5 Alasan Soft Quitting Sering Terjadi di Era Millennial, Pahami Dulu!

Kamu pernah dengar istilah “soft quitting”? Yes, ini adalah fenomena di mana orang-orang tidak benar-benar resign, tapi perlahan-lahan “keluar” dari pekerjaannya secara emosional. Mereka tetap hadir di kantor, tetap menjalankan tugas pokok, tapi hanya sebatas itu. Gairah, inisiatif, bahkan kepedulian mulai menipis. Hmm, menarik, ya? Kenapa bisa banyak millennial yang mengalami soft quitting ini?
Banyak faktor yang bisa memengaruhi fenomena ini, terutama di era di mana tekanan hidup makin tinggi, ekspektasi karir juga makin besar, dan rasa lelah mental semakin umum dirasakan. Yuk, kita bahas bersama lima alasan utama kenapa soft quitting ini sering terjadi di era millennial, siapa tahu kamu juga pernah mengalaminya, atau mungkin ini bisa membantu kamu mengerti teman atau rekan kerjamu yang mungkin mengalaminya!
1. Ekspektasi tinggi terhadap kehidupan kerja

Millennial hidup di era yang sangat kompetitif dan serba cepat. Dari awal masuk ke dunia kerja, mereka sudah terbiasa dengan target tinggi dan harapan untuk cepat sukses. Namun, kenyataannya sering jauh dari yang dibayangkan. Bekerja keras tidak selalu langsung berbuah manis, dan ini bikin banyak millennial merasa kecewa dan capek dengan dunia kerja.
Apalagi, di era media sosial, banyak dari mereka terus-menerus melihat pencapaian orang lain yang tampaknya “lebih hebat”. Tekanan untuk “sukses” jadi makin besar, padahal, jalan yang mereka tempuh nggak semudah yang terlihat. Ekspektasi yang tinggi ini seringkali memicu kekecewaan dan akhirnya mereka memilih untuk “mundur perlahan” alias soft quitting.
2. Minimnya keseimbangan hidup kerja

Di tengah jadwal kerja yang padat dan deadline yang ketat, millennial sering merasa sulit menemukan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Rasanya waktu 24 jam sehari nggak cukup untuk istirahat, berkumpul dengan keluarga atau teman, apalagi untuk self-care.
Hal ini bikin banyak orang akhirnya merasa “terjebak” di kantor atau depan laptop setiap hari. Lama-lama, semangat bekerja perlahan luntur dan mereka hanya menjalani pekerjaan sekadar menjalankan tugas, tanpa ada gairah lebih. Kebiasaan ini bisa berujung pada soft quitting karena secara mental, mereka sudah merasa lelah dan jenuh.
3. Lingkungan kerja yang kurang kondusif

Lingkungan kerja yang positif dan mendukung sangat memengaruhi produktivitas dan kenyamanan seseorang. Sayangnya, tidak semua millennial beruntung memiliki atasan yang suportif atau rekan kerja yang kompak. Banyak yang merasa lingkungan kerjanya toxic atau malah tidak membuat mereka berkembang.
Jika setiap hari dihadapkan dengan energi negatif, seperti gosip, intrik, atau kritik yang tidak membangun, motivasi bekerja bisa pelan-pelan turun. Bukan hal yang mengejutkan kalau akhirnya mereka memilih untuk soft quitting karena merasa tidak ada lagi hal yang bisa membuat mereka nyaman dan termotivasi.
4. Rasa jenuh dengan kehidupan yang monoton

Banyak millennial yang memiliki dorongan tinggi untuk terus belajar dan berkembang. Namun, saat pekerjaan terasa terlalu monoton atau kurang tantangan, mereka bisa merasa jenuh dan stagnan. Rutinitas yang itu-itu saja tanpa ada variasi atau kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan baru membuat mereka merasa terjebak.
Saat kebosanan ini bertahan lama tanpa solusi yang memadai, mereka bisa kehilangan gairah untuk benar-benar berkarya. Mereka masih tetap menjalankan tugas, tapi tanpa antusiasme, yang akhirnya berujung pada soft quitting karena sudah tidak ada lagi hal menarik yang bisa membuat mereka merasa hidup di tempat kerja.
5. Lebih memilih untuk menjaga kesehatan mental

Generasi millennial cenderung lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka paham bahwa bekerja tanpa batas bisa mengorbankan kesehatan mental dan fisik. Jadi, ketika pekerjaan mulai menekan dan menguras energi, banyak yang memilih untuk menarik diri secara perlahan demi menjaga kesehatan mentalnya.
Pentingnya self-care dan mindfulness juga jadi faktor yang memengaruhi keputusan ini. Mereka paham, bertahan dalam lingkungan kerja yang membuat stres bukanlah hal yang bijak. Akhirnya, banyak dari mereka yang tetap bertahan dengan cara yang “halus” namun pelan-pelan menarik diri dari komitmen lebih, itulah inti dari soft quitting.
Soft quitting bukanlah hal yang memalukan atau tanda seseorang tidak peduli. Kadang, ini adalah cara seseorang untuk menjaga dirinya sendiri di tengah tuntutan hidup yang tinggi. Yang perlu kita ingat, bekerja bukan hanya soal hasil akhir, tapi juga soal bagaimana kita menikmati prosesnya dan menjaga diri. Jika kamu atau temanmu merasa berada di titik ini, mungkin sudah saatnya memikirkan kembali apa yang membuat kita bahagia di pekerjaan, dan mencari keseimbangan yang tepat. Jadi, tetap semangat dan jaga dirimu ya!