Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ancaman Food Aversion pada Anak Pascabanjir

Potret Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (11/12/2025) pasca diterjang banjir pada Rabu (26/11/2025).
Potret Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (11/12/2025) pasca diterjang banjir pada Rabu (26/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Intinya sih...
  • Banjir sering mengganggu akses pangan, memicu perubahan pola makan dan food aversion pada anak di wilayah terdampak bencana.
  • Banyak faktor pascabencana, seperti trauma psikologis, kondisi bantuan makanan, hingga perubahan rutinitas, dapat memperkuat ketidaktertarikan anak pada makan.
  • Penanganannya memerlukan pendekatan holistik, dari mulai psikososial, lingkungan makan yang nyaman, serta dukungan nutrisi yang adaptif.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banjir yang melanda berbagai wilayah di Sumatra—dari Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat—dapat mengguncang kehidupan sehari-hari anak-anak. Rutinitas anak-anak dari mulai sekolah, bermain, hingga waktu makan sering terganggu akibat dampak banjir, termasuk relokasi ke tempat penampungan, keterbatasan staf dapur umum, dan ketidakpastian pangan.

Dalam kondisi seperti itu, gangguan makan bukan cuma “anak malas makan”. Dalam banyak kasus, itu dapat muncul sebagai food aversion, yakni penolakan atau kehilangan minat terhadap makanan tertentu, sering kali tanpa alasan fisik yang jelas.

Secara umum, pengalaman krisis seperti banjir bisa menciptakan lingkungan traumatis bagi anak. Rasa takut, cemas, dan perubahan besar dalam rutinitas sehari-hari berperan penting dalam perilaku makan mereka. Apa yang biasanya dimakan sehari-hari dapat berubah drastis ketika keluarga tergantung pada bantuan makanan darurat yang sering kali standar (jika tidak di bawah standar) tidak bervariasi, dan tidak selalu sesuai kebiasaan atau preferensi anak. Perubahan drastis ini berpotensi memicu penolakan atau bahkan trauma terhadap makanan yang sebelumnya ia sukai.

Dalam konteks bencana, masalah nutrisi anak bukan hanya soal kecukupan kalori, tetapi juga kualitas pola makan, emosi, dan pengalaman psikologis seputar makanan. Studi kajian gizi anak dalam krisis menunjukkan bahwa trauma situasional dan gangguan pola makan sering menjadi masalah panjang setelah bencana, terutama jika intervensi gizi yang komprehensif belum tersedia.

Perubahan pola makan pascabanjir dan penyebab food aversion

Berikut beberapa perubahan pola makan yang dapat terjadi setelah banjir dan penyebab food aversion:

  • Akses makanan terputus dan ketergantungan pada bantuan

Saat banjir melanda, rantai pasokan pangan dapat terputus karena beberapa hal, seperti jalanan yang terendam, jembatan ambruk, pasar tidak beroperasi, dan persediaan makanan keluarga habis sebelum suplai baru tiba.

Dalam banyak kondisi bencana, dapur umum atau bantuan makanan menjadi sumber utama konsumsi keluarga yang terdampak. Namun, pilihan makanan di dapur umum sering terbatas pada bahan dasar yang bisa disiapkan secara massal, sederhana, atau cepat disajikan dengan alat minimum.

Bagi anak-anak yang terbiasa makan dengan tekstur, rasa, atau jenis tertentu, adaptasi mendadak ke "makanan baru" ini bisa terasa aneh atau tidak menggugah selera. Ketidakserasian antara makanan bantuan dengan kebiasaan makan mereka berkontribusi pada food aversion. Anak jadi menolak makanan yang diberikan bukan karena lapar, tetapi karena trauma rasa dan pengalaman makan yang tidak menyenangkan.

  • Trauma psikologis dan pengalaman bencana

Pengalaman banjir sering menciptakan ketidakpastian dan stres berkepanjangan. Anak yang mengungsi bersama keluarga, tidur di tempat baru, dan kehilangan rutinitas dapat mengalami stres psikologis yang memengaruhi hubungan mereka dengan makanan.

Studi perilaku makan anak dalam konteks konflik di Ukraina menunjukkan bahwa eksposur terhadap situasi krisis berkaitan dengan perubahan perilaku makan, termasuk food aversion.

Mekanismenya, dalam kondisi stres berat, anak sering mengasosiasikan pengalaman negatif (kebisingan, kekacauan, ketidaknyamanan tempat tidur) dengan hal-hal yang hadir bersamaan, termasuk makan. Ketika makanan yang dulu familier disajikan dalam suasana yang penuh tekanan, respons avoidance atau menolak dapat menjadi bentuk coping atau perlindungan emosional.

  • Gangguan rutinitas dan pola makan yang terganggu

Banjir mengacaukan rutinitas harian keluarga. Waktu makan yang berkala, jenis makanan yang biasa disajikan, hingga interaksi bersama keluarga saat makan menjadi tergeser oleh kebutuhan darurat dan penyesuaian kondisi baru.

Anak yang sudah terganggu ritme tidurnya atau merasa cemas cenderung mengalami gangguan selera makan. Salah satu studi di Indonesia menunjukkan kualitas diet pada remaja di wilayah pascabencana rendah akibat dinamika perilaku makan yang berubah serta gangguan pola makan keluarga.

