Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

#MahakaryaAyahIbu: Dear, Ayah! Terima Kasih Untuk "Warisanmu"

pexels.com

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik. 


Dear, Ayah…

Setelah delapan tahun kepergianmu, ini adalah kali pertama aku menulis untuk ayah. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kutulis tentang ayah. Namun selama ini segala hal tentang ayah hanya aku simpan dalam hati, tanpa menulisnya sebarispun, sekatapun. Setiap kali ingin menulis tentang ayah, aku merasa seperti menulis tentang kematian itu sendiri; mencekam, menyakitkan dan membuatku sesak. Aku masih tak ingin membuka luka yang tertoreh di hatiku  senja itu, ketika maghrib membawa ayah pergi untuk selamanya secara tiba-tiba.

Ayah, saat ayah pergi, aku merasa ada satu lampu dalam hidupku yang tiba-tiba padam. Celakanya, lampu itu adalah lampu yang selama ini bersinar paling terang. Hidupku gelap, ada sesuatu menghimpit dan meremukkan hati yang tak bisa kutepis. Aku terpuruk, tanpa cahaya dan genggaman hangat tanganmu, sulit sekali rasanya untuk bisa bangkit dan meneruskan hidup, melanjutkan kuliahku.

Tapi ayah, suatu hari aku menemukan cahaya lain yang menuntunku ke jalan baru. Ayah tahu cahaya apa? Cahaya itu memancar dari nasehat-nasehat yang dulu selalu ayah sampaikan kepada kami setiap malam ketika kita menghabiskan waktu di meja makan setelah bersantap ria. Nasehat yang selalu ayah sampaikan kepada kami, kelima anakmu.

Ayah tidak memiliki harta yang bisa ayah wariskan kepada kalian, ayah hanya bisa menyekolahkan kalian agar kelak menjadi orang yang berilmu. Semakin jauh kalian pergi untuk menuntut ilmu, semakin bangga hati ayah dan ibu. Merantaulah sejauh mungkin, pelajari apapun yang kalian temui.

Nasehat ini merupakan salah satu yang membekas erat dibenakku diantara begitu banyak nasehat ayah. Bagi ayah, menyekolahkan anak-anak adalah cara ayah untuk memberikan kehidupan yang layak untuk mereka. Suatu ketika, saat anak pertamamu meraih gelar sarjana, dengan lirih kau berkata “Sampai saat ini ayah memang belum mampu membangun rumah yang bagus untuk kita. Tapi nak, ayah berjanji akan memberikan pendidikan yang bagus untuk kalian” kulihat riak di mata ayah kala itu.

Aku tau bagaimana perjuangan ayah dan ibu mati-matian mengatur keuangan yang hanya bersumber dari gaji sebagai guru di sebuah sekolah dasar di kampung sebelah. Hanya mengandalkan gaji itu, ayah dan ibu  bernyali besar menyekolahkan empat anak sekaligus di ibu kota provinsi.

Ayah juga bangga sekali jika tulisan anak ayah dimuat di Koran harian langganan ayah. Ayah selalu berkata kepada kami “Menulis adalah untuk mengenang tentang sesuatu, lalu belajar darinya. Menulis adalah cara kita untuk merawat ingatan” Tulisan-tulisan pula yang membuat ayah mampu menutup mulut teman-teman ayah yang memamerkan anak-anaknya yang kuliah di uang kuliahnya.

Ah, Ayah.. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus menerima kenyataan bahwa ayah memang sudah tidak membersamai kami lagi. Namun nasehat ayah menjadi sinar bagi hidupku, membuatku memiliki mimpi dan menjadi pribadi yang kokoh tak tertandingi, pribadi yang memiliki prinsip dan tujuan hidup, menumbuhkan semangatku untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya, merantau sejauh-jauhnya, menulis sebanyak-banyaknya.

Aku ingin ayah tau, setelah lulus S1 aku bekerja di Koran yang dulu sering ayah baca. Tak lama memang, tapi tulisanku berkali-kali dimuat di Koran itu. Saat ini aku juga sedang merantau jauh dari kampung kita untuk melanjutkan S2 di salah satu kampus terbaik yang dimiliki negeri ini, dengan beasiswa tentunya.

Ayah, mengenang nasehatmu seakan ada ribuan daya semangat di dalam diriku yang siap meledak untuk mewujudkan mimpi dan petuahmu menjadi orang yang hidupnya bahagia karena ilmu. Aku sedang mempersiapkan diri untuk mewujudkan mimpi ayah menjadi sebuah mahakarya agung yang akan kupersembahkan padamu, pada ibu dan pada negeri ini.

Ayah, bekal yang kau wariskan padaku memang bukan materi yang melimpah, tapi bekal semangat untuk terus belajar, mendorongku untuk menjadi pribadi yang berilmu, berwawasan luas namun tetap sederhana. Aku sedang mempersiapkan diri untuk mengabdi pada negeri ini ayah, agar kelak menjadi manusia yang benar-benar bermanfaat seperti yang ayah dan ibu harapkan.

Penuh cinta,

Your [still] little girl

Share
Topics
Editorial Team
Aulia Ibrahim
EditorAulia Ibrahim
Follow Us