Bolehkah Ibu Hamil Minum Obat Warung? Cari Tahu Faktanya!

Selama kehamilan, ibu sering mengalami keluhan seperti pegal-pegal, mual, atau pusing. Sebagai solusi praktis, beberapa ibu mungkin memilih membeli obat di warung untuk meredakan gejala tersebut karena harganya terjangkau dan mudah didapatkan.
Sayangnya, tidak semua obat warung aman untuk ibu hamil. Beberapa kandungan dalam obat bebas dapat berdampak negatif pada janin dan meningkatkan risiko komplikasi kehamilan. Ada obat yang masih boleh dikonsumsi atas rekomendasi dokter, tetapi banyak juga yang sebaiknya dihindari sama sekali. Agar lebih aman, yuk, cari tahu fakta dan risiko obat warung bagi ibu hamil sebelum mengonsumsinya!
1. Bolehkah ibu hamil minum obat warung?
Ibu hamil tidak boleh sembarangan minum obat, termasuk obat yang dijual bebas di warung. Beberapa kandungan dalam obat warung dapat berisiko bagi perkembangan janin dan berpotensi menimbulkan efek samping.
Beberapa obat warung, seperti paracetamol yang sering digunakan untuk meredakan demam dan sakit kepala, umumnya aman bagi ibu hamil. Meskipun dapat dibeli tanpa resep dokter dan dianggap relatif aman bagi ibu hamil maupun menyusui, tetap penting untuk selalu mengikuti petunjuk penggunaan. Dilansir NHS, dosis paracetamol yang dianjurkan untuk orang dewasa adalah 500–1.000 mg, dengan batas maksimal 4 kali sehari.
Tak hanya paracetamol, beberapa obat penurun demam yang dijual di warung mungkin mengandung ibuprofen atau kafein, yang sebaiknya dihindari selama kehamilan atau hanya dikonsumsi atas rekomendasi dokter. Ibuprofen tergolong obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) harus dikonsultasikan dulu sebelum dikonsumsi.
Menurut National Center for Biotechnology Information (NCBI), ibuprofen tidak disarankan setelah usia kehamilan 20 minggu. Penggunaan OAINS pada paruh kedua kehamilan berpotensi memengaruhi fungsi ginjal janin dan mengurangi jumlah cairan ketuban (oligohidramnios). Kondisi ini dapat menyebabkan berbagai komplikasi, seperti gangguan perkembangan paru-paru, kelainan sendi (kekakuan atau kesulitan bergerak), serta meningkatkan risiko persalinan prematur, baik melalui induksi maupun operasi caesar. Dalam kasus yang lebih serius, oligohidramnios bahkan dapat menyebabkan kematian janin.
Begitu pula pada obat batuk dan pilek. Kandungan seperti dextromethorphan dan bromhexine umumnya aman bagi ibu hamil. Akan tetapi, komponen lain seperti guaifenesin dan phenylephrine bisa berisiko dan harus dihindari selama kehamilan.
Dilansir Healthline, penelitian menunjukkan bahwa phenylephrine dalam bentuk oral tidak aman untuk ibu hamil. Hal ini disebabkan oleh cara kerja phenylephrine yang meredakan hidung tersumbat dengan menyempitkan pembuluh darah di saluran hidung. Mekanisme ini memang membantu mengurangi produksi lendir dan membuka saluran pernapasan, tetapi pada phenylephrine oral, efek penyempitan pembuluh darah tidak hanya terjadi di hidung, melainkan juga di rahim.
Penyempitan pembuluh darah di rahim selama kehamilan dapat mengurangi aliran darah ke janin, yang berisiko menyebabkan janin kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen ini dapat meningkatkan risiko cacat lahir atau membuat detak jantung bayi menjadi terlalu lambat. Oleh karena itu, ibu hamil sebaiknya tidak mengonsumsi phenylephrine dalam bentuk oral.
Di sisi lain, phenylephrine dalam bentuk semprotan hidung (intranasal) umumnya hanya bekerja pada saluran hidung tanpa berdampak pada rahim. Namun, penggunaan dekongestan intranasal tidak boleh lebih dari tiga hari berturut-turut. Hingga saat ini, belum ada bukti yang mengaitkan penggunaan phenylephrine intranasal dalam jangka pendek dengan risiko cacat lahir atau gangguan kehamilan lainnya.
Meski sebelum hamil beberapa obat warung mungkin terasa aman, saat hamil risikonya bisa berbeda. Obat yang mengandung zat tertentu dapat menyebabkan efek samping bagi sang ibu maupun janin. Oleh karena itu, selalu konsultasikan bersama dokter sebelum mengonsumsi obat apa pun selama kehamilan.