Ramadan Pertama Tanpa Mamah, Sepi tapi Tak Sendiri

- Penulis menceritakan pengalaman pertama kali Ramadan tanpa sosok mamah yang meninggal tahun 2024
- Kehilangan mamah membuat penulis merasa sepi, sedih, dan bingung, namun harus dijalani dengan ikhlas
- Momen Lebaran dirasakan sangat berat dan sepi, sehingga penulis memutuskan untuk mengunjungi makam mamah sebagai pengganti perayaan di rumah
Jakarta, IDN Times - Selalu ada yang pertama untuk setiap kejadian dalam hidup. Sama halnya dengan kisah yang akan diceritakan pada ulasan kali ini. Ya, sesuai dengan judul di atas, setiap inci dari kata yang diketik oleh jari jemari di atas laptop lawas ini akan menceritakan pengalaman pertama kali Ramadan tanpa sosok mamah.
Agak klise, karena pasti bukan hanya penulis yang mengalaminya. Namun, bagi penulis ini kenyataan pahit atas kehidupan yang baru pertama kali, cukup sekali, dan gak mau lagi dirasakan.
Rasa pahit getir, namun sedikit lega menjadi esensi Lebaran tahun 2025. Jika ada yang bertanya soal wujud anak durhaka, mungkin kalian bisa berpikir bila penulis salah satunya. Bagaimana tidak, disaat orangtua meninggal, justru aku merasa lega, walaupun sedih, dan teramat sedih.
Kesedihan yang meliputi diri bahkan gak bisa dibendung atau dihilangkan, sehingga berteman dengan rasa sedih ibarat janji manis yang dilempar oleh para calon pemangku kepentingan di jajaran pemerintahan. Tidak tahu kenyataannya seperti apa, palsu, tapi tetap harus dipilih dan dijalani.
Namun balik lagi, sesuai dengan judul ulasan di atas, kisah ini soal kali pertama menjalani Ramadan tanpa mamah, bukan menyoal isu politik yang kian gamblang membuat hati deg deg ser. Bagi sebagian orang, mamah mungkin jadi pusat dunia mereka. Aku pun demikian.
Oleh karenanya, kehilangan mamah di tahun 2024, belum genap setahun karena belum jatuh di bulan kepergiaannya, membuat dunia seolah runtuh. Ibaratnya, hidupku mirip dengan kapal yang berlayar di tengah laut, terombang-ambing akibat badai, namun tak memiliki nahkoda. Gak tahu harus berlayar ke arah mana.
1. Siapa yang bisa memprediksi masa depan?

Berbicara soal masa depan, memangnya ada yang bisa memprediksi? Dukun atau orang pintar sekalipun hanya menebak dari sekian banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Tapi yang jelas, di setiap kehidupan pasti akan berakhir dengan kematian.
Aku tidak menyalahkan hal tersebut. Takdir yang dibuat Tuhan sudah sangat jelas arahnya. Namun, gak ada orang yang benar-benar siap dengan kepastian-Nya. Kadang kala, kehilangan jadi satu luka terberat yang melekat di dalam diri seseorang. Melepasnya mungkin mudah, karena kita dipaksa untuk melakukannya.
Akan tetapi, bagaimana yang belum benar-benar siap kehilangan? Aku tahu ini sedikit mengesalkan, tapi kehilangan sesuatu yang berharga pasti akan membuat jiwa bergejolak, panik, bingung, sedih, semua rasa yang tidak disukai berkumpul menjadi satu.
Namun balik lagi, siapa yang bisa memprediksi masa depan? Cerita ini juga bukan soal masa depan, melainkan masa lalu yang menyeret diri untuk kuat di masa sekarang. Aku panik, aku sedih, aku bingung, tapi semua harus dijalani.
Kehilangan mamah jadi satu kejutan terbaik yang menggores luka teramat dalam di hati. Tahun 2024 bisa dibilang merupakan tahun terburuk sepanjang usia ku hidup. Bahkan, di kala seharusnya waktu tersebut dipakai untuk meresapi kehilangan dan berdamai atas kepergian seseorang, aku malah dituntut agar bisa menyelesaikan satu proyek kerja.
Aku gak masalah soal itu, malah beruntung. Sebab, rasa sakit, sepi, dan sedihku bisa teralirkan menjadi sebuah kesibukkan yang mengalihkan pikiran. Namun usai kepergiaannya itu, aku harus berusaha untuk kuat sendiri, meskipun di rumah ada bapak yang tetap memberikan support.
Tapi seperti kebanyakan orang, peran mamah gak akan bisa tergantikan oleh bapak, dan sebaliknya, peran bapak gak akan bisa tergantikan oleh mamah. Semua punya porsi peran masing-masing.
Kini sudah mau setahun mamah pergi. Aku pun sudah merasa ikhlas. Apa benar ikhlas? Yang jelas, semua harus dilakukan secara paksa dengan konsep "yang pertama" pula. Seperti cerita kali ini, Ramadan pertama tanpa mamah.
2. Antara sedih dan ikhlas, apa boleh buat?

