“Mereka itu tau caranya cuci tangan. Mereka sering banget dapat edukasi bagaimana cara cuci tangan, bagaimana cara gosok gigi yang benar, dan segala macam. Mereka bukannya enggak mau melakukan hal itu, bukan gak mau tau, bukan bebal, tapi mereka enggak punya akses untuk air bersih.”
Binar Nyala Kehidupan Berkat Sumber Air untuk Sesama (SAUS)

Siang itu, para warga Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, berbondong-bondong menelusuri hutan dan melewati jalan setapak curam serta berbatu. Mereka akan menuju sumber air, lalu mengalirkannya ke desa mereka yang sudah puluhan tahun kekurangan air bersih. Sungguh ironi, wilayah dengan popularitas alam dan lautan yang mendunia harus menyimpan kenyataan sepahit itu.
Sudah lama sekali Desa Ban tidak memiliki akses air bersih. Setiap harinya, ibu-ibu yang sering kali bertugas menyiapkan segala macam kebutuhan rumah tangga harus menimba air dari tempat berkilo-kilometer jaraknya. Mereka memasukkan air ke dalam drum-drum kecil dan mendorongnya dengan gerobak tua.
Reza Riyady Pragita tak sampai hati menyaksikan pemandangan itu. Meski bukan dari desa yang sama, pemandangan itu mengingatkannya pada sang ibu. “Bagaimana jika ibu saya yang mengalami hal tersebut?” pikirnya.
Ia seakan tercekat melihat deretan ibu-ibu dengan segudang kesibukan rumah tangga, seperti mengurus rumah, anak, dan suami, lalu harus membopong air berliter-liter dari jarak yang cukup jauh. Itu pun tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, cuci, masak, hingga minum. Air dalam drum kecil itu mungkin hanya cukup untuk memasak. Bagaimana untuk mandi dan membersihkan diri?
“Ada kata-kata dari masyarakat di situ yang membuat saya terharu. Uniknya, kalau mungkin kita berpikir bahwa orang mandi, tuh, 3 kali sehari. Tapi, di sana itu, ya, jangankan 3 kali, 3 hari sekalipun belum tentu,” tutur Reza menceritakan keadaan masyarakat desa Ban dalam acara Workshop Menulis Online dan Bincang Inspiratif Astra 2025 pada Selasa (21/10/2025).
Jika sudah begitu, pasti sudah terbayang bagaimana kondisi kesehatan masyarakat di sana, bukan?
Berlatar belakang sebagai seorang perawat, Reza Riyady Pragita merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu yang bisa membantu masyarakat Desa Ban. Ia tak hanya menyoroti perjuangan ibu-ibu berduyun-duyun mendorong gerobak air, tetapi juga nasib kesehatan masyarakat di sana. Ia akhirnya menginisiasi sebuah program mendekatkan sumber air bersih untuk mewujudkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) untuk Desa Ban yang disebut dengan Sumber Air Bersih untuk Sesama (SAUS). Bagaimana kisah inspiratif Reza Riyady Pragita menginisiasi SAUS? Inilah kisah selengkapnya.
1. Profil Desa Ban, Karangasem, Bali

Desa Ban adalah sebuah desa di ujung timur pulau Bali yang berada di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali. Desa tersebut tak jauh dari Kabupaten Buleleng. Desa ini terletak di lereng pegunungan dengan diapit tiga gunung besar, yaitu Gunung Abang, Bukit Trunyan, dan Gunung Agung. Anehnya, daerah ini semua lahannya kering. Kekeringan menjadi masalah sehari-hari yang harus dihadapi masyarakat di sana.
Desa dengan luas lahan sekitar 70 km2 ini tidak memiliki sumber aliran air. Desa hanya mengandalkan aliran air hujan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Saat musim hujan tiba, air ditadah dalam sebuah cubang atau bak penampungan air seperti kolam tertutup. Air-air hujan yang mengalir dari atas genting dialirkan melalui pipa kecil masuk ke dalam cubang. Cubang ini akan menampung air dan menjadi wadah atau tabungan air sepanjang musim.
Saat musim kemarau, masyarakat hanya mengandalkan simpanan air dalam cubang. Jika stok menipis, mereka terpaksa mencari air ke sumber air yang lokasinya cukup jauh dari rumah, sekitar 5–6 kilometer di atas gunung. Apalagi, pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu yang hanya mengandalkan bantuan gerobak dorong sederhana. Jalanan yang terjal, menanjak, berdebu, dan berliku-liku tajam semakin memperparah keadaan.
Jika ingin air bersih, warga desa harus membeli dengan harga yang cukup mahal. Ada bantuan dari pemerintah. Namun, kendala jarak dan medan yang harus dilalui membuat masyarakat enggan.
