Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bagaimana Film Pangku Membuka Mata tentang Pekerja Kopi Pangku?

potongan adegan dalam film Pangku
potongan adegan dalam film Pangku (dok. Gambar Gerak/Pangku)
Intinya sih...
  • Pangku memotret perjuangan perempuan pekerja informal di lingkungan warung kopi pangku
  • Pangku membahas tekanan ekonomi, keterbatasan pendidikan, dan kondisi keluarga sebagai pemicu utama keterlibatan perempuan dalam praktik tersebut
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pangku merupakan film panjang pertama Reza Rahadian sebagai sutradara yang mulai tayang di bioskop seluruh Indonesia pada 6 November 2025. Film ini menghadirkan cerita tentang kehidupan para pekerja warung kopi pangku di jalur Pantura yang selama ini jarang mendapat sorotan.

Berkat kekuatan narasi dan eksekusinya, Pangku langsung mengantongi empat penghargaan di FFI 2025, termasuk kategori Film Cerita Panjang Terbaik. Christine Hakim juga membawa pulang piala Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik, disusul Reza Rahadian yang memenangkan Penulis Skenario Asli Terbaik, dan Eros Eflin yang meraih Pengarah Artistik Terbaik.

Tak hanya mendapat apresiasi di tanah air, Pangku lebih dulu menorehkan prestasi di kancah internasional. Di Vision Awards Busan International Film Festival 2025, film yang versi internasionalnya berjudul On Your Lap ini memborong empat kategori sekaligus. Empat kemenangan itu adalah KB Vision Audience Award, FIPRESCI Award, Bishkek International Film Festival-Central Asia Cinema Award, dan Face of the Future Award. Catatan manis ini membuat Pangku unggul dari film India, Shape of Momo, yang meraih dua penghargaan.

Meski banyak yang awalnya menganggap Pangku sebagai drama biasa, film ini sejatinya mengangkat isu sosial yang jauh lebih kompleks. Reza sebagai sutradara film menyoroti kerasnya perjuangan pekerja kopi pangku yang hidup dalam tekanan ekonomi dan keterbatasan pilihan. Pendekatan ini membuat Pangku menjadi salah satu film yang mampu memperluas perspektif publik terhadap profesi yang selama ini dipenuhi stigma negatif. Lalu, bagaimana sebenarnya film Pangku berhasil mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerja warung kopi malam di wilayah Pantura?

1. Film Pangku membuka mata tentang pekerja kopi pangku di Pantura

Claresta Taufan
Claresta Taufan di film Pangku (dok. Gambar Gerak/Pangku)

Fenomena kopi pangku sebenarnya telah lama menjadi bagian dari kultur masyarakat pesisir Pantura. Namun, keberadaannya jarang dibicarakan secara terbuka. Tidak sedikit orang yang keliru memahami praktik ini, lalu menyederhanakannya sebagai bentuk hiburan gelap atau prostitusi terselubung tanpa melihat latar sosial yang membentuknya.

Film garapan rumah produksi Gambar Gerak ini dibintangi Claresta Taufan, Christine Hakim, Fedi Nuril, Devano Danendra, dan Shakeel Fauzi. Pangku mengisahkan perjalanan Sartika (Claresta Taufan), seorang ibu muda yang tengah mengandung dan merantau demi masa depan anaknya. Dalam perjalanannya, ia bertemu Bu Maya (Christine Hakim), pemilik warung kopi yang dikenal baik hati dan membantu Sartika hingga proses persalinan. Namun, terselip rencana lain yang membuat Sartika terjerumus menjadi pelayan di warung kopi pangku.

Pendekatan penyutradaraan Reza Rahadian membuat film ini tampil lebih dari sekadar drama romantis. Reza menyebut bahwa kisah Pangku lahir dari risetnya saat proses syuting di pesisir Pantura bersama penulis novel Orang-Orang Oetimu, Felix K. Nesi pada Februari hingga Juni 2024, ketika ia melihat langsung keberadaan warung-warung kopi pangku sebagai fenomena sosial yang sarat paradoks. Film ini juga berupaya menepis stigma publik yang kerap melabeli warung kopi pangku sebagai hiburan gelap atau layanan plus-plus tanpa mempertimbangkan realitas hidup para pekerjanya.

Dalam skala yang lebih luas, Pangku memotret perjuangan perempuan pekerja informal di lingkungan warung kopi pangku yang berada dalam kondisi rentan dan minim perlindungan. Melalui penciptaan karakter Ibu Maya dan Sartika, film ini menampilkan bentuk solidaritas sesama perempuan meski mereka hidup dalam situasi yang terpinggirkan. Melalui narasi dan pengemasan yang apik, Pangku berhasil merefleksikan isu sosial yang kompleks sekaligus membuka mata penonton terhadap kenyataan yang sering luput dari perhatian publik.

2. Representasi sosial dan ekonomi dalam film Pangku

Pangku (dok. Gambar Gerak/Pangku)
Pangku (dok. Gambar Gerak/Pangku)

Salah satu kekuatan utama Pangku terletak pada cara Reza Rahadian menyoroti faktor-faktor struktural yang mendorong perempuan seperti Sartika bekerja di warung pangku. Film ini dengan gamblang membahas tekanan ekonomi, keterbatasan pendidikan, dan kondisi keluarga yang serba sulit sebagai pemicu utama keterlibatan perempuan dalam praktik tersebut. Melalui sejumlah adegan, Sartika yang sejak awal menolak akhirnya harus menyerah demi bertahan hidup dan menghidupi anaknya. Gambaran ini menegaskan bahwa praktik dipangku bukan semata-mata karena kesenangan, melainkan beban eksistensial yang harus ditanggung.

Film ini juga memperlihatkan dinamika sosial yang kompleks di dalam warung pangku. Ibu Maya menjadi sosok yang menopang kehidupan Sartika di tengah keterbatasan. Lebih dari itu, Pangku memberi wajah nyata pada stigma yang selama ini melekat pada pekerja pangku beserta konsekuensi sosial yang mereka tanggung.

Reza Rahadian ingin menunjukkan bahwa hidup hadir dengan ruang-ruang tanpa pilihan dan menyisakan keputusan yang kadang terasa salah di mata orang lain. Di balik itu semua, film Pangku juga menyingkap adanya ruang solidaritas. Kehadiran Hadi (Fedi Nuril) sebagai sopir truk yang memandang Sartika tanpa menghakimi masa lalunya membuka kemungkinan bahwa hubungan yang tumbuh di warung pangku bisa menghadirkan sisi kemanusiaan.

3. Eksploitasi dan kekuasaan dalam praktik kopi pangku

Potret Reza Rahadian dan Hanung Bramantyo di lokasi syuting film Pangku
Potret Reza Rahadian dan Hanung Bramantyo di lokasi syuting film Pangku. (instagram.com/hanungbramantyo)

Fenomena kopi pangku telah lama menjadi objek kajian karena praktiknya kerap memuat unsur eksploitasi terhadap tubuh perempuan. Penelitian Ariadin tahun 2020 yang dimuat dalam jurnal Universitas Airlangga menyoroti bagaimana pekerja perempuan di warung kopi pangku di Jombang diposisikan sebagai daya tarik utama untuk mendatangkan pelanggan. Tubuh mereka dijadikan komoditas melalui penampilan yang dibuat "seksi", baik lewat pakaian yang minim maupun riasan berlebihan.

Warung kopi pangku tidak hanya menjual minuman, tetapi juga memberi pengalaman sensual yang ditampilkan lewat keberadaan pelayannya. Para pekerja pun tidak semata membuat pesanan, tetapi turut menemani pelanggan selama menikmati kopi. Tubuh mereka menjadi sasaran regulasi kuasa yang terlihat ketika para pelayan kerap menjadi target razia dan penangkapan dalam penggerebekan.

Studi tersebut juga menegaskan adanya mekanisme kontrol kekuasaan terhadap tubuh para pekerja. Mereka diharuskan memberikan layanan bukan hanya secara verbal, tetapi juga secara fisik dan emosional. Dalam beberapa kasus, praktik ini dapat mengarah pada transaksi seksual terselubung. Film Pangku kemudian menghadirkan elemen-elemen khas ini dalam karakter dan latarnya tanpa menutup mata terhadap kerasnya realitas tersebut.

Penelitian lain oleh Setiawan tahun 2022 dalam jurnal Habitus Universitas Negeri Surabaya menelusuri interaksi antara pekerja perempuan dan pelanggan warung pangku di Gresik melalui simbol-simbol sosial tertentu. Temuan tersebut menjelaskan bahwa banyak perempuan yang bekerja di warung kopi pangku membawa beban masalah rumah tangga, termasuk perceraian yang membuat mereka mencari jalan pintas untuk bertahan hidup. Ada pula pergulatan batin sebagai orang tua yang merasa gagal membahagiakan anaknya sehingga mereka memutuskan merantau mencari pekerjaan yang dianggap mudah dilakukan. Mereka menanggalkan sementara pandangan negatif dan tabu demi kebutuhan hidup meski sadar bahwa pekerjaan yang mereka ambil dipandang menyimpang di mata publik.

4. Dilema moral pekerja kopi pangku

potret Reza Rahadian dan DOP film Pangku, Teoh Gay Hian, di sekitar lokasi syuting
potret Reza Rahadian dan DOP film Pangku, Teoh Gay Hian, di sekitar lokasi syuting (instagram.com/officialpilarez)

Film Pangku mengajak penonton masuk ke dalam pergulatan moral yang dihadapi Sartika. Di satu sisi, ia ingin mempertahankan harga diri sekaligus memastikan anaknya mendapatkan masa depan yang lebih layak. Di sisi lain, kondisi ekonomi yang menjerat membuat ruang geraknya sangat terbatas. Pilihannya hanya dua, tetap bekerja di warung kopi pangku atau menghadapi kerasnya hidup tanpa penghasilan di tengah lapangan kerja yang semakin menyempit.

Narasi utama film ini bukan soal desah, melainkan kisah seorang ibu yang berjuang demi mencari sesuap nasi. Pesisir Pantura tidak menawarkan ragam pilihan untuk mencari nafkah, apalagi bagi perempuan yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Perdebatan moral pun terasa timpang ketika negara tidak hadir memberi dukungan ekonomi. Bagi sebagian orang, warung kopi pangku adalah tempat melepas lelah. Bagi sebagian lainnya, justru menjadi sumber nafkah satu-satunya.

Warung kopi pangku sebenarnya mencerminkan kegigihan perempuan pesisir bertahan dalam kondisi ekonomi yang sempit. Hal ini tergambar jelas pada sosok Sartika dalam film arahan Reza Rahadian. Pagi hari, ia bekerja sebagai buruh tani. Sementara, malam hari ia menjadi pelayan di warung pangku demi menghidupi anaknya. Ibu satu anak yang tak tahu siapa bapaknya ini memang ada dalam dunia nyata. Rasanya, masih banyak Sartika lain di luar sana yang punya kisah serupa. Perempuan yang menjadi janda muda, ditinggal suami tanpa sepeserpun nafkah yang mulai mempertaruhkan nasib dan martabatnya di warung kopi pangku, korban kekerasan rumah tangga, atau yang kehilangan pekerjaan akibat PHK maupun kolaps.

Pangku menyajikan dilema itu dengan kedalaman emosional yang kuat. Pilihan-pilihan yang dari luar tampak tidak bermoral sebenarnya lahir dari benturan hidup yang tidak mudah. Melalui realitas ini, film tersebut memperlihatkan bahwa keputusan para pekerja kopi pangku terbentuk dari keadaan ekonomi dan sosial yang menjerat.

5. Dampak film Pangku terhadap persepsi publik

Potret Reza Rahadian bersama para pemain film Pangku serta Hanung Bramantyo dan Zaskia Adya Mecca.
Potret Reza Rahadian bersama para pemain film Pangku serta Hanung Bramantyo dan Zaskia Adya Mecca. (instagram.com/hanungbramantyo)

Poster resmi film Pangku menampilkan sosok Sartika yang duduk di pangkuan Hadi (sopir truk yang diperankan Fedi Nuril) sambil menggenggam secangkir kopi turut menghadirkan simbol kuat tentang kedekatan, kerentanan, sekaligus beban hidup yang dipikulnya. Visual tersebut mempertegas bagaimana Pangku mampu mengubah cara pandang publik terhadap pekerja warung kopi pangku. Film ini memikat penonton untuk membuka mata terhadap kenyataan yang selama ini tersembunyi dan kerap disalahartikan di luar kerangka ekonomi dan sosial yang membentuknya.

Selain itu, Pangku membuka ruang mengenai perlindungan sosial bagi para pekerja di sektor informal, terutama perempuan yang berada dalam posisi rentan dan rawan eksploitasi. Film ini berpotensi mendorong advokasi menuju kebijakan yang lebih manusiawi seperti akses pendidikan, jaminan sosial, hingga program pemberdayaan ekonomi. Melansir Medcom, Reza Rahadian berharap karyanya dapat meningkatkan kesadaran sosial sekaligus memberi ruang bagi kelompok yang selama ini berada di pinggiran masyarakat.

Film Pangku berhasil menggeser pemahaman publik mengenai realitas pekerja warung kopi pangku yang kerap disepelekan. Pendekatan naratif dan representasi manusiawi yang dibangun Reza menonjolkan sisi kemanusiaan para pekerja pangku bahwa mereka berjuang untuk bertahan hidup, menghidupi keluarga, dan menjaga martabat di tengah tekanan ekonomi. Praktik ini tidak terlepas dari relasi kuasa, eksploitasi tubuh, dan kondisi ekonomi yang kian mendesak.

Pangku memperlihatkan bahwa persoalan pekerja kopi pangku tidak hanya menyentuh para perempuan yang terlibat langsung, tetapi juga anak-anak yang tumbuh bersama stigma di sekeliling mereka. Melalui karakter Bayu yang diperankan Shakeel Fauzi, penonton diajak untuk melihat bagaimana stigma sosial dapat menggores kehidupan anak-anak yang sebenarnya tidak memilih situasi itu. Reza Rahadian menghadirkan perspektif yang hangat dan manusiawi untuk menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar latar belakang cerita, melainkan individu yang memiliki mimpi, kegelisahan, dan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Melalui Bayu, Pangku mengingatkan bahwa trauma dan kemiskinan tidak boleh diwariskan sebagai takdir. Bayu menjadi pintu empati penonton terhadap anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang dianggap "tidak lengkap" oleh masyarakat. Untuk Bayu-Bayu kecil di luar sana, semoga kalian menjadi generasi yang tetap bisa bersekolah dan memperoleh hak pendidikan tanpa halangan apa pun. Jika resonansi film ini ditanggapi serius oleh masyarakat maupun para pembuat kebijakan, film Pangku dapat menjadi pintu masuk untuk memperkuat perlindungan bagi pekerja sektor informal yang selama ini kurang diperhatikan. Setiap anak, siapa pun mereka dan dari latar apa pun layak untuk mendapatkan kesempatan yang setara demi membangun masa depan yang lebih baik.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Kidung Swara Mardika
EditorKidung Swara Mardika
Follow Us

Latest in Hype

See More

7 Film Indonesia Adaptasi Novel Karya Asma Nadia yang Tayang di Netflix

24 Nov 2025, 15:19 WIBHype