Kenapa Gen Z Sering Dipecat dan Sulit Bertahan di Tempat Kerja?

Gen Z dikenal sebagai generasi yang kreatif, melek teknologi, dan penuh ambisi. Namun, di dunia kerja, mereka sering menghadapi tantangan yang membuat mereka sulit bertahan lama di satu perusahaan. Ada banyak faktor yang membuat mereka rentan dipecat atau mengundurkan diri.
Beberapa atasan mengeluhkan sikap Gen Z yang dianggap kurang disiplin atau tidak tahan tekanan. Di sisi lain, Gen Z merasa lingkungan kerja yang kaku dan aturan yang terlalu ketat justru membatasi potensi mereka. Lalu, apa saja alasan utama yang membuat Gen Z sering kehilangan pekerjaan?
1. Lebih rentan kena PHK

Ketidakpastian ekonomi membuat banyak perusahaan harus memangkas biaya operasional, termasuk dengan merampingkan jumlah karyawan. Gen Z yang masih di awal karier sering menjadi sasaran karena dianggap belum cukup berpengalaman. Banyak perusahaan lebih memilih mempertahankan karyawan senior yang sudah terbukti produktif daripada melatih tenaga kerja baru.
Akibatnya, Gen Z lebih rentan mengalami PHK atau kesulitan mendapatkan pekerjaan yang stabil. Selain itu, tingginya persaingan kerja membuat mereka harus terus beradaptasi dan meningkatkan keterampilan. Jika tidak siap dengan perubahan, mereka bisa semakin tertinggal di dunia kerja yang kompetitif.
2. Lebih suka kerja hybrid atau remote

Gen Z tumbuh di era digital yang serba cepat, sehingga mereka menginginkan fleksibilitas dalam dunia kerja. Banyak dari mereka lebih memilih sistem kerja hybrid atau remote daripada bekerja di kantor dengan jam kerja tetap. Namun, tidak semua perusahaan siap menerapkan model kerja fleksibel, terutama di industri yang masih mengandalkan kehadiran fisik.
Ketidakseimbangan antara ekspektasi Gen Z dan kebijakan perusahaan sering kali menimbulkan ketidakcocokan. Akibatnya, banyak dari mereka merasa tidak betah dan memilih resign atau bahkan dipecat karena dianggap kurang berkomitmen. Jika tidak bisa menyesuaikan diri, mereka akan terus kesulitan bertahan di tempat kerja.
3. Mencari lingkungan kerja yang lebih dinamis

Gen Z cenderung menginginkan lingkungan kerja yang inovatif, menantang, dan tidak monoton. Mereka lebih suka pekerjaan yang memberikan ruang untuk eksplorasi, kreativitas, dan perkembangan diri. Namun, banyak perusahaan masih menerapkan sistem kerja yang kaku dan tugas yang repetitif, yang membuat Gen Z cepat merasa bosan.
Ketika lingkungan kerja dianggap kurang menarik, mereka lebih memilih keluar daripada bertahan dalam rutinitas yang membosankan. Sikap ini sering dianggap sebagai kurangnya loyalitas dan komitmen oleh atasan. Akibatnya, banyak Gen Z yang sulit mempertahankan pekerjaan dalam jangka panjang.
4. Menginginkan pekerjaan yang sejalan dengan nilai pribadi

Gen Z tidak hanya mencari pekerjaan untuk sekadar mendapat gaji, tetapi juga ingin bekerja di perusahaan yang sejalan dengan nilai dan prinsip mereka. Isu seperti keberlanjutan, inklusivitas, dan kesejahteraan karyawan menjadi faktor penting dalam memilih tempat kerja. Jika perusahaan dianggap tidak memiliki visi yang sesuai, mereka cenderung kehilangan motivasi atau bahkan memilih keluar.
Di sisi lain, tidak semua perusahaan dapat memenuhi standar idealisme yang mereka harapkan. Hal ini sering kali menimbulkan ketidaksesuaian antara ekspektasi dan realitas dunia kerja. Akibatnya, banyak Gen Z yang kesulitan bertahan lama di satu pekerjaan karena terus mencari lingkungan yang benar-benar cocok dengan mereka.
5. Kesulitan dengan hierarki tradisional

