan.
Ketika aku pertama kali melihat kamu. Tidak ada sedikitpun perasaan ingin mengenal. Sebab kamu tidak sedikitpun terlihat menarik. Bersama teman-temanmu kamu terlihat begitu bahagia. Tapi caramu tertawa terlalu keras. Aku cenderung risih melihatnya.
Sayang, saat itu hujan.
Ketika kita pertama kali bertukar nama. Aku yang biasa menunggu jemputan kala itu begitu sebal. Lama sekali mama menjemputku. Tidak lama kemudian kamu datang, kehujanan. Kamu menutupi badanmu yang basah dengan jaket bomber berwarna biru. Aku yang merasa familiar dengan wajahmu, merasa cukup kaget saat kamu menoleh dan tersenyum begitu lebar, sambil mengulurkan tangan kamu bertanya, "Hai, anak baru ya? Aku Niko, kamu namanya siapa?".
Sayang, saat itu hujan.
Ketika kamu pertama kali mengirim pesan ke ponselku. Cliche, kamu mengawalinya dengan cara yang tidak jauh berbeda dengan laki-laki kebanyakan. "Hai, ini nomer hpnya Nisa ya?". Entah mengapa aku begitu mudah menyimpulkan bahwa pengirim pesan itu adalah kamu.
Sayang, saat itu hujan.
Ketika aku pertama kali menemukanmu di depan pintu rumahku. Kamu membawa martabak telur kesukaan papa mama. Tidak banyak yang kita lakukan, hanya mengobrol sebentar, bercanda, dan bermain tebak-tebakan. Kita juga mampir ke resto dekat rumahku dan saat itu pula pertama kalinya aku tahu, kamu alergi ayam. Badanmu bisa gatal-gatal, begitu ucapmu.
Sayang, saat itu hujan.
Ketika aku pertama kali jatuh hati. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa tertarik untuk mengenalmu lebih jauh. Yang aku tahu, kamu begitu menyenangkan. Dan menenangkan. Dibalik cara tertawamu yang begitu keras, ternyata kamu mampu mengerti dan memperlakukanku dengan begitu baik. Aku senang sekali mampu merasakan perasaan ini. Sebab aku cukup percaya diri bahwa kamu memiliki perasaan yang sama terhadapku.
Sayang, saat itu hujan.
Ketika kamu pertama kali mengatakan "Aku ingin bicara, ada hal penting yang harus aku bicarakan." Aku tidak buang waktu, kutentukan tempat dan waktu yang sesuai. Aku tahu, saat itu kamu pasti akan mengutarakannya. Kamu pasti akan bilang bahwa kamu suka padaku sehingga aku cukup tersenyum dan membalas, "Aku juga suka."
Sayang, saat itu hujan.
Ketika waktu di mana pertemuan itu seharusnya berlangsung. Aku menunggu cukup lama. Lima jam. Tanpa kabar apakah kamu akan segera datang atau memutuskan untuk membatalkan pertemuan ini. Aku sangat kecewa. Kamu menyebalkan. Aku berkali-kali bertanya dalam hati mengapa aku masih saja menunggu kamu. Dengan kesal aku meninggalkan tempat itu, sambil berjanji, apapun alasanmu aku tidak akan pernah memaafkan.
Sayang saat itu hujan.
Jarang sekali rintik-rintik ini datang di pagi hari.
Ketika itu aku menemukan selebaran duka cita. Tepat di depan kelasku saat seseorang memberikannya sambil berkata, "Eh tolong titip buat ngumpulin uang duka cita. Ntar istirahat uangnya diambil ya." Dan itu, wajah yang ada di selebaran itu, kamu.
Sayang, saat itu hujan.
Ternyata rasanya ditinggalkan karena kematian itu sehening ini. Kamu bahkan tidak sempat berucap selamat tinggal. Di depan nisanmu aku tidak mampu menahan tangis. Belum genap empat bulan kita berkenalan. Dan kamu sudah mampu meninggalkan bekas sedalam ini.
Sayang, saat itu hujan.
Mari kita bermain tebak-tebakan. Sederhana saja.
Kamu tahu? Apa yang jatuh selain rintik air malam ini?
...
Adalah rindu,
dan aku,
kepada kamu.
Sayang, saat itu hujan.
Ketika aku hanya bisa menatap nanar ke jendela sambil bertanya-tanya.
Adakah cara meninggalkan yang lebih tragis daripada kematian?
Sebab kamu berhutang rindu, yang tidak akan pernah mampu dilunasi.