5 Rekomendasi Novel Slice of Life yang Ceritanya Nampol

Ada dua tipe novel yang beredar di pasaran, satu yang berat di plot dan satu lagi yang berat di studi karakter. Tipe yang kedua biasanya dihindari sebagian pembaca, karena hampir tak ada konflik di dalamnya. Ceritanya cenderung lempeng dan tak ada momen bombastis. Namun, buat beberapa orang, ketenangan itulah yang dicari.
Jika kamu ingin coba baca novel slice of life yang dari halaman pertama sampai terakhir hanya mengikuti rutinitas karakter utamanya, silakan tengok lima judul di bawah. Dari Jepang sampai Eropa, mari merayakan hal-hal yang umumnya dianggap biasa melalui rekomendasi novel berikut ini, ya!
1. The Gate (Natsume Soseki)

The Gate adalah novel klasik asal Jepang yang berpusat pada kehidupan Sosuke dan istrinya, Oyone. Meski hubungan mereka harmonis, pasutri ini terkucil dari keluarga inti mereka karena nekat menikah tanpa restu orangtua. Diperparah dengan ketiadaan keturunan yang sudah bertahun-tahun mereka dambakan, serta kehadiran adik Sosuke yang butuh bantuan, krisis mulai terbentuk.
Meski begitu, cara Sosuke menyelesaikan konflik cukup unik dan relatif tenang. Ia memilih untuk melakukan perjalanan spiritual singkat ke sebuah kuil untuk menenangkan diri. Tak banyak yang terjadi di novel ini, tetapi balada Sosuke dan Oyone cukup nampol.
2. A Man Called Ove (Fredrik Backman)

Tak banyak pula yang terjadi dalam novel laris A Man Called Ove. Sudah difilmkan dalam dua versi, novel ini seperti judulnya berkutat pada keseharian lansia bernama Ove. Kesepian setelah kematian istri tercintanya, Ove mulai uring-uringan dan kehilangan harapan hidup.
Namun, semua berubah sejak kedatangan tetangga baru. Ternyata, Ove hanya butuh koneksi dengan manusia lain untuk bisa mensyukuri dan merayakan apa yang ia punya dan sudah alami selama hidupnya. Ini novel slice of life yang memadukan komedi, tragedi, dan drama dalam satu kotak.
3. The Cafe With No Name (Robert Seethaler)

Dikenal luas lewat novel A Whole Life, Robert Seethaler kembali dengan novel slife of life lain berjudul The Cafe With No Name. Masih berlatar Austria, karakternya kali ini adalah Robert Simon, pemuda 31 tahun yang berhasil membeli sebuah kafe berkat hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Ia kemudian merekrut beberapa pegawai untuk membantunya.
Mengambil latar 1966, trauma Perang Dunia II dan arus modernisasi jadi isu yang ikut ia sentil dalam novel ini. Berkutat pada rutinitas Simon dan pegawai-pegawainya, novel sederhana ini dikemas tak lebih dari 200 halaman. Pas buat kaum mendang-mending.
4. Panenka (Ronan Hession)

Panenka gak kalah seru, meski tipis. Sesuai judulnya, ia mengikuti keseharian mantan pesepakbola yang pensiun dini karena sebuah insiden. Akibat gagal mengeksekusi penalti pada sebuah momen krusial, ia dapat julukan sarkas Panenka dari orang-orang. Namun, berkat itu pula ia mengisolasi diri, bahkan dari keluarga intinya.
Akan ada banyak momen ketika Panenka dilanda trauma dan kekhawatiran berlebih. Isunya cukup serius, tetapi Ronan Hession berhasil mengemasnya jadi sebuah cerita ringan, kocak, dan menghangatkan hati. Jangan harap akan ada banyak konflik bombastis, sebaliknya, novelnya relatif lempeng dan menenangkan.
5. The Makioka Sisters (Junichiro Tanizaki)

Berlatar jelang Perang Dunia II, The Makioka Sisters mengikuti pergolakan hidup 4 bersaudara perempuan asal Jepang. Berasal dari keluarga aristokrat, keempatnya dibebani ekspektasi-ekspektasi tertentu. Namun, sebagai perempuan, mereka juga dibatasi dengan berbagai norma dan aturan lainnya.
Belum lagi pergeseran budaya akibat kehadiran pengaruh kultur Barat yang masuk ke Jepang. Novelnya lempeng, khas sastra Jepang, tetapi banyak momen kontemplatif dan menampar yang disentil Tanizaki. Selain konflik yang disebabkan manusia, beberapa peristiwa di luar kendali manusia seperti bencana alam ikut mewarnai hidup 4 kakak beradik itu.
Kamu salah satu yang selama ini menghindari novel sastra karena plotnya yang hampir tak ada alias lempeng? Coba lima judul di atas untuk menantang dirimu sendiri, siapa tahu ketagihan.