Gen Z tumbuh di lingkungan yang lebih egaliter dan terbuka, sehingga mereka cenderung tidak nyaman dengan struktur hierarki yang kaku di tempat kerja. Mereka lebih suka bekerja dalam tim yang memiliki komunikasi terbuka dan kolaboratif, bukan di bawah atasan yang memberi perintah tanpa banyak diskusi. Ketika dihadapkan dengan budaya perusahaan yang sangat formal dan hierarkis, Gen Z sering merasa terkekang dan tidak dihargai pendapatnya.
Ketidaksesuaian ini dapat membuat mereka cepat merasa frustasi dan berpikir untuk mencari peluang lain yang lebih cocok. Perbedaan dalam cara berinteraksi dan bekerja seringkali menjadi pemicu utama bagi Gen Z untuk keluar dari perusahaan. Hal ini menciptakan tantangan besar dalam mempertahankan mereka dalam jangka panjang.
6. Memprioritaskan kesehatan mental di atas pekerjaan

Bagi banyak Gen Z, kesejahteraan mental menjadi prioritas utama, bahkan lebih penting daripada pekerjaan itu sendiri. Mereka lebih sadar akan pentingnya mengelola stres dan menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional. Ketika tekanan pekerjaan mulai mengganggu kesehatan mental mereka, banyak dari mereka yang memilih untuk resign atau mencari pekerjaan yang lebih mendukung keseimbangan tersebut.
Perusahaan yang tidak memberikan ruang untuk kesejahteraan karyawan, seperti cuti mental atau fleksibilitas dalam jam kerja, sering kali kehilangan Gen Z. Meskipun hal ini bisa dianggap sebagai kurangnya ketahanan, sebenarnya mereka hanya ingin memastikan kondisi mental tetap sehat. Sebagai hasilnya, mereka lebih memilih meninggalkan pekerjaan daripada mengabaikan kesehatan diri.
7. Memiliki pandangan budaya yang bertentangan dengan norma tempat kerja yang kuno

Gen Z memiliki pandangan yang lebih progresif terhadap berbagai isu, seperti keberagaman, kesetaraan, dan kebebasan berekspresi. Mereka cenderung menolak norma-norma tradisional yang ada di banyak tempat kerja, seperti budaya yang terlalu formal atau diskriminatif. Ketika mereka menemukan bahwa nilai-nilai pribadi mereka tidak dihargai atau bahkan ditentang di tempat kerja, hal ini dapat menurunkan semangat mereka untuk bertahan.
Perusahaan yang tidak mengikuti perkembangan zaman dalam hal kebijakan inklusif atau kebebasan berekspresi sering kali kesulitan mempertahankan karyawan muda ini. Gen Z lebih suka bekerja di lingkungan yang menghargai keberagaman dan membuka ruang untuk perbedaan. Ketidaksesuaian ini seringkali membuat mereka memilih keluar dan mencari tempat yang lebih sesuai dengan pandangan mereka.
8. Toleransi rendah terhadap perlakuan tidak adil

Gen Z dikenal memiliki tingkat toleransi yang rendah terhadap ketidakadilan, baik dalam bentuk diskriminasi, pelecehan, atau ketidaksetaraan di tempat kerja. Mereka lebih berani untuk mengungkapkan ketidakpuasan dan melawan perlakuan yang dianggap tidak adil. Jika mereka merasa diperlakukan dengan tidak hormat atau melihat perlakuan tidak setara terhadap rekan kerja, mereka tidak ragu untuk mencari pekerjaan lain yang lebih adil.
Gen Z juga sangat peduli dengan masalah transparansi dan keadilan dalam manajemen, dan mereka berharap perusahaan memperlakukan semua karyawan secara setara. Ketika hal-hal ini tidak terpenuhi, mereka bisa merasa tidak betah dan memilih untuk keluar. Dalam jangka panjang, sikap mereka ini menciptakan tantangan besar bagi perusahaan untuk mempertahankan talenta muda yang sangat menghargai keadilan.
Sebagai generasi yang tumbuh dalam dunia yang penuh perubahan, Gen Z memiliki ekspektasi dan nilai yang berbeda dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Meskipun sering dianggap sulit bertahan dalam pekerjaan, banyak dari mereka justru mencari lingkungan yang lebih sesuai dengan pandangan hidup dan tujuan pribadi mereka. Dalam menghadapi tantangan ini, perusahaan perlu beradaptasi dan menciptakan budaya kerja yang lebih inklusif, fleksibel, dan menghargai kesejahteraan karyawan. Dengan memahami kebutuhan dan karakteristik Gen Z, perusahaan dapat membangun hubungan yang lebih kuat dengan generasi muda dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan harmonis.