[NOVEL] Pingyan dan Pangeran Bayangan-BAB 5

Penulis: Eve Shi

Hidangan Beracun (1)

 

Sialnya, lumbung kosong itu tidak bebas tikus. Ada satu keluarga yang bersarang di pojok, gemuk dan galak pada pendatang. Karena takut gerombolan itu menerjang dan mengunyah kakinya, Pingyan mundur teratur.

"Ada penginapan atau bangunan kosong lain di sekitar sini?" tanya Huangli.

"Kita cari saja. Semoga tidak hujan."

Pingyan kembali berjalan, kali ini dengan lebih lamban sebab matanya digayuti kantuk. Di sekelilingnya, terbentang tanah dan sungai dengan gunung di kejauhan. Tak ada setitik pun tanda-tanda bangunan tempat ia bisa berteduh. Pingyan berharap ia tak harus tidur di alam terbuka. Akan payah kalau ia sampai kehujanan dan demam.

Merepotkan diri sendiri seperti ini demi orang yang bukan saja tidak ia kenal, malah sudah mengakibatkan masalah baginya dan Ibu. Apa pula faedahnya, balas jasa atau uang dari Huangli? Ataukah Pingyan tak lebih dari orang pendek pikiran yang, karena bosan di rumah, begitu saja menyambar kesempatan untuk bertualang? Apa pun yang benar, semuanya sudah telanjur terjadi.

"Dasar bodoh," ia menggerutu.

"Siapa?"

Pingyan mengembuskan napas. "Aku, tentu saja. Mau-maunya percaya pada makhluk yang bahkan tidak kasatmata bagi semua orang."

"Tapi kau bisa melihatku. Kira-kira apa sebabnya?"

"Nah, aku ingin tahu juga. Salahku sendiri ikut campur hal yang bukan urusanku. Kalau aku tidak membuntuti prajurit itu dan Tuan Wei, tak akan runyam begini jadinya."

Sejak tadi, Huangli berjalan atau barangkali melayang di belakang Pingyan, hingga Pingyan tak dapat melihat wajahnya. Suaranya ketika menyahuti perkataan Pingyan bernada serius. "Siapa tahu pertemuan ini karena kita berjodoh dan memang sudah takdirmu menempuh perjalanan ini."

Pingyan terkekeh kecil. "Berjodoh? Sudah takdirku? Ya, mungkin. Aku tetap lebih yakin aku sedang apes." Ia berhenti berjalan.

Huangli turut berhenti di depan Pingyan. "Ada apa?"

Pingyan melepaskan selempang yang mengikat pedang ke punggungnya. Ia menarik pedang dari sarung, lalu mengacungkannya ke Huangli. "Pangeran, kau mengaku pernah jadi murid ibuku. Untuk berapa lama?"

Tanpa terdengar kaget atau ragu, Huangli menjawab, "Sejak umur lima tahun. Jadi, dua tahun aku berguru kepada beliau."

"Selain Menangkap Harimau Di Arus Jeram, Ibu punya beberapa jurus ciptaan sendiri. Pangeran pernah diajari jurus-jurus itu?"

"Pernah, tetapi hanya dua atau tiga, soalnya aku masih terlalu kecil. Salah satunya jurus Gembala Mengusir Badai."

Senyum Pingyan berseri selagi ia memasang kuda-kuda. "Sama, aku juga diajari jurus itu. Jadi, Pangeran pasti tahu cara menangkisnya. Awas seranganku!"

Bilah pedang melibas ke pinggang Huangli. Seraya ia berkelit mundur, lututnya mengayun kencang ke kiri, arah ayunan pedang selanjutnya. Andai badannya berwujud nyata, lutut itu pasti membentur pedang, bisa-bisa mengacaukan atau bahkan memutus serangan Pingyan. Pingyan meneruskan jurusnya, mencecar Huangli tanpa jeda, dan setiap kali Huangli menyambut dengan gerak balasan yang tepat.

"Bagaimana?" tanyanya begitu jurus usai dan Pingyan menyarungkan pedang. "Aku selalu bisa menangkis, kan?"

"Ya." Pingyan mengangguk. Huangli semestinya sangat mengenal jurus ini, sampai paham arah dan cara menangkisnya. Agak ganjil rasanya bagi Pingyan bertemu orang lain yang juga murid Ibu, dalam situasi sebegini langka pula. Ia ingin tahu murid macam apa Huangli dahulu-apakah Huangli lebih pintar atau tekun dibandingkan dirinya.

