Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Alasan Budaya Literasi di Indonesia Sulit Diterapkan

ilustrasi membaca buku (pexels.com/Tima Miroshnichenko)
ilustrasi membaca buku (pexels.com/Tima Miroshnichenko)
Intinya sih...
  • Budaya literasi di Indonesia rendah, terutama di era digital
  • Harga buku mahal dan fasilitas kurang memadai jadi penyebab utama
  • Brain rot atau pembusukan otak karena lebih suka video pendek daripada membaca buku

Sudah tidak asing lagi, budaya literasi di Indonesia sangat rendah. Terlebih di era digital seperti sekarang, tontonan video lebih disukai daripada berlama-lama membaca buku. Bahkan tak jarang, para guru saat ini mengeluhkan tentang murid yang lebih cepat menghafal gerakan joget, daripada menangkap materi pembelajaran di sekolah.

Hal ini tentu menjadi masalah besar. Bagaimana Indonesia akan menjadi generasi emas, jika penerusnya tidak melek literasi sejak dini? Mereka berpendapat bahwa, membaca buku adalah kegiatan yang hanya dilakukan saat di sekolah. Sehingga, budaya membaca buku di Indonesia bukan menjadi hal yang membanggakan. Perlu kamu ketahui, inilah alasan logis mengapa budaya literasi di Indonesia masih sulit diterapkan sampai saat ini.

1. Harga buku yang sangat mahal

ilustrasi mahasiswa membawa buku (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi mahasiswa membawa buku (pexels.com/RDNE Stock project)

Penyebab pertama adalah, harga buku di Indonesia sangat mahal. Ya, memang saya akui itu benar adanya. Berbeda jauh dengan luar negeri, harga buku setara dengan biaya makan 3 kali sehari di Indonesia. Hal ini memicu adanya perbandingan yang sangat kentara sekali. Dikarenakan juga adanya ketidaksetaraan sosial dan ekonomi, sehingga berdampak pada minat baca, yaitu kurang tertarik untuk membeli buku.

Jangankan untuk mengalokasikan uang untuk buku, membaca saja mereka masih malas. Untuk bisa terbiasa dengan buku, setidaknya suka dulu terhadap buku. Bila kita suka, pasti akan mudah untuk dijalani dan tidak akan menjadi beban. Apalagi dengan harga buku yang sangat mahal, justru tidak menjadi alasan untuk menghilangkan kebiasaan membaca.

2. Kurangnya akses perpustakaan buku

ilustrasi meminjam buku di perpustakaan (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi meminjam buku di perpustakaan (pexels.com/Mikhail Nilov)

Terlebih di pedesaan, fasilitas kurang memadai. Di kota-kota besar, sudah banyak kita temukan perpustakaan dimana-mana. Dengan segala fasilitas dan biaya masuk gratis, budaya membaca di perkotaan cukup merata. Namun, tidak dengan kota kecil yang terpencil.

Seharusnya, banyak orang yang melek akan kondisi ini. Desa terpencil yang kurang perhatian dari pemerintah, justru sangat membutuhkan akses demi menunjang kebutuhan akademik. Dan sampai saat ini, literasi masih menjadi hal yang tabu. Sebab, mereka tidak diberi akses untuk itu. Sehingga tak heran, jika mereka buta terhadap budaya tulis-menulis.

3. Membaca sebagai kewajiban akademik

ilustrasi mengerjakan tugas (pexels.com/Ludovic Delot)
ilustrasi mengerjakan tugas (pexels.com/Ludovic Delot)

Banyak yang mengira bahwa, membaca adalah kegiatan yang hanya dilakukan saat belajar. Selain di sekolah, membaca bukan menjadi sesuatu yang wajib. Padahal, tidak demikian. Dan pemikiran ini sudah sangat melekat dalam otak anak Indonesia. Sehingga, ketika mereka mendapati seseorang membaca buku di tempat umum, itu hal yang aneh.

Dari sini bisa kita nilai, seberapa hebat generasi bangsa suatu negara. Bahwa literasi memang menjadi pondasi awal, untuk kita memahami setiap kejadian. Banyak sekali manfaat membaca buku, salah satunya adalah tidak mudah dipengaruhi. Jika kamu tidak suka membaca, setidaknya mau untuk mendukung terciptanya budaya literasi di bangsa sendiri.

4. Penghakiman terhadap buku bacaan

ilustrasi anak-anak di perpustakaan (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi anak-anak di perpustakaan (pexels.com/Mikhail Nilov)

Satu kesalahan besar di antaranya adalah, penghakiman terhadap buku bacaan. Tak jarang, kita masih sering menghakimi buku bacaan yang sedang dibaca. Seolah setiap genre bacaan tidak ada manfaatnya. Tentu, hal ini masih sering dilakukan. Padahal, setiap buku selalu ada pelajaran baik yang bisa kita ambil.

Untuk kalian yang masih suka menghakimi orang lain, ingatlah bahwa buku itu jendela ilmu. Setidaknya, dalam isi buku tidak mengandung unsur SARA dan pornografi. Sehingga buku masih bisa dinikmati dan dimengerti dengan baik.

5. Fenomena brain rot yang masih kuat

ilustrasi kelelahan baca buku (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi kelelahan baca buku (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Brain rot atau pembusukan otak adalah kondisi di mana seseorang lebih suka mengkonsumsi digital yang berisikan video pendek. Sehingga mereka sulit menyerap suatu informasi, karena otak mudah terdistraksi dan sulit berkonsentrasi. Hal ini yang menyebabkan mereka kurang suka dengan kegiatan yang menantang.

Seperti halnya, membaca buku, menonton video edukasi yang berdurasi panjang, atau sekadar bertukar pikiran guna melatih otak. Berkembangnya sosial media memang sangat memengaruhi sistem kerja otak. Tidak hanya untuk anak di bawah umur, tapi juga orang dewasa. Seolah sosial media adalah makanan sehari-hari, yang jika tidak dikonsumsi seperti ada yang kurang dalam hidupnya.

Bagi kita yang melek akan literasi, tugas saat ini adalah terus membagikan kegiatan literasi. Agar mereka sadar, bahwa literasi cukup penting untuk membangun Indonesia emas. Bagaimana kita akan kritis, kalau membaca saja tidak suka? Bagaimana Indonesia akan maju, kalau pendidikan saja masih rendah? Ayo, jadikan literasi sebagai kegiatan yang menyenangkan! Pemuda yang suka membaca buku adalah pemuda yang keren.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nabita Kamaliah
EditorNabita Kamaliah
Follow Us