5 Fakta Menarik Seputar Masuk Angin, Tidak Ada dalam Istilah Medis!
.jpg)
- Tidak ada dalam kamus medis
- Gejala masuk angin bisa tanda awal kondisi lain
- Istilah "masuk angin" mencerminkan kearifan lokal dalam menjaga kesehatan
Di Indonesia, istilah “masuk angin” sangat populer dan digunakan untuk menggambarkan berbagai keluhan seperti badan pegal, kembung, pusing, hingga meriang. Banyak orang menganggapnya sebagai kondisi ringan yang bisa sembuh dengan istirahat, kerokan, atau minum jamu. Namun secara medis, istilah ini sebenarnya tidak ada dalam dunia kesehatan modern.
Meskipun tidak diakui secara ilmiah, konsep “masuk angin” tetap melekat dalam budaya masyarakat. Hal ini menunjukkan bagaimana kebiasaan dan kepercayaan memengaruhi cara kita memahami tubuh dan penyakit. Untuk memahami lebih jauh, berikut lima fakta menarik seputar fenomena “masuk angin” yang sering disalahartikan.
1. Tidak ada dalam kamus medis

Dalam dunia kedokteran, istilah “masuk angin” tidak termasuk dalam daftar penyakit yang diakui secara medis. Gejala yang disebut sebagai masuk angin sebenarnya bisa merupakan tanda awal dari beberapa kondisi seperti common cold, gangguan pencernaan, atau kelelahan fisik. Karena itu, dokter biasanya akan mencari penyebab yang lebih spesifik berdasarkan gejala yang muncul.
Meski begitu, istilah ini tetap digunakan secara luas karena mudah dipahami oleh masyarakat. Istilah tersebut menjadi cara populer untuk menggambarkan rasa tidak enak badan yang belum tentu parah, tetapi cukup mengganggu aktivitas. Dalam konteks budaya, “masuk angin” menjadi istilah umum yang menandai perlunya tubuh beristirahat.
2. Efek dari kerokan belum terbukti mengeluarkan "angin"

Salah satu cara paling populer untuk mengatasi “masuk angin” adalah kerokan. Meskipun terasa melegakan, efek tersebut sebenarnya lebih bersifat fisiologis daripada medis. Gesekan pada kulit menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan meningkatkan sirkulasi, sehingga tubuh terasa lebih hangat dan rileks.
Namun, hingga kini belum ada bukti ilmiah kuat yang menunjukkan bahwa kerokan dapat mengeluarkan “angin” dari tubuh. Justru pada beberapa kasus, kerokan yang terlalu keras bisa menimbulkan iritasi kulit atau infeksi ringan. Efek lega yang dirasakan lebih berkaitan dengan peningkatan aliran darah dan pelepasan hormon endorfin.
3. Bisa berkaitan dengan penurunan imunitas

Banyak kasus “masuk angin” sebenarnya terjadi saat daya tahan tubuh sedang menurun. Ketika sistem imun melemah, tubuh menjadi lebih rentan terhadap infeksi virus atau perubahan suhu lingkungan. Kondisi ini sering diartikan sebagai tanda awal tubuh yang “masuk angin” karena gejalanya mirip, seperti menggigil, kembung, atau pegal.
Istirahat yang cukup dan menjaga pola makan sehat menjadi kunci untuk memulihkan energi. Mengonsumsi cairan hangat atau makanan bergizi dapat membantu sistem imun bekerja lebih optimal. Jadi, bisa dibilang bahwa “masuk angin” merupakan cara tubuh memberi sinyal untuk memperlambat ritme aktivitas agar tidak jatuh sakit.
4. Perubahan suhu dan kelembapan berperan besar

Perubahan suhu dan kelembapan yang mendadak sering menjadi pemicu munculnya keluhan masuk angin. Saat udara terlalu dingin, pembuluh darah menyempit dan metabolisme tubuh melambat, sehingga seseorang lebih mudah merasa lesu atau kembung. Faktor cuaca ini juga memengaruhi sistem pernapasan, terutama bagi mereka yang sensitif terhadap perubahan lingkungan.
Tubuh membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi tersebut. Ketika adaptasi tidak berjalan baik, muncullah sensasi “tidak enak badan” yang kemudian disebut masuk angin. Oleh karena itu, menjaga tubuh tetap hangat dan menghindari perubahan suhu ekstrem bisa membantu mencegah gejala ini.
5. Istilah tradisional yang punya nilai budaya

Lebih dari sekadar keluhan fisik, “masuk angin” juga mencerminkan cara masyarakat memahami keseimbangan tubuh dan alam. Dalam filosofi pengobatan tradisional Asia, penyakit sering dikaitkan dengan gangguan keseimbangan antara unsur panas dan dingin di tubuh. “Masuk angin” dianggap sebagai tanda bahwa unsur dingin terlalu dominan dan perlu dinetralkan dengan kehangatan.
Kebiasaan seperti minum jamu, berendam air hangat, atau mengonsumsi makanan pedas merupakan bentuk respon budaya terhadap konsep tersebut. Meskipun tidak selalu sesuai dengan pendekatan medis modern, praktik ini menunjukkan pentingnya kearifan lokal dalam menjaga kesehatan. Di banyak masyarakat, keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan lingkungan tetap menjadi fondasi utama dalam hidup sehat.
Meski istilah “masuk angin” tidak ditemukan dalam kamus medis, fenomena ini tetap menarik untuk dikaji dari sisi budaya dan kesehatan. Istilah ini menggambarkan bagaimana tradisi dan persepsi lokal dapat membentuk cara masyarakat memahami tubuhnya. Pemahaman yang lebih baik tentang apa sebenarnya yang terjadi pada tubuh ketika mengalami gejala-gejala masuk angin dapat membantu kita dalam mengambil tindakan yang tepat.


