“Mereka, tuh, kalau misalkan butuh air bersih itu harus beli. Beli itu harganya mahal. Harga 1 drum itu kurang lebih 100 ribuan. Kalau mereka mau gratis, mereka harus menunggu donasi dulu dari pihak PMI atau BPBD gitu dan itu lama dan susah banget. Ya, tau, kan, susah banget perjalanan menuju ke sana. Kalau dari Denpasar mungkin 2 jam. Dari tempat saya [Klungkung] mungkin 1 jam kalau di Google Maps. Tapi, kalau teman-teman jalan ngerasain sendiri itu sumpah lebih dari 2 jam kalau dari Klungkung. Kalau dari Denpasar bisa lebih dari 3–4 jam”, tutur Reza.
Sungguh miris, pada era pembangunan yang sudah masif ini, masih ada desa yang tertinggal, baik dari akses jalan maupun air bersih. Jika akses dasar seperti itu saja tidak tersedia, bagaimana dengan kesejahteraan dan kesehatan warga secara umum? Sementara, kekurangan air tak jarang membuat masyarakat Desa Ban mengalami masalah kesehatan akibat buruknya sanitasi, seperti diare atau infeksi bakteri, terutama pada anak-anak yang usianya sangat muda.
“Saya sering dulu dapat pasien anak-anak dari Desa Ban dengan dehidrasi berat, yang di mana penyebabnya adalah bacterial infection [infeksi bakteri] akibat dari diare,” tutur Reza menjelaskan kondisi kesehatan yang kerap terjadi di Desa Ban.
2. Tekad Reza mendekatkan air bersih untuk warga desa Ban
“Kalau ngomongin orang pintar, mah, di Indonesia banyak, banyak banget. Namun, ada satu hal di mana Indonesia butuh jutaan orang yang mau memulai untuk melakukan perubahan.”
Kedatangan Reza ke Desa Ban saat itu sebenarnya hanya ingin berjalan-jalan, berlibur, dan menghilangkan penat sejenak dari rutinitas harian dengan berkeliling ke desa-desa sekitar Bali. Di Desa Ban, ia mendapati kenyataan lain. Alih-alih pemandangan pedesaan yang meneduhkan dan menyegarkan jiwa, ia justru menjumpai kenyataan-kenyataan yang memilukan.
Ia merasakan udara kering, panas, akses jalan yang masih berupa tanah dan kerikil, hingga rumah-rumah warga yang jauh dari kata layak. Belum lagi, ia menyaksikan ibu-ibu dengan basah dan kuyup penuh keringat, tertatih-tatih mendorong gerobak berisi berliter-liter air dari jarak yang sangat jauh. Pemandangan ini sangat mengejutkan baginya dan bikin mengelus dada saking tak teganya. Ia tak mengerti mengapa masyarakat desa berduyun-duyun menimba air dari sumber air yang sejauh itu, sementara ini adalah daerah pegunungan.
Reza Riyady Pragita adalah seorang perawat di sebuah Rumah Sakit Daerah di Kabupaten Klungkung. Setiap harinya, ia menangani dan merawat pasien-pasien yang datang dari daerah-daerah sekitar, termasuk dari Desa Ban. Sebagai seorang abdi kesehatan, jiwanya seolah sudah terasah terhadap isu-isu sosial di masyarakat. Adapun, empati dan kesadaran sosial yang ia memiliki begitu mendalam.
Kenyataan yang terjadi di Desa Ban, membuatnya tercengang. “Bayangkan, Bali yang seoke itu ada kisah sepilu ini?” terangnya. Tak butuh waktu lama, ia kemudian mencoba melakukan pendekatan pada masyarakat di Desa Ban. Ia mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana hingga menyebabkan kehidupan sosial yang begitu memprihatinkan.
Mulanya, ia mengira faktor bencana alam, yang merusak rumah-rumah warga, jadi dasar permasalahan di Desa Ban. Reza pun terpikir untuk menginisiasi program bedah rumah. Namun, ia ternyata salah. Setelah berdiskusi dengan masyarakat dan kelian adat (kepala adat) setempat, Desa Ban memiliki masalah dasar yang lebih kompleks: ketiadaan sumber air bersih.
“Masyarakat, tuh, bilang bahwa, oh, permasalahan yang besar di kami, tuh, sebenarnya kalau bedah rumah sudah ada dari pemerintah daerah, provinsi, dan juga kabupaten, sudah sering gitu. Nah, kita butuhnya itu air. Air biar bisa lebih dekat ke tempat kami biar kita gak dorong-dorong air,” ungkapnya menjelaskan keresahan warga Desa Ban.
Meski punya tekad yang kuat, di sisi lain Reza juga merasa bukan siapa-siapa. Ia tak memiliki banyak sumber daya untuk bisa membantu. Berkali-kali, ia terus mempertanyakan diri. Rasa takut dan cemas pun turut menghantui. Namun, empati dan tekadnya yang kuat terus mendorongnya untuk melangkah. “Ah, ayo, bikin aja, bikin aja!” kisahnya mencoba berpikir positif.
