Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Sikap Tepat saat Seseorang Menceritakan Penyakitnya

ilustrasi percakapan (pexels.com/Cup of Couple)
Intinya sih...
  • Penyakit serius sulit diceritakan kepada orang lain di luar keluarga dan tenaga medis.
  • Orang dewasa enggan terbuka tentang penyakitnya karena alasan membuat orang cemas, tidak siap dengan komentar, atau ingin tetap terlihat profesional.
  • Mendengarkan cerita teman yang menceritakan penyakitnya memerlukan perhatian penuh, empati tanpa mengasihani, dan respons yang tepat.

Gak mudah untuk seseorang menceritakan penyakitnya ke orang lain di luar keluarga dekat dan tenaga medis. Penyakit yang biasanya disembunyikan termasuk berat. Bukan sekadar batuk dan pilek yang tanpa diceritakan pun mudah diketahui oleh siapa saja yang melihatnya.

Orang dewasa tidak gampang terbuka mengenai penyakit beratnya karena beberapa alasan. Seperti ia tak mau membuat orang lain cemas, gak siap dengan komentar mereka, atau ingin tetap terlihat profesional dalam pekerjaan. Apabila penyakit beratnya diketahui banyak orang, jangan-jangan dia terlalu dikasihani.

Itu dapat membuatnya tak nyaman. Akan tetapi, akhirnya dia sendiri yang menceritakannya padamu ketika kalian berdua saja. Kamu yang selama ini tidak mengetahuinya dan berpikir dia sehat-sehat saja tentu sangat terkejut. Terlepas dari kalian berteman dekat atau gak, responsmu harus tepat. Terapkan lima cara berikut supaya ia merasa lebih baik setelah bercerita padamu.

1. Menyimak dengan saksama

ilustrasi percakapan (pexels.com/Cliff Booth)

Penyakit yang diderita seseorang merupakan topik yang berat, pribadi, dan sensitif. Ini bukan sekilas info yang dapat didengarkan olehmu sambil lalu. Walaupun kamu tidak menyangka ia akan menceritakannya, segeralah menyesuaikan diri dengan situasi. Kalau tadinya dirimu mengobrol dengannya sambil buka-buka smartphone, sekarang harus menghentikannya.

Berikan 100 persen perhatianmu pada ceritanya. Kamu perlu membangun kontak mata yang konsisten sebagai tanda dirimu benar-benar peduli. Memang saking kagetnya, untuk sesaat kamu dapat merasa bingung. Dirimu mendengar dia berbicara, tetapi gak fokus. Kamu kudu lekas menyadarkan diri bahwa seseorang sedang memerlukan pendengar yang baik.

Arahkan perhatianmu hanya pada apa yang diceritakannya. Cegah pikiranmu terlalu cepat terbang ke mana-mana begitu dirimu mendengar penyakitnya. Meski kamu barangkali sudah tahu banyak tentang risiko terburuk dari penyakit tersebut, fokus saja pada apa-apa yang dikatakannya. Jangan sampai gara-gara dirimu kurang perhatian, nanti keliru dalam merespons.

2. Berkomentar penuh empati

ilustrasi percakapan (pexels.com/Alexander Suhorucov)

Sepanjang-panjangnya cerita teman akan berakhir juga. Ini menjadi momen yang lebih sulit untukmu daripada saat dirimu hanya menjadi pendengarnya. Kamu gak mungkin diam saja. Dirimu harus memberikan respons yang tepat atas ceritanya. Hal utama yang mesti ditunjukkan ialah komentar penuh empati.

Walaupun baik kamu maupun orang-orang terdekatmu tidak ada yang menderita penyakit seberat dia, empatimu harus tetap besar. Jangan ada pemikiran sedikit pun terpenting penyakit itu gak diderita olehmu dan keluarga. Pada dasarnya penyakit apa saja bisa diderita oleh siapa pun. Ini bukan saat yang tepat buatmu merasa lebih beruntung daripada dia.

Hati-hati dalam dirimu mengeluarkan pernyataan apa pun. Berempati tidak berarti kamu perlu tampak begitu mengasihaninya yang malah membuatnya gak nyaman. Jaga raut wajahmu supaya tak memperlihatkan senyuman serta cahaya yang tidak pas dengan suasana. Walaupun kalian kurang akrab, bayangkan dia sebagai orang terdekatmu untuk memudahkanmu berempati.

