Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Hal Sensitif Bagi Gen Z yang Cukup Didengar Saja, Gak Ingin Dinasihati!

ilustrasi Gen Z (pexes.com/Ivan Samkov))
ilustrasi Gen Z (pexes.com/Ivan Samkov))
Intinya sih...
  • Gen Z ingin dipahami dan didengarkan saat berbagi cerita, bukan mencari solusi atau nasihat.
  • Media sosial adalah tempat kontradiktif bagi Gen Z, mereka mencari ruang untuk berbagi dan belajar di sana.
  • Gen Z menghadapi kebutuhan akan work-life balance, hubungan kompleks, dan tantangan finansial yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Gen Z tumbuh di tengah perubahan dunia yang sangat cepat. Tak heran jika cara mereka mengekspresikan diri pun berbeda dengan generasi sebelumnya. Sering kali, mereka bukan mencari solusi atau nasihat saat berbagi cerita, tapi hanya ingin dipahami dan didengarkan. Bagi mereka, validasi emosional lebih penting daripada arahan yang terdengar seperti menggurui.

Sayangnya, banyak dari kita masih terbiasa memberi tanggapan dengan pola pikir “memberi solusi,” bukan “memberi ruang.” Padahal, dalam banyak hal, Gen Z hanya butuh seseorang yang mendengarkan tanpa menghakimi, terutama saat membicarakan topik-topik sensitif. Nah, berikut ini hal yang bisa membantu kita membangun komunikasi lebih sehat lintas generasi.

1. Menavigasi media sosial

ilustrasi gen z (pexels.com/Kaboompics)
ilustrasi gen z (pexels.com/Kaboompics)

Bagi Gen Z, media sosial adalah tempat yang penuh kontradiksi. Di satu sisi, mereka sadar akan dampak negatifnya seperti kecemasan, perbandingan sosial, dan ketergantungan. Namun di sisi lain, mereka juga menemukan komunitas, koneksi, bahkan ruang aman di sana. Jadi, ketika mereka mengeluhkan media sosial, mereka bukan mencari nasihat melainkan hanya ingin dimengerti.

Banyak dari mereka menjalin pertemanan hingga hubungan romantis lewat dunia digital. Grup hobi, forum identitas, atau akun edukatif menjadi tempat belajar dan bersuara. Jadi saat Gen Z membahas soal screen time atau tekanan sosial online, sering kali mereka hanya ingin berbagi, bukan diberi ceramah soal “kurangi main HP.”

2. Hubungan dan percintaan

ilustrasi hubungan asmara (pexels.com/Ba Tik)
ilustrasi hubungan asmara (pexels.com/Ba Tik)

Dunia kencan kini jauh lebih kompleks dibanding masa orangtua mereka. Dengan munculnya istilah seperti situationship, pacaran virtual, dan pola komunikasi yang berbeda, Gen Z membentuk aturan sendiri. Ketika curhat tentang hubungan, sering kali mereka hanya butuh didengarkan, bukan diberi petuah soal “jangan buru-buru nikah” atau “pacaran yang serius.”

Nasihat dari generasi sebelumnya kadang terasa tidak relevan karena konteks sosialnya sudah sangat berubah. Gen Z menghadapi kecemasan, krisis keuangan, dan nilai-nilai baru soal komitmen. Mereka lebih menghargai empati dan rasa dipahami, bukan wejangan yang terdengar memaksakan standar lama.

3. Jalan hidup tradisional menuju sukses

ilustrasi boomer (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi boomer (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Dulu kuliah, kerja, menikah adalah jalur sukses yang dianggap ideal. Namun bagi Gen Z, jalur itu justru sering penuh jebakan. Mereka menghadapi utang pendidikan, pasar kerja yang tidak stabil, dan perkembangan teknologi seperti AI yang mengubah segalanya. Jadi, saat mereka mempertanyakan jalur hidup ini, bukan berarti mereka minta saran.

Sebenarnya Gen Z hanya ingin ruang untuk bercerita tanpa dihakimi. Seringkali, nasihat dari generasi sebelumnya justru terasa menyakitkan karena kenyataannya sudah berbeda. Gen Z lebih ingin menemukan jalur mereka sendiri, berdasarkan minat dan nilai hidup yang diyakini. Yang mereka butuhkan bukan arahan, tapi validasi atas pilihan hidupnya.

4. Keseimbangan hidup dan kerja

ilustrasi orang ekerja (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi orang ekerja (pexels.com/cottonbro studio)

Gen Z sering dianggap manja karena menuntut work-life balance, padahal mereka hanya ingin hidup yang sehat dan tidak terjebak kerja lembur tanpa arah. Mereka sadar bahwa pekerjaan bukan segalanya. Maka, saat mereka bicara tentang burnout atau ingin resign, bukan berarti mereka butuh solusi “sabar dulu” atau “nanti juga naik pangkat.”

Mereka ingin didengar saat mengungkapkan keresahan soal dunia kerja. Daripada kompromi terus-menerus, mereka lebih memilih mencari lingkungan kerja yang menghargainya sebagai manusia, bukan sekadar produktivitas. Komunikasi yang empati jauh lebih berarti daripada nasihat bertema “bertahanlah.”

5. Cara mengelola uang

ilustrasi Gen Z (pexels.com/Anna Tarazevich)
ilustrasi Gen Z (pexels.com/Anna Tarazevich)

Memang benar bahwa banyak Gen Z yang merasa kurang edukasi keuangan sejak kecil. Namun ketika mengeluhkan keuangan, mereka bukan ingin diberi saran klasik seperti “hemat kopi susu” atau “beli rumah dari sekarang.” Mereka lebih ingin dipahami bahwa sistem ekonomi saat ini tidak adil bagi generasinya.

Gen Z lebih percaya pada edukasi finansial modern, seperti dari kreator konten atau pakar muda yang memahami kondisi sekarang. Mereka juga menolak mentalitas berkorban demi masa depan kalau ternyata tidak sepadan dengan dampak mental yang ditimbulkan. Intinya, saat bicara uang, mereka lebih butuh empati daripada petuah.

6. Politik dan isu sosial

ilustrasi politik (pexels.com/Rosemary Ketchum)
ilustrasi politik (pexels.com/Rosemary Ketchum)

Gen Z tumbuh dalam dunia yang penuh krisis seperti perubahan iklim dan ketegangan politik. Bagi mereka, politik adalah hal yang personal karena langsung berdampak pada hidupnya. Saat mereka bicara soal isu ini, mereka bukan minta diajari cara berpikir yang netral atau dewasa. Gen Z ingin didengar karena mereka sudah cukup aktif menyuarakan hal tersebut.

Mereka sadar bahwa percakapan politik bisa menimbulkan konflik, terutama dengan generasi yang punya pandangan berbeda. Namun daripada diam atau menghindar, mereka memilih bicara terbuka. Yang mereka harapkan adalah ruang diskusi yang empati, bukan debat menang-kalah atau sindiran soal idealisme.

Menghargai perasaan dan pengalaman orang lain, tanpa terburu-buru memberi nasihat, bisa jadi bentuk empati paling sederhana tapi bermakna. Apalagi untuk Gen Z, yang sudah cukup lelah dengan tekanan dari berbagai arah. Jadi, saat mereka datang padamu untuk bercerita, kamu mau memberi nasihat atau cukup jadi pendengar dulu?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us