“Saya, tuh, adalah perawat honorer pada waktu itu statusnya. Saya gak punya duit, gitu, kan. Tapi, saya punya tekad yang kuat. Saya bisa coba bantu,” ucapnya mengenang perjuangannya memulai SAUS.
Dengan langkah yang sedikit gamang, Reza lalu beranjak. Ia mulai mengajak warga untuk mengeksplorasi sumber air. Ia berjalan kaki melewati jalan-jalan setapak yang curam dan menanjak. Pengalaman ini memberikan pengalaman tersendiri bagi Reza. Ia tak membayangkan begitu besar perjuangan masyarakat Desa Ban selama ini.
Di dekat desa, ada sumber air bersih yang seolah tak pernah terjamah. Setiap tahunnya, warga hanya menerima bantuan demi bantuan air bersih yang sifatnya kondisional, sementara akar permasalahan tak pernah tersentuh sama sekali. Padahal, jika diperhatikan sedikit saja, sumber air ini sangat potensial untuk membangun kesejahteraan warga di Desa Ban yang selama ini sekarat akibat kekurangan air bersih.
Untuk membiayai program SAUS, Reza melakukan penggalangan dana dari berbagai kalangan. Ia mendekati politikus, membuat kampanye di media sosial, hingga menggalang dana (crowdfunding) melalui lembaga seperti Kitabisa. Namun, hasilnya ternyata nihil alias tak membuahkan hasil. Dari jumlah dana yang ditargetkan, tak terkumpul sepuluh persen pun. Adapun, target awal adalah sekitar Rp100 juta.
“Di Kitabisa.com itu, dana saya cuma mentok di Rp2,8 juta. Padahal, itu hari terakhir donasi. Nah, emang dari donasi ini saya bisa nyiptain apa? Kan, udah janji mau nolong. Tapi, segini doang, duh!” terangnya menceritakan kesedihannya ketika merasa gagal menggalang dana untuk program air bersih tersebut.
Lagi-lagi, hasil penggalangan dana ini membuatnya berkecil hati. Ia sempat teruruk, tak tahu lagi harus bagaimana. Itu karena ia berpikir satu-satunya jalan untuk realisasi air bersih ini ialah melalui penggalangan dana ke khalayak lebih luas. Namun, kalau sudah menjangkau kampanye nasional saja nilai yang terkumpul segitu, lalu jalur mana lagi yang harus diupayakan?
Tak bisa dimungkiri, kejadian ini menjadi titik terendahnya selama membangun program air bersih SAUS. Ia seakan kehilangan optimismenya lagi. Namun, ia mencoba terus mencari petunjuk. Ia mengambil air wudu, salat, dan mencurahkan segala keresahannya tentang program yang digagasnya. Antara berhenti atau lanjut, ini membuatnya sangat dilema.
“Saya tumben-tumbenan salat sampai nangis. Terus saya, tuh, bilang, 'Ya, Allah, bila program ini baik, lancarkanlah. Bila program ini gak baik maka bantu hamba untuk legawa dengan semua ini.' Saya waktu itu sampai gak enak makan. Mikir gitu,” ungkapnya mengisahkan kegelisahannya.
Bukan ambisi, tapi ia hanya tak ingin mengecewakan warga. Kedatangannya ke Desa Ban sudah seperti memberikan angin segar bagi masyarakat desa. Apalagi, ini adalah program yang sangat dinanti-nantikan selama puluhan tahun lamanya untuk mendapatkan akses air bersih, kebutuhan dasar mutlak bagi kehidupan.
3. Titik terang SAUS hingga ribuan berkat yang mengalir
“Apa yang kita kerjakan dari hati akan mengena ke hati lainnya,” pesan Reza yang selalu disisipkan dalam benaknya
Di tengah kegundahannya akan keberlanjutan SAUS, tiba-tiba Reza mendapatkan kabar gembira yang sangat mengejutkan. Dalam momen yang tak terduga, ia dihubungi oleh salah seorang yang sama sekali tak dikenalnya untuk memberikan donasi. Ia seorang perempuan yang datang dari pulau seberang.
"Pada saat itu, ada seseorang chat saya malam hari via DM [Instagram Direct Messenger]. 'Mas, kamu yang buat ini, ya? Kami dari Medan, Sumatra Utara. Kami mau coba donasi tapi udah tutup.' Dan akhirnya itu, tiba-tiba dapat 30 juta, yang benar-benar kayak amazing. Saya kaget. Ini serius? Ini kayak dapat mukjizat gitu, lho,” kenangnya.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, Reza mendapatkan dana bantuan sebanyak Rp30 juta dari orang yang tidak dikenalnya melalui media sosial