5 Penyakit ini Bisa Bikin Tuli Mendadak

- Tuli mendadak dapat disebabkan oleh kondisi penyakit lainnya, seperti vertigo, flu, infeksi telinga, hipoksia, GERD, dan migrain.
- Vertigo perifer dapat menyebabkan tuli mendadak bersamaan dengan gejala-gejala lain seperti sakit kepala, mual, dan rasa penuh pada telinga.
- Penggunaan PPIs untuk pengobatan GERD dapat menurunkan eksposur telinga tengah dari isi lambung dan menurunkan resiko kehilangan pendengaran.
Umumnya gangguan pada telinga seperti mendadak tuli, disebabkan adanya gangguan internal pada telinga yang menyebabkan gangguan subklinis pada telinga bagian dalam. Misalnya, infeksi pada telinga, mendengar suara terlalu keras, sumbatan kotoran telinga. Namun, ternyata tuli mendadak bisa juga disebabkan oleh beberapa kondisi penyakit lainnya yang tak ada korelasinya dengan sistem pendengaran, diantaranya seperti dibawah ini:
1. Tuli mendadak, gangguan yang sering muncul mengikuti vertigo

Menurut laporan dalam jurnal National Library of Medicine yang dipublikasikan tahun 2018 berjudul “Vertigo: Incidences, Diagnosis and Its Relations with Hearing Loss” bahwa diagnosis akurat dan pengobatan tepat pada pasien dengan gejala pusing merupakan hal yang tidak mudah, sebab keterangan pasien kadang tak terlalu spesifik dan karenanya menyebabkan salah interpretasi. Bisa jadi pasien menggambarkannya sebagai vertigo, disequilibrium, pening atau sinkop.
Berbicara tentang vertigo, penyakit ini dapat terjadi beberapa detik, menit, jam atau bahkan beberapa hari. Gangguan umum yang sering muncul mengikuti vertigo, seperti tuli mendadak, sakit kepala, perasaan tidak stabil, mual, muntah, tinnitus, dan rasa penuh pada telinga, kehilangan kesadaran, keluarnya cairan dari telinga. Sementara itu, gejala seperti kehilangan pendengaran , tinitus, atau rasa penuh pada telinga menunjukkan vertigo perifer. Yaitu, Vertigo yang disebabkan oleh disfungsi telinga bagian dalam yang melibatkan reseptor dan saraf telinga bagian dalam.
Kebalikan dari Vertigo perifer, vertigo sentral tidak menyebabkan pasien mengalami gejala kehilangan pendengaran. Vertigo sentral lebih disebabkan oleh lesi atau luka pada vestibular nuclei di batang otak dan vestibulocerebellum. Gejala yang menyertai vertigo sentral misalnya, mati rasa pada wajah, disartria, gangguan postur dan gaya berjalan. Oleh karenanya, pemeriksaan neurologis klinis sangat penting untuk diagnosis penyebab vertigo.
2. Tuli mendadak, gejala yang tak umum mengikuti flu

Flu disebut-sebut sebagai penyakit yang umum terjadi di masyarakat. Alasannya, orang dewasa terserang flu rata-rata 2-3 kali setahun dan anak-anak lebih sering lagi, menurut data Centers for Disease Control and Prevention (CDC), dilansir laman Arizona Hearing Specialist.
Hidung tersumbat, hidung berlendir, batuk, sakit tenggorokan dan gejala-gejala umum lainnya biasanya datang bersamaan flu. Namun, terkadang juga gejala yang tak umum bisa muncul, seperti kehilangan pendengaran atau tuli mendadak. Pasalnya, penumpukan cairan dan lendir di hidung dan tenggorokan saat kamu menderita flu, bisa sampai ke saluran Eustachius di telinga dan kemudian menyebabkan penyumbatan. Penyumbatan ini tentu akan mempersulit gelombang suara untuk melewati telinga. Jika hal ini terjadi, suara apapun yang melewati telinga akan teredam atau dengan kata lain kamu akan kehilangan pendengaran untuk sementara, dilansir laman Arizona Hearing Specialist.
Mengapa dikatakan sementara? Sebab, pendengaranmu akan kembali normal setelah sembuh dari flu disertai gejala lainnya juga mulai hilang. Namun demikian, ada kondisi tertentu yang bisa menyebabkan kehilangan pendengaran menjadi permanen, yaitu saat flu mengalami komplikasi yang menyebabkan infeksi telinga.
Infeksi telinga umumnya diderita anak-anak daripada orang dewasa, walau sebenarnya bisa dialami siapa saja tanpa mengenal usia jika terdapat permasalahan di saluran eustachius yang menyebabkan kerusakan struktural pada telinga bagian dalam. Tetapi, ini adalah kasus yang jarang. Seperti halnya flu, umumnya kejadian gangguan pendengaran akibat infeksi telinga bersifat sementara dan akan kembali normal setelah infeksinya hilang.
3. Hypoxia berdampak terhadap menurunnya fungsi pendengaran

Pada dasarnya sel-sel saraf pada sistem pendengaran membutuhkan oksigen yang cukup agar dapat mengirim gelombang suara dari koklea ke otak. Karena itulah korelasi antara oksigen dan sistem pendengaran sangatlah erat.
Pada penderita penyakit paru-paru, misalnya chronic obstructive pulmonary disease (COPD), penderita cenderung kesulitan mendapat oksigen yang cukup ke dalam paru-paru. Hal ini akan mempengaruhi tubuh secara keseluruhan, karena akan mengurangi banyak kadar oksigen yang mengalir dalam pembuluh darah. Dampak yang lebih besar lagi, yaitu merampas oksigen dari organ-organ dan jaringan tubuh vital sehingga tak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, dilansir laman Health Central.
Dalam hal ini, kondisi hypoxia atau kondisi kadar oksigen dalam jaringan tubuh menurun, juga akan berdampak terhadap sistem pendengaran. Dalam sebuah penelitian melibatkan 25 pasien laki-laki dan 5 perempuan yang didiagnosis menderita penyakit paru obstruktif kronik. Kelompok kedua adalah kelompok kontrol, terdiri dari 14 pasien perempuan dan 16 pasien laki-laki yang tidak memiliki penyakit paru-paru dan berada pada rentang usia yang sama dengan kelompok pertama.
Hasil dari observasi ini ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok ini pada tes distortion-product otoacoustic emission (DPOAE) untuk mengukur kemampuan mendengar.
Sementara itu, kelompok pertama dibagi lagi ke dalam dua kelompok, kelompok dengan kadar pO2 atau nilai tekanan parsial oksigen ≤ 70 dan pO2 > 70, untuk mengetahui kadar pO2 kritis yang mungkin menyebabkan perubahan signifikan pada tingkat pendengaran.
Kesimpulan dari observasi ini, yaitu hypoxia menyebabkan penurunan intensitas pendengaran dalam jangka panjang dan ini ditunjukkan dengan kemerosotan hasil tes DPOAE, dan respon pasien terhadap suara yang timbul dalam tes auditory brainstem response berlangsung lama. Namun, tingkat oksigen kritis yang mengganggu fungsi pendengaran belum dapat ditentukan kadarnya.
4. GERD bisa menyebabkan pasien tuli mendadak

GERD merupakan salah satu penyakit yang bisa menyebabkan pasien tuli mendadak karena gerd memicu telinga tengah terekspos isi lambung. Oleh karenanya, penggunaan PPIs (proton pump inhibitors) dan H2-RA (H2-receptor) untuk pengobatan GERD dapat menurunkan eksposur telinga tengah dari isi lambung sekaligus menurunkan resiko kehilangan pendengaran, berdasarkan jurnal National Library of Medicine, berjudul “Prospective Study of Gastroesophageal Reflux, Use of Proton Pump Inhibitors and H2-Receptor Antagonists, and Risk of Hearing Loss” tahun 2018.
Hasil penelitian dari laporan yang sama bahwa dari 361,872 orang per tahun, 9,842 diantaranya mengalami ketuliaan, dimana frekuensi tertinggi penderitanya juga mengalami gejala GERD.
Terkait penggunaan PPIs sebagai obat GERD, berdasarkan jurnal Biomed Research International berjudul “Possible Effects of Proton Pump Inhibitors on Hearing Loss Development” tahun 2019, walau penggunaan PPIs cenderung aman, tetapi penggunaan jangka panjang berdampak buruk bagi tubuh, terutama anak-anak. Misalnya, menyebabkan beberapa perubahan yang menyebabkan disfungsi tubuh, seperti:
- Dysbiosis, yaitu ketidakseimbangan rasio bakteri dan mikroba baik ataupun buruk di dalam perut.
- Perubahan sekresi mukosa lokal.
- Perubahan fungsi dan morfologi bakteri.
- faktor potensial lainnya.
Akibat paling berbahaya dari perubahan tersebut adalah infeksi saluran pernapasan atas. Juga, kemungkinan menderita otitis media dimana salah satu gejalanya berupa gangguan pendengaran seperti tuli mendadak atau telinga terasa penuh akibat peradangan pada telinga bagian tengah.
5. Penderita migrain beresiko besar mengalami tuli mendadak

Migrain dan sakit kepala ada kemiripan, tapi masih bisa dibedakan. Biasanya, sakit kepala lebih ringan, sedangkan migrain lebih parah, nyeri berdenyut dan menimbulkan gejala lain seperti pusing atau mual.
Bahkan, berdasarkan penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Otology & Neurotology tahun 2021 berjudul “Tinnitus and Subjective Hearing Loss are More Common in Migraine: A Cross-Sectional NHANES Analysis” penderita migrain kemungkinannya lebih besar mengalami tinnitus dan tuli mendadak daripada individu yang tak memiliki riwayat penyakit migrain.
Dalam laporan American Journal Otolaryngology tahun 2012 berjudul “Assessment of cochlear and auditory pathways in patients with migraine” bahwa terdapat perubahan subklinis pada fungsi koklea dan jalur pendengaran yang terkait dengan migrain kronis. Ada kemungkinan juga gejala migrain disertai terganggunya suplai darah ke sistem pendengaran.
Dilansir laman My Hearing Centers, sel-sel halus di telinga bagian dalam sangat rentan terhadap perubahan aliran darah, tekanan darah, atau kadar oksigen darah. Disaat yang bersamaan, telinga bukanlah organ vital untuk bertahan hidup, sehingga ketika tubuh sedang mengalami nyeri, misalnya saat migrain, aliran darah ke telinga tidak diprioritaskan.
Namun demikian, tidak berarti penderita migrain sudah pasti akan mengalami tinnitus atau kehilangan pendengaran, melainkan beresiko tinggi mengalami tinnitus atau kehilangan pendengaran. Untuk itu, akan lebih baik jika menjadwalkan tes pendengaran tahunan untuk mengawasi kesehatan pendengaran.
Dengan demikian, sudah seharusnya kamu melakukan beberapa upaya untuk menjaga kesehatan telingamu. Misalnya, melindungi telinga dari suara yang terlalu keras, menjadwalkan tes pendengaran setidaknya setahun sekali, tidak memasukkan sembarang benda pada telinga, juga berkonsultasi pada dokter mengenai pengaruh konsumsi obat-obatan tertentu terhadap pendengaran.
Referensi:
"Headaches, Tinnitus & Hearing Loss," oleh My Hearing Centers. Diakses pada Mei 2024.
"Tinnitus and Subjective Hearing Loss Are More Common in Migraine: A Cross-Sectional Study," Otology & Neurotology. Diakses pada Mei 2024.
"The Association between Tinnitus and Hypertension: A Systematic Review," ScienceDirect. Diakses pada Mei 2024.
"Relationship Between Tinnitus and Stress: A Systematic Review and Meta-Analysis, "Hindawi. Diakses pada Mei 2024.
"Tinnitus: Characteristics, Causes, Mechanisms, and Treatments," National Center for Biotechnology Information. Diakses pada Mei 2024.
"Hypoxia Causes Long-Term Hearing Loss," PubMed. Diakses pada Mei 2024.
"Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) and Hypoxia," oleh HealthCentral. Diakses pada Mei 2024.
"Bisakah Pilek Menyebabkan Gangguan Pendengaran?" oleh Arizona Hearing. Diakses pada Mei 2024.
"Long-term Effects of Hypoxia on Hearing," National Center for Biotechnology Information. Diakses pada Mei 2024.
"Vertigo and Hearing Loss: Causes and Effects," National Center for Biotechnology Information. Diakses pada Mei 2024.