Ramadan pertama tanpa mamah. Mungkin ini sudah dan akan dialami oleh semua orang. Namun, bagiku ini pertama kali, hanya sekali, dan gak mau lagi. Momen awal memasuki Ramadan saja sudah membuat mata pedih dan hati sesak memikirkan hal-hal yang menusuk relung jiwa. Bagaimana saat sahur nanti? Saat buka puasa, aku harus kerja, lantas siapa yang akan menemani bapak? Aku harus gimana selama puasa? dan masih banyak pikiran lagi yang terbendung di dalam otak.
Kata banyak orang, pikiran jahat merupakan penyakit paling berbahaya yang bisa membunuh seseorang. Mau tidak percaya, tapi benar saja, usai pikiran yang menggunung dan memasuki awal puasa, aku jatuh sakit. 3 hari, demam dan tidak berdaya, tapi dipaksa untuk berdaya.
Tiga hari awal puasa aku tidak cukup tidur. Selalu berusaha membuka mata untuk membangunkan bapak dan menyiapkan semua makanan sahur. Aku ikhlas, tapi tetap sedih karena terbayang ternyata sebegini berat perjuangan mamah, dan kala itu aku selalu bersikap angkuh dengan beberapa kali tidak mau menyantap masakannya karena tidak sesuai selera.
"Jahat", mungkin itu yang terbesit di pikiran. "Capek", itu juga kata yang tepat untuk menjelaskan usahaku selama tiga hari awal puasa. Ditambah harus bekerja di pagi hari, kehidupanku jadi benar-benar sangat berbeda.
Peran ibu yang seharusnya bukan aku, mau tidak mau aku lakukan demi kehidupan di rumah tetap berjalan. "Aku rindu mamah", selalu pernyataan itu yang terucap sambil isak tangis memenuhi ruang kamar. Aku sedih dan ikhlas, tapi apa boleh buat? Kehidupan tetap berjalan dan Lebaran pun sudah di ujung mata.
3. Sepi, tapi tak sendiri

Masuk ke momen Lebaran, mungkin ini jadi salah satu perayaan yang sebenarnya paling aku ingin hindari. Semua orang berbondong-bondong datang, meminta maaf, meminta THR, atau meminta camilan, yang saat ini saja gak dibuat oleh mamah.
Keluarga besar, sanak saudara, dan kerabat, datang. Bersilaturahmi. Tapi aku tetap merasa sepi. Walau gak sendirian, aku punya bapak, kami berdua tetap merasa sepi. Oleh karena itu, momen Lebaran kali ini kami gak berdiam diri di rumah seperti biasanya, melainkan pergi mengunjungi mamah di peristirahatan terakhirnya.
Menaburkan bunga, air mawar, dan doa, menjadi rutinitas yang gak bisa dilewatkan. Pengalaman di tahun pertama Ramadan, penuh dengan perasaan yang bergumul dan bersatu menjadi entitas yang kali pertama juga aku rasakan. Namun Puji Tuhan, semua bisa dijalani dengan baik, tanpa hambatan berat yang menghentikan kegiatan puasa.
Tahun depan, jadi Ramadan kedua aku tanpa mamah. Tapi aku berdoa, gak ada kejadian serupa di tahun selanjutnya. Aku ingin tetap seperti ini. Tanpa ada penambahan atau pengurangan personil keluarga. Aku ingin semuanya tetap sama dulu. Tidak ada yang berubah. Sepi, tapi tak sendiri.