Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Makanan di Pesawat Rasanya Selalu Lebih Hambar?

ilustrasi makanan di pesawat
ilustrasi makanan di pesawat (unsplash.com/mohammad ishak ismail)

Buat banyak orang, makanan di pesawat selalu punya reputasi yang sama yaitu rasanya hambar, agak aneh, dan jauh dari ekspektasi. Padahal, maskapai sudah berusaha maksimal menghadirkan menu yang menarik dan menggugah selera. Tapi entah kenapa, setiap kali sendok menyentuh lidah, rasa itu seolah kehilangan daya tariknya. Ada sesuatu yang terasa ‘kurang’, meski tampilannya tampak menggoda.

Faktanya, rasa hambar itu bukan cuma soal bumbu atau kualitas bahan makanan. Ada banyak faktor ilmiah dan teknis yang jadi faktor di balik layar, mulai dari tekanan udara hingga cara makanan dipanaskan. Semuanya memengaruhi cara lidah menangkap rasa dan aroma. Jadi, sebelum menilai rasa makanan pesawat terlalu cepat, yuk cari tahu alasan sebenarnya di balik rasanya yang sering kali tidak maksimal.

1. Tekanan udara di kabin menurunkan sensitivitas lidah

ilustrasi kabin pesawat
ilustrasi kabin pesawat (pexels.com/Kelly)

Di ketinggian 30.000 kaki, tubuh manusia gak berfungsi sama seperti di darat. Tekanan udara di kabin pesawat jauh lebih rendah, membuat kelembapan menurun drastis. Kondisi ini bikin rongga hidung dan lidah jadi lebih kering, sehingga kemampuan mencium aroma dan merasakan rasa berkurang cukup signifikan. Padahal, aroma adalah elemen penting yang membantu lidah mengenali rasa makanan dengan lebih tajam.

Selain itu, perubahan tekanan juga memengaruhi sirkulasi darah dan respons saraf di lidah. Akibatnya, rasa asin dan manis jadi berkurang hingga 30 persen saat di udara. Jadi meskipun makanan itu dimasak dengan bumbu yang sama seperti di darat, hasil akhirnya tetap terasa lebih hambar. Bukan karena koki maskapai kurang andal, tapi karena fisiologi manusia sendiri yang berubah di ketinggian ekstrem.

2. Suara mesin pesawat mengganggu persepsi rasa

ilustrasi pesawat
ilustrasi pesawat (pexels.com/Jeffry S.S.)

Kedengarannya sepele, tapi suara bising mesin pesawat juga berpengaruh besar terhadap cara otak memproses rasa. Studi menunjukkan bahwa kebisingan dengan frekuensi tinggi bisa menurunkan sensitivitas terhadap rasa manis dan asin, sementara rasa umami justru lebih terasa kuat. Karena di kabin suara mesin terus berdengung tanpa henti, lidah pun kesulitan menilai keseimbangan rasa yang sebenarnya.

Fenomena ini sering disebut “noise-induced taste modulation” dan efeknya cukup nyata. Itulah mengapa makanan pesawat cenderung dibuat lebih beraroma kuat dan sedikit gurih agar tetap terasa di tengah kebisingan kabin. Jadi kalau rasa makanannya terasa agak ‘berlebihan’ di darat tapi hambar di udara, itu semua karena otak dan telinga bekerja sama memengaruhi persepsi rasa tanpa disadari.

3. Proses pemanasan ulang mengubah tekstur dan cita rasa

ilustrasi makanan di pesawat
ilustrasi makanan di pesawat (unsplash.com/CHUTTERSNAP)

Satu hal yang jarang disadari penumpang yaitu makanan pesawat gak dimasak langsung di atas langit. Semua menu disiapkan di darat, dibekukan, lalu dipanaskan ulang saat akan disajikan. Proses ini membuat tekstur berubah, terutama pada makanan yang mengandalkan kelembapan seperti nasi, pasta, atau daging. Akibatnya, rasa aslinya ikut berkurang karena kandungan air dan lemaknya menguap saat pemanasan.

Selain itu, oven di pesawat menggunakan sistem udara panas (convection oven), bukan api langsung. Artinya, makanan gak bisa benar-benar matang sempurna seperti di dapur biasa. Bumbu yang tadinya seimbang bisa terasa samar, sementara rasa asam atau pahit justru lebih menonjol. Karena itu, banyak maskapai menambahkan garam atau rempah ekstra agar rasa tetap terasa meski prosesnya kurang ideal.

4. Kelembapan rendah mengubah cara tubuh menangkap aroma

ilustrasi makanan di pesawat
ilustrasi makanan di pesawat (unsplash.com/Jacky Tan)

Di pesawat, kelembapan udara bisa turun hingga hanya 10–15 persen, jauh lebih kering dibanding padang pasir. Kondisi ini membuat lendir di hidung mengering, padahal aroma makanan sangat bergantung pada uap air yang membawa molekul wangi ke reseptor penciuman. Tanpa aroma yang jelas, lidah otomatis kesulitan membedakan rasa, sehingga makanan terasa hambar meski bumbunya sama seperti di darat.

Selain mengeringkan hidung, udara kabin juga memengaruhi tenggorokan dan mulut. Sensasi kering membuat lidah kurang responsif terhadap rasa manis dan gurih, dua komponen utama dalam banyak hidangan. Itu sebabnya, banyak maskapai memilih menu dengan rasa tajam seperti kari, saus tomat, atau makanan berempah. Semua itu dilakukan agar rasa tetap bisa terasa meskipun kondisi udara tidak bersahabat.

Meski rasa makanan di pesawat sering mengecewakan, penyebabnya ternyata jauh lebih kompleks daripada sekadar bumbu yang kurang kuat. Ada sains di balik setiap suapan yang kita rasakan di udara, dan semuanya dipengaruhi oleh tekanan, kebisingan, suhu, serta kelembapan. Jadi lain kali saat makanan terasa hambar di pesawat, coba ingat bahwa itu bukan karena maskapai pelit bumbu, tapi karena tubuh manusia memang bereaksi berbeda di langit. Siapa tahu dengan pemahaman ini, pengalaman makan di udara terasa sedikit lebih bisa dimaklumi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febrianti Diah Kusumaningrum
EditorFebrianti Diah Kusumaningrum
Follow Us

Latest in Food

See More

Berapa Lama Kopi Bisa Tahan Disimpan di Kulkas?

06 Nov 2025, 19:16 WIBFood