“Memulai dari langkah kecil bisa menjadi strategi efektif agar anak terbiasa menghadapi perpisahan,” kata Dr. Schwartz.
7 Cara Menghadapi Anak yang Clingy dan Susah Berpisah

Menghadapi anak yang clingy alias lengket memang bukan hal mudah bagi orangtua. Tangisan dan rengekan saat berpisah sering bikin hati lelah sekaligus bingung harus bersikap. Meski begitu, fase ini wajar dialami anak pada tahap perkembangan tertentu.
Biasanya, clingy muncul sejak usia sekitar satu tahun ketika ikatan emosional anak dengan orangtua semakin kuat. Rasa cemas hadir karena mereka takut ditinggalkan atau tidak tahu kapan orangtua akan kembali. Dengan strategi tepat, fase ini bisa dilalui lebih tenang. Berikut cara menghadapi anak yang clingy dan susah berpisah.
1. Persiapkan anak sebelum berpisah

Anak cenderung merasa lebih tenang jika mereka tahu apa yang akan terjadi. Maka dari itu, penting bagi orangtua untuk memberi penjelasan singkat sebelum momen perpisahan, misalnya saat ditinggal bekerja atau sekolah. Jangan lupa, sampaikan juga hal-hal positif yang akan mereka alami, seperti bermain dengan teman atau menikmati kegiatan seru.
Kejujuran juga jadi kunci dalam membangun rasa percaya anak pada orangtua. Hindari berkata akan kembali sebentar jika sebenarnya membutuhkan waktu lama. Dilansir Child Mind Institute, menurut Stephanie Schwartz, PsyD, seorang Psikolog Klinis, anak belajar percaya ketika orangtua berkata sesuai kenyataan lalu menepati janji tersebut.
2. Buat ritual perpisahan yang singkat

Ritual perpisahan bisa membuat anak lebih tenang karena memberi rasa aman dan konsistensi. Ritual ini tidak harus rumit, cukup dengan pelukan, cium pipi, atau tos kecil sebelum berpisah. Namun, jangan sampai perpisahan dibuat terlalu panjang karena justru akan menambah kecemasan anak.
Orangtua bisa mengajak anak menentukan bentuk ritual agar terasa lebih menyenangkan. Misalnya dengan membuat kalimat khusus seperti “Semoga harimu menyenangkan!” setiap kali berpisah. Menurut Dr. Schwartz, semakin singkat momen perpisahan, semakin mudah bagi anak untuk beradaptasi dengan situasi tersebut.
3. Latih anak untuk berpisah secara bertahap

Seperti halnya keterampilan lain, kemampuan anak untuk berpisah perlu dilatih secara perlahan. Orangtua bisa mulai dari hal kecil, seperti meninggalkan anak sebentar untuk mengambil sesuatu di luar rumah. Setelah itu, durasi bisa ditambah dengan kegiatan singkat, misalnya belanja sebentar sementara anak dijaga oleh pengasuh.
Dengan latihan bertahap, anak akan merasa lebih percaya diri bahwa mereka bisa menghadapi perpisahan. Setiap pengalaman sukses memberi mereka dorongan untuk lebih berani di kesempatan berikutnya.
4. Validasi perasaan anak

Ketika anak merasa cemas, hal pertama yang perlu dilakukan orangtua adalah mengakui perasaan tersebut. Hindari meremehkan ketakutan mereka dengan kalimat seperti “Ah, itu hal sepele.” Sebaliknya, sampaikan bahwa kamu memahami perasaan mereka dan tetap percaya pada kemampuan mereka.
Validasi bisa dipadukan dengan dorongan positif agar anak merasa lebih kuat. Misalnya dengan mengatakan, “Aku tahu kamu takut masuk sekolah, itu wajar. Tapi aku juga yakin kamu bisa melaluinya meski terasa sulit.” Dengan begitu, anak merasa didengar sekaligus termotivasi.
5. Gunakan penguatan positif

Memberi penghargaan kecil bisa memotivasi anak untuk menghadapi perpisahan dengan lebih berani. Hadiah ini tidak harus berupa barang mahal, cukup dengan stiker, waktu bermain ekstra, atau aktivitas khusus bersama orangtua. Hal sederhana seperti ini dapat menumbuhkan rasa bangga sekaligus memperkuat kebiasaan baik.
Penguatan positif juga membantu anak memahami bahwa setiap usaha mereka dihargai. Misalnya, anak bisa diberi stiker setiap kali berhasil masuk kelas tanpa drama. Seiring waktu, kebiasaan ini akan mengajarkan mereka bahwa keberanian membawa hasil yang menyenangkan.
6. Libatkan dukungan dari orang lain

Guru, pengasuh, atau kerabat juga bisa membantu anak beradaptasi dengan perpisahan. Mereka bisa mengalihkan perhatian anak dengan aktivitas menyenangkan atau memberi tantangan kecil yang membuat anak merasa dibutuhkan. Hal ini membantu transisi menjadi lebih mulus dan mengurangi kecemasan.
Sekolah atau tempat penitipan biasanya juga memiliki aturan khusus terkait area orangtua. Misalnya, orangtua hanya boleh mengantar sampai gerbang atau pintu kelas. Aturan ini membantu anak terbiasa berpisah dengan lebih cepat karena tahu kapan saatnya orangtua pergi.
7. Konsistensi dan rutinitas yang dapat diprediksi

Anak merasa lebih aman ketika ada rutinitas dan pola yang jelas dalam kehidupannya. Contohnya jam makan, tidur, aktivitas bermain, serta ritual ketika berpisah mengikuti pola yang sama setiap hari. Dengan rutinitas yang konsisten, anak tahu apa yang terjadi selanjutnya sehingga kecemasan karena ketidakpastian bisa dikurangi.
Kalau rutinitas anak terganggu, misalnya jadwal tiba-tiba berubah atau hari terasa terlalu sibuk, mereka cenderung lebih clingy, tantrum, atau cemas. Orangtua bisa memberi pemberitahuan lebih awal dan tetap menjaga rutinitas inti agar anak merasa aman. Dengan begitu, anak perlahan belajar bahwa perubahan tidak membuat dunia mereka goyah.
“Anak-anak berkembang lebih baik dengan rutinitas yang konsisten karena hal itu membuat mereka merasa aman dan tahu apa yang diharapkan,” kata Stefanie Peachey, MSW, RSW, AccFM, seorang pekerja sosial, dilansir Today’s Parent.
Anak yang clingy bukan berarti manja atau sulit diatur, melainkan sedang belajar merasa aman saat berpisah. Dengan kesabaran, konsistensi, dan dukungan tepat, mereka akan tumbuh lebih percaya diri dan mandiri.