3. Boleh menanyakan beberapa hal umum tentang penyakitnya

ilustrasi percakapan (pexels.com/Mental Health America (MHA))

Menjadi pendengar yang baik tidak bermakna kamu gak boleh bertanya apa pun dan hanya mendengarkannya. Respons berupa pertanyaan juga cukup penting untuk membuat lawan bicara merasa benar-benar dipedulikan. Tunjukkan bahwa kamu tidak bosan atau gak mau tahu lebih banyak mengenai penderitaannya.

Dirimu bisa menanyakan hal-hal yang umum seputar penyakitnya. Jawabannya nanti selain memberimu pengetahuan juga bakal bikin lawan bicara lega dapat bercerita lebih banyak. Misalnya, ia mengatakan menderita kanker. Kamu dapat bertanya sudah berapa lama dia didiagnosis kanker?

Kalau ia belum menyebutkan jenis kankernya, dirimu juga bisa menanyakannya. Demikian pula dengan gejala yang dirasakannya, proses pengobatan yang telah dan sedang dijalaninya, juga rumah sakit serta dokter yang menanganinya. Tapi hindari bertanya tentang stadium kankernya jika dirimu tidak menderita penyakit yang sama. Begitu juga kamu gak usah menanyakan perkiraan dokter mengenai usianya.

4. Kasih semangat yang logis

ilustrasi percakapan (pexels.com/fauxels)

Niat baikmu memberikan semangat pada teman tidak selalu berakibat positif. Kalau motivasimu berlebihan malah dapat membuatnya tambah ragu dengan peluang kesembuhannya. Kamu kentara cuma berusaha menghiburnya. Ia seperti diminta menutup mata terhadap kondisi kesehatannya.

Alih-alih dirimu berkata dia pasti sembuh, katakan saja banyak pasien yang sembuh. Kepastian kesembuhan tidak berada di tanganmu. Jangan menjanjikan sesuatu yang gak akan bisa diberikan olehmu. Kamu juga dapat terus mendukungnya agar mengikuti pengobatan serta terapi, meski kadang ia merasa lelah. 

Bila dia bilang sendiri bahwa penyakitnya sangat berat, cukup katakan agar ia menjalani saja apa-apa yang harus dijalani. Semoga dengan usaha yang maksimal untuk mencari kesembuhan, hasil terbaik pun diperoleh. Motivasi yang logis akan membuatnya lebih tenang ketimbang sekadar menggebu-gebu tapi sulit terwujud.

5. Kamu juga bisa gantian menceritakan sakitmu bila ada

ilustrasi percakapan (pexels.com/Liza Summer)

Kamu gantian menceritakan penyakitmu bukan artinya lagi mengajaknya adu nasib. Toh, dirimu sudah terlebih dahulu menyelesaikan tugas sebagai pendengar yang baik untuknya. Kamu gak menyela ceritanya dengan membicarakan penyakitmu sendiri. Dirimu baru melakukannya ketika obrolan tentang sakitnya hampir berakhir.

Tujuan dari kamu juga membicarakan penyakitmu adalah supaya dia tidak merasa sendirian dalam berjuang mengupayakan kesembuhan. Walaupun penyakit kalian berbeda, ketika ia tahu pasti akan merasa lebih ikhlas sekaligus bersemangat menghadapi ujian kesehatan. Kamu pun bakal merasa lebih lega karena dapat berbagi kisah dengannya.

Akan tetapi, kalau dirimu sehat-sehat saja atau hanya menderita penyakit yang jauh lebih ringan darinya gak usah mengada-ada. Nanti jika kamu ketahuan berbohong, ia pasti berpikiran sangat buruk terhadapmu. Maksud di balik sikapmu agar ia merasa punya teman seperjuangan justru dianggap sebagai penghinaan.

Orang yang tiba-tiba menceritakan penyakitnya tak selalu cukup akrab denganmu. Terkadang seseorang malah memilih orang yang gak dekat buat memberitahukan penyakitnya. Seperti ketika dia tidak mau membuat keluarga dan sahabatnya cemas. Kamu harus siap kapan pun serta di mana pun diajak membicarakan topik ini.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us