Riset: 84 Persen Gen Z dan Milenial Pilih Freelance untuk Ekspresi Diri

Gen Z dan milenial menghadirkan perspektif baru terkait karier profesional dan pekerjaan. Kedua generasi tidak lagi sekadar memandang pekerjaan sebagai cara untuk bertahan hidup, melainkan sebagai sarana untuk mengekspresikan diri, membangun identitas, dan nilai personal.
Mayoritas generasi muda meyakini bahwa bekerja di luar jalur formal bukanlah second option, melainkan keputusan yang diambil untuk meningkatkan peluang mereka. Pekerjaan semacam ini tak hanya dipilih untuk meningkatkan stabilitas finansial, namun juga keinginan untuk meningkatkan keseimbangan hidup. Kedua generasi juga menunjukkan asumsi berbeda terkait karier, hal ini direpresentasikan melalui pola dan sistem kerja mereka.
Pemaparan terkait karier dan pekerjaan masa depan diulas secara rinci dalam riset dari Indonesia Millennial and Gen Z Report 2026 oleh IDN Research Institute. Analisis yang fokus pada perilaku dan psikologi manusia ini menargetkan mielnial berusia 29-44 tahun dan gen Z berusia 13-28 tahun. Kedua generasi tengah mengalami perubahan dan adaptasi akan perubahan dunia profesional.
1. Menurut gen Z freelance bukan kerja sampingan namun cara mereka mengekspresikan diri

Fenomena side gigs atau freelance menjadi strategi utama bagi mayoritas generasi muda untuk dapat menuangkan kreativitas, meningkatkan pendapat, serta mencoba jalur karier baru. Hal tersebut disetujui oleh mayoritas responden atau sebanyak 84 persen.
Persepsi ini menggambarkan pergeseran yang besar terhadap cara pandangan gen Z dan milenial terkait pekerjaan mereka. Dengan memanfaatkan peluang digital, jejaring sosial, dan ekosistem ekonomi kreatif, mereka mampu mengubah pekerjaan sampingan menjadi sumber utama pendapatan bahkan identitas profesional.
Shifting yang dihadapi kedua generasi juga mempengaruhi sudut pandang mereka terkait kesuksesan dan harapan terhadap pekerjaan yang dilakoni. Tak lagi mendefinisikan kesuksesan secara tradisional seperti jabatan atau pun gaji, kedua kelompok usia fokus pada tujuan, keseimbangan hidup dan otonomi.
Meski terjadi banyak pergeseran, gen Z dan milenial tetap bersifat pragmatis dan berorientasi pada nilai. Responden muda tetap lebih menyukai pekerjaan bergaji tinggi dengan kantor fisik, persentasenya mencapai 51 persen. Artinya, walaupun fleksibilitas dalam bekerja dipandang penting, generasi ini tetap menilai bahwa pekerjaan dengan struktur jelas dan stabil menjadi aspek esensial.
Akan tetapi, 33 persen individu mengejar pekerjaan yang memiliki makna dan dipandang menarik walau dengan pendapatan yang lebih rendah. Menurut responden dari kelompok ini, kepuasan pribadi lebih berharga daripada benefit atau status yang didapatkan.
Sementara itu, 17 persen mengatakan mereka tak masalah menerima income yang lebih rendah selama pekerjaan yang dilakukan menerima fleksibilitas kerja jarak jauh. Hal ini mencerminkan adanya keinginan kuat untuk memiliki kontrol atas waktu, lingkungan dan gaya hidup mereka. Fenomena ini semakin selepas pandemi dan berkat hadirnya perkembangan teknologi, dimana kerja jarak jauh dan digitalisasi menjadi normal.
Pandangan di atas menegaskan bahwa generasi ini bukan menghindari pekerjaan, melainkan membentuk ulang makna karier profesional itu sendiri. Tujuannya untuk menyelaraskan nilai dan realitas yang terus berubah secara dinamis.
2. Mayoritas generasi muda menganggap gaji mereka tidak sebanding dengan kenaikan biaya hidup

Persepsi lain yang berubah terkait pekerjaan bagi gen Z dan milenial adalah posisi middle management atau manajemen menengah. Tingkat manajerial yang berada di antara top management dan first line management ini tak lagi dinilai sebagai sebuah pencapaian.
Middle management merepresentasikan hal yang melelahkan serta mengisyaratkan tekanan dan kompromi. Peran ini juga identik dengan jam kerja yang panjang, ekspektasi tinggi, namun memegang pengaruh yang terbatas sehingga imbalan atau pengorbanan yang dilakukan tak sepadan.Tentunya ini menunjukkan bahwa kenaikan jabatan dari entry level ke middle management bukanlah impian seluruh gen Z dan milenial.
Kedua generasi berpandangan, penghambat utama kemajuan karier mereka adalah beban kerja dan stres, persentasenya mencapai 57 persen. Mereka beranggapan burnout yang dialami dapat menguras motivasi dan mengaburkan goals jangka panjang.
Di sisi lain, 40 persen informan mengatakan gaji mereka tidak sebanding dengan kenaikan biaya hidup, akibatnya tanggung jawab tambahan terasa seperti beban daripada penghargaan. Sisanya, 27 persen menyoroti kurangnya peluang untuk berkembang atau tumbuh, pada akhirnya mereka akan diliputi rasa stagnan ketimbang mendapat kesempatan untuk maju.
Perbedaan pandangan antar generasi menunjukkan adanya kesenjangan yang semakin melebar. Generasi milenial yang telah beradaptasi dengan sistem konvensional kerap menyuarakan rasa frustasi dan burnout, terbatasnya mobilitas, serta birokrasi yang lamban. Kelompok usia ini merasa sudah mengikuti aturan, namun imbalan yang didapatkan tak sesuai harapan.
Sebaliknya, gen Z memiliki pandangan skeptis yang lebih tajam ketika memasuki dunia kerja. Golongan usia yang lebih muda ini justru bersemangat mendobrak sistem konvensional dan mempertanyakan kelayakan birokrasi semacam itu untuk dipertahankan. Menurut mereka, hierarki yang kaku dan struktur tradisional acap kali tak lagi relevan. Mereka lebih memprioritaskan lingkungan kerja yang mengutamakan kolaborasi, kecepatan, dan substansi.
3. Gen Z frustasi kalau kerja dengan struktur yang kaku

Paradigma baru ini tak hanya menggaris bawahi preferensi individu yang telah bergerser, akan tetapi turut menjadi cerminan evaluasi ulang antar generasi tentang karier yang mereka sandang. Status dan peran yang dulunya menjadi tanda kesuksesan mulai dipertanyakan kembali melalui berbagai aspek.
Generasi muda lebih condong untuk menghargai kemampuan beradaptasi, kepercayaan dan human-centered design, dibandingkan struktur tradisional. Nilai pekerjaan yang tertanam dalam pandangan kedua generasi bukanlah paham konvensional yang mengutamakan jabatan dan status.
Jika disimpulkan, terdapat dua perbedaan mencolok antar generasi Z dan milenial seputar pekerjaan. Kelompok usia yang lebih tua merasa lebih frustasi akibat burnout, stagnansi, dan beban birokrasi yang besar. Sementara hal paling membuat gen Z frustasi adalah struktur yang kaku, kurangnya otonomi serta norma kerja yang usang.
Pola kerja yang berbeda juga dihadapi oleh kedua generasi. Milenial mengutamakan keseimbangan dan terbuka pada peran struktural terkait preferensi kerja. Generasi ini juga menerima hierarki meski tetap menuntut keadilan akan hal tersebut.
Sebaliknya, gen Z lebih menyukai fleksibilitas, kreativitas, dan otonomi. Selain itu, mereka juga memiliki pandangan yang bertolak belakang terhadap hierarki. Ekosistem yang non hierarkis dan digerakkan oleh ide-ide terkesan lebih menggiurkan bagi generasi ini.
IDN menggelar Indonesia Summit 2025, sebuah konferensi independen yang khusus diselenggarakan untuk dan melibatkan generasi Milenial dan Gen Z di Tanah Air. Dengan tema "Theme: Thriving Beyond Turbulence Celebrating Indonesia's 80 years of purpose, progress, and possibility". IS 2025 bertujuan membentuk dan membangun masa depan Indonesia dengan menyatukan para pemimpin dan tokoh nasional dari seluruh nusantara.
IS 2025 diadakan pada 27 - 28 Agustus 2025 di Tribrata Dharmawangsa, Jakarta. Dalam IS 2025, IDN juga meluncurkan Indonesia Millennial and Gen-Z Report 2026.
Survei ini dikerjakan oleh IDN Research Institute. Melalui survei ini, IDN menggali aspirasi dan DNA Milenial dan Gen Z, apa nilai-nilai yang mendasari tindakan mereka. Survei dilakukan pada Februari sampai April 2025 dengan studi metode campuran yang melibatkan 1.500 responden, dibagi rata antara Milenial dan Gen Z.
Survei ini menjangkau responden di 12 kota besar di Indonesia, antara lain Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Solo, Banjarmasin, Balikpapan, dan Makassar.