Huangli masih mengawasi Pingyan. Ia seperti akan mengucapkan sesuatu, kemudian batal. "Kita lanjut lagi?"

*

Setelah setengah jam berselang, mereka menjumpai pondok beserta kandang hewan di sebelahnya. Pemilik pondok adalah sepasang suami istri separuh baya. Kepada mereka, Pingyan mengaku ibunya sakit dan ia ke kota untuk mengabari ayahnya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Tuan rumah menyuguhkan segumpal nasi dingin, sup lobak, dan air minum untuk Pingyan, yang menyantapnya dengan lahap. Nyonya rumah mempersilakan ia tidur di sebuah bangku panjang. Bangku itu keras dan selimut yang diberikan kepadanya agak apak, tetapi Pingyan tidak mengeluh.

Huangli bersandar di dinding dekat bangku. Roh yang sedang lepas dari raga agaknya tak perlu tidur, pikir Pingyan. Ia meregangkan punggung, menggoyangkan kaki yang terasa nyaman setelah tak lagi menyangga berat badan.

"Untung kita ketemu orang baik-baik," bisiknya kepada Huangli, kalau-kalau para pemilik rumah menguping dari kamar mereka.

"Kudengar orang desa memang biasanya ramah kepada orang asing."

"Pangeran pasti jarang melihat desa, lebih sering di kota kaisar."

Wilayah tempat tinggal keluarga kerajaan disebut kota kaisar. Di situ pula letak rumah para pejabat teras dan keluarga mereka. Dalam bayangan Pingyan, luas kota kaisar puluhan kali Dusun Zhen dan di sana segala sesuatu tersedia lengkap.

"Kami kadang-kadang pergi bertamasya keluar ibu kota. Ayahanda Kaisar dan Ibunda Permaisuri sama-sama senang melancong. Selir Xie suka berburu, biasanya di hutan di luar gerbang timur ibu kota."

"Selir Xie itu siapa?"

"Ibu dari Pangeran Pertama. Hubungan kami kurang baik... Kau pasti sudah tahu, gelar Putra Mahkota jatuh kepadaku, bukan kepada Kakak yang merupakan putra sulung."

"Itukah sebabnya Pangeran jadi begini? Gara-gara ada yang tidak senang Pangeran jadi Putra Mahkota?"

"Besok saja ceritanya. Kau pasti lelah."

Pingyan menguap. "Memang, sih. Selamat malam." Ia membalikkan badan, membiarkan seluruh ototnya melemas. Tidurnya setelah itu pulas tanpa mimpi, bagai terbenam ke jurang kelam yang hangat.

Paginya ia bangun sebelum matahari terbit dan membantu nyonya rumah di dapur. Setelah sarapan, suami-istri itu membekalinya dengan sebungkus kecil dendeng kering. Pingyan pamit sambil menghaturkan terima kasih, diam-diam malu karena berdusta soal orang tuanya pada mereka.

Tak lama setelah meninggalkan pondok itu, Pingyan berpapasan dengan gerobak barang yang menuju kota terdekat. Kepada kusir, ia meminta izin menumpang. Sambil menyuruh Pingyan naik ke bagian belakang gerobak, kusir menjeling ke punggung Pingyan.

"Kau bawa pedang, kan? Tak usah bohong, aku tahu bentuknya. Jadi, kau bisa pakai pedang. Ingin mendaftar jadi prajurit?"

"Belum terpikir." Selain Ibu tidak pernah mendorong Pingyan untuk mengikuti jejaknya, Pingyan belum tahu apakah ia akan betah bekerja di ketentaraan.

"Ya, sudah, naik sana. Di belakang, sedikit gatal. Jangan injak barang bawaanku."

Roda gerobak bergulir maju ketika Pingyan baru saja memanjat, hingga keseimbangannya nyaris goyah. Ia berhasil naik tanpa terjungkal lalu duduk di celah antara dua tumpukan jerami yang sudah diikat. Jerami itu menguarkan hawa gerah, apalagi sorotan sinar matahari cukup terik pagi ini.

"Ceritakan dari awal," ujar Pingyan kepada Huangli yang duduk di pinggir gerobak, "mengapa sampai ada pengusir roh yang mengejar Pangeran."

"Ceritanya panjang."

"Waktuku banyak."

"Baiklah." Huangli menimbang-nimbang sejenak. "Kalau mau dirunut, awal mulanya adalah karena aku terlalu bersemangat makan."

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Pingyan dan Pangeran Bayangan-BAB 4

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya