Mengenal Gaya Sinematik Oz Perkins, Nepo Baby di Balik Film Longlegs

Dikenal sebagai putra dari aktor kawakan Anthony Perkins, dalam istilah bahasa kekinian, Oz Perkins bisa dibilang nepo baby. Istilah itu merujuk pada orang-orang yang berhasil meniti karier di bidang yang sama dengan orangtua mereka dan menimbulkan persepsi kalau mereka terbantu oleh reputasi serta jejaring orangtua masing-masing.
Sama seperti sang ayah, Perkins memulai kariernya sebagai aktor. Namun, perlahan ia dapat pengakuan setelah merilis film horor Longlegs yang sedang ramai dibicarakan.
Seolah keluar dari bayang-bayang ayahnya, Oz Perkins berhasil membangun reputasi baru sebagai sutradara. Apa yang membuatnya sukses? Gaya sinematik apa yang memungkinkannya mencapai statusnya sekarang?
1. Spesialis film horor slow-burn dengan plot twist yang gak nanggung

Sebelum dikenal luas berkat Longlegs, Perkins debut dengan merilis The Blackcoat's Daughter pada 2015. Film yang mempertemukan Emma Roberts, Lucy Boynton, dan Kiernan Shipka itu masuk salah satu sinema yang menandai kemunculan A24 di industri hiburan. Sayangnya, ia tak sukses secara komersial. Padahal, secara kualitas dan plot, film ini salah satu yang sayang dilewatkan penikmat film horor.
Seperti Longlegs, film ini memadukan antara thriller dengan elemen supranatural lewat ritual satanik yang dilakukan salah satu karakternya. Kalau nonton keduanya, kamu bakal dengan mudah menemukan berbagai kemiripan gaya bercerita Oz Perkins. Mulai dari lajunya yang lambat dan plot twist yang disusun rapi serta berjenjang untuk menciptakan urgensi dan kengerian yang pas. Perkins memang indie darling, karya-karyanya satu frekuensi dengan rumah produksi independen yang dikenal dengan tipe film macam itu.
2. Gemar mendapuk perempuan sebagai protagonis utama

Setelah The Blackcoat's Daughter, Perkins sempat merilis film Gretel & Hansel pada 2020. Kali ini, ia bekerja sama dengan rumah produksi Orion Pictures. Mengadaptasi dongeng klasik dengan pendekatan horor, Perkins kembali mendapuk perempuan sebagai protagonis utamanya. Ini pula alasannya mengubah pakem judul dengan menempatkan Gretel di depan Hansel.
Bukan petualangan biasa, kisah Gretel dan Hansel versi Perkins berat di elemen coming of age sang kakak perempuan. Itu membuat film tersebut sering disandingkan dengan The Witch karya Robert Eggers.
Meski lagi-lagi gagal meraup sukses, film ini, ditambah The Blackcoat's Daugther dan Longlegs, mengindikasikan signatur Perkins yang gemar mendapuk lakon perempuan. Ini bukan hal mengejutkan mengingat dalam wawancaranya dengan Letterboxd, Perkins menyebut film-film seperti The Silence of the Lambs (1991) dan A Woman Under the Influence (1974) sebagai inspirasinya.
3. Negative space ala film horor modern

Salah satu gaya sinematik lain yang bisa diamati dari film-film Perkins adalah kegemarannya menggunakan negative space alias ruang kosong di antara subjek/objek utama. Kamu bisa mengamatinya dengan jelas dalam tiga film fiturnya tadi.
Negative space adalah salah satu karakteristik utama film horor modern. Beberapa contoh lainnya antara lain It Follows (2014), The Ring (2002), dan Blair Witch Project (1999). Sutradara horor Mike Flanagan juga sering menggunakan prinsip ini dalam karya-karyanya.
Negative space punya keunggulan saat dipakai untuk film horor, yakni memanipulasi dan mempermainkan kecemasan penonton. Mereka bisa saja menempatkan sesuatu mengerikan di ruang kosong itu atau bahkan tidak sama sekali, tetapi penonton sudah dibuat ketar-ketir dengan kemunculan tak terduga tersebut. Oz Perkins bukan pelopor negative space, tetapi ia salah satu yang berhasil mengeksploitasi trik tersebut untuk menciptakan teror dan ketakutan.
Bukan nepo baby aji mumpung, Oz Perkins butuh bertahun-tahun untuk dapat pengakuan. Setelah Longlegs, karya-karya Perkins bakal dinanti penikmat horor di seluruh dunia layaknya Ari Aster dan Robert Eggers.