Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa yang Dimaksud dengan Kurikulum Personal? Lagi Tren!

personal curriculum
ilustrasi belajar (Pexels.com/Alina Vilchenko)

Di tengah tren yang berorientasi pada konsumerisme seperti bag charm dan matcha, ada satu tren yang cukup segar di internet. Tren yang dimaksud adalah membuat kurikulum personal. Ia diposisikan seperti sebuah jalan ninja untuk melawan brain rot, tepatnya dengan membuat atau mendesain silabus belajar mandiri.

Topiknya beragam, bisa berkaitan dengan hobi atau sesuatu yang bikin kita penasaran seperti literatur sastra, sejarah, seni, biologi, sampai fesyen. Bahkan ada juga yang bikin tugas atau PR tiap minggu dengan deadline tertata. Mengapa orang tertarik melakukan ini? Apa pula yang bisa kita petik dari tren kurikulum personal itu?

1. Kelanjutan dari tren dark academia

dark academia
ilustrasi kampus gothic (Pexels.com/_ Cécile)

Dalam level tertentu, tren personal curriculum ini mungkin punya kaitan erat dengan tren dark academia yang sempat berkembang sebelumnya. Dark academia adalah sebuah terma yang dipakai untuk meromantisasi kehidupan akademisi (guru maupun murid/mahasiswa) di kampus atau sekolah dengan arsitektur gothic (identik dengan institusi pendidikan elite). Salah satu pemicunya adalah novel The Secret History terbitan tahun 1992 tulisan Donna Tartt yang sempat viral. Lakon novel itu adalah maba dari kelas bawah yang berhasil masuk kampus elite dan berusaha untuk mengadopsi gaya hidup teman-temannya. Tak heran banyak juga yang menerjemahkan dark academia dalam fesyen dan desain interior.

Namun, kalau ditelusuri lebih jauh, subkultur internet ini awalnya muncul di platform Tumblr pada pertengahan 2010-an. Kemudian, diadopsi oleh pengguna TikTok pada 2020 saat pandemik COVID-19. Saat itu, proses belajar mengajar berpindah ke kamar-kamar dan sejak itu pula dark academia meluas maknanya jadi upaya meromantisasi rutinitas belajar dan membaca. Tak sedikit mahasiswa pascasarjana yang kemudian membuat konten di media sosial gara-gara tren ini dan menciptakan kesan kalau belajar setinggi-tingginya itu keren.

2. Bentuk perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan

personal curriculum
ilustrasi mahasiswi bertoga (Pexels.com/Stanley Morales)

Namun, harus diakui tak semua orang punya kesempatan yang sama untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Terutama di negara yang tidak menyediakan subsidi pendidikan memadai, alhasil biaya pendidikan melambung tinggi dan hampir tak terjangkau tanpa beasiswa. Kurikulum personal pun datang bak sebuah solusi alternatif terhadap komersialisasi pendidikan.

Kurikulum personal dibuat sendiri dengan menggunakan panduan dari silabus yang dibuat dan dipublikasikan universitas ternama. Materinya pun diambil dari sumber-sumber yang relatif murah atau gratis seperti perpustakaan digital/analog, siniar, dan video edukasi. Tak sedikit pula yang membuat jadwal tertata, lengkap dengan deadline tugas tiap minggunya. Meski tak bisa menggantikan proses belajar mengajar formal, kurikulum personal bisa dilihat sebagai pengingat bahwa belajar itu tidak berhenti setelah kita meninggalkan bangku sekolah/kuliah.

3. Upaya menolak antiintelektualisme, doomscroll dan akal imitasi (AI)

personal curriculum
ilustrasi belajar (Pexels.com/Ron Lach)

Kurikulum personal juga bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap antiintelektualisme. Beberapa pemicunya adalah kebiasaan doomscroll dan maraknya penggunaan akal imitasi (AI) atau kecerdasan buatan untuk berbagai tugas, bahkan yang remeh sekalipun. Ketimbang membaca buku dan sumber yang kredibel, tak sedikit orang termasuk anak muda yang justru semudah itu percaya pada rangkuman AI dan unggahan media sosial.

Membuat kurikulum personal diharapkan mendorong orang untuk kembali menilik sumber ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan serta mampu memilah informasi dengan cermat. Ini juga diharapkan bisa memperbaiki rentang konsentrasi yang makin memburuk gara-gara keseringan nonton video pendek. Pada intinya, tren membuat kurikulum personal adalah sebuah gerakan alternatif yang merebak di internet dan diadopsi sejumlah orang untuk meningkatkan kembali daya pikir kritis.

Pertanyaannya, seberapa lama tren ini akan bertahan? Apakah orang-orang yang menunjukkan dirinya mengadopsi tren ini benar-benar melakukannya atau ini bakal jadi salah satu aksi performatif belaka? Bagaimana denganmu, apakah tertarik mengikuti tren ini juga?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Tanda Pasanganmu Punya Dukungan Emosional yang Sehat, Auto Nyaman!

07 Nov 2025, 18:45 WIBLife