Dalam kondisi seperti ini, anak mungkin mendadak menolak makanan. Bukan hanya satu rasa, tetapi hampir semua, sampai situasi kembali stabil dan aman secara emosional.

Cara menanganinya

Potret Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (11/12/2025) pasca diterjang banjir pada Rabu (26/11/2025).
Potret Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (11/12/2025) pasca diterjang banjir pada Rabu (26/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Beberapa cara dapat dilakukan untuk menangani food aversion pada anak pascabanjir, seperti:

  • Menciptakan lingkungan makan yang aman dan stabil

Pendekatan pertama adalah menjadikan waktu makan sebagai pengalaman aman, bukan cuma rutinitas. Sediakan tempat makan yang nyaman, hindari tekanan atau permintaan yang membuat anak merasa “harus makan”.

Biarkan anak memilih dari beberapa opsi yang aman (misalnya nasi, sayur rebus yang ringan, buah lokal) jika tersedia, sehingga muncul rasa kontrol dari dirinya sendiri. Ini membantu memperbaiki hubungan positif anak dengan makanan.

  • Mengembalikan ritme pola makan secara bertahap

Pakailah pendekatan sederhana, seperti menjadwalkan makanan ringan pada jam yang sama setiap hari, mengajak keluarga makan bersama jika memungkinkan, dan konsumsi makanan yang familier di luar masa darurat apabila tersedia. Repetisi dalam suasana yang relatif tenang membantu menggugah kembali selera makan anak secara perlahan.

  • Pertimbangan nutrisi khusus anak

Bagi anak balita dan di bawah usia 5 tahun, intervensi nutrisi lebih intens sering diperlukan karena risiko malnutrisi meningkat setelah bencana akibat gangguan pasokan pangan. Studi menunjukkan bahwa intervensi yang menyertakan suplementasi atau makanan bergizi pascabencana dapat menurunkan prevalensi wasting (kondisi gizi buruk akut yang ditandai dengan berat badan sangat rendah dibanding tinggi badan, sehingga anak tampak kurus dan tidak proporsional) atau underweight (tubuh terlalu kurus dibanding ukuran ideal).

Pengawasan kesehatan secara berkala juga penting untuk memastikan kebutuhan protein, vitamin, dan mineral terpenuhi selama masa pemulihan.

Apakah food aversion pascabencana bisa dicegah?

Ada beberapa cara untuk meminimalkan risiko food aversion pascabencana pada anak:

  • Edukasi pola makan keluarga sebelum dan selama krisis

Orang tua dan pengasuh perlu dibekali informasi tentang cara mempertahankan pola makan sehat pada anak meski dalam situasi terbatas, termasuk cara memadukan makanan sederhana yang tersedia dengan nutrisi seimbang.

  • Diversifikasi bantuan pangan pada pengungsian

Bantuan makanan darurat idealnya memberikan pilihan yang bervariasi dan sesuai usia anak, misalnya buah-buahan segar, makanan siap santap bergizi, dan makanan tradisional yang tidak asing bagi anak.

  • Dukungan psikososial untuk anak

Memasukkan dukungan psikososial sebagai bagian dari respons bencana dapat membantu menurunkan dampak trauma pada pola makan anak. Kegiatan bermain, konseling, serta kehadiran orang dewasa yang tenang saat waktu makan dapat membantu memulihkan keteraturan pola makan.

Banjir membawa perubahan besar dalam kehidupan anak. Bukan cuma tempat tinggal, sekolah, dan kegiatan harian, tetapi juga hubungan emosional anak dengan makanan. Food aversion bisa muncul sebagai dampak kompleks dari pengalaman krisis seperti terganggunya akses makanan, trauma emosional, dan gangguan pola makan harian.

Pemulihan pola makan anak pascabencana penting dilakukan sejak dini, karena nutrisi yang baik tidak hanya penting untuk pertumbuhan fisik anak, tetapi juga membantu anak memulihkan rasa aman, kontrol diri, dan kesejahteraan emosional di tengah proses pemulihan pascabanjir.

Referensi

"Food and Nutrition in Disasters.” Pan American Health Organization. Diakses Desember 2025.

Akindele Abimibayo Adeoya et al., “Child Nutrition in Disaster: A Scoping Review,” The Tohoku Journal of Experimental Medicine 256, no. 2 (January 1, 2022): 103–18, https://doi.org/10.1620/tjem.256.103.

Nikmah Utami Dewi et al., “Factors Associated With Diet Quality Among Adolescents in a Post-Disaster Area: A Cross-Sectional Study in Indonesia,” Nutrients 15, no. 5 (February 22, 2023): 1101, https://doi.org/10.3390/nu15051101.

Pranil Man Singh Pradhan, Rolina Dhital, and Huma Subhani, “Nutrition Interventions for Children Aged Less Than 5 Years Following Natural Disasters: A Systematic Review,” BMJ Open 6, no. 9 (September 1, 2016): e011238, https://doi.org/10.1136/bmjopen-2016-011238.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nuruliar F
EditorNuruliar F
Follow Us

Latest in Health

See More

Sudah Pakai IUD tapi Tetap Hamil, Apa yang Harus Dilakukan?

20 Des 2025, 22:49 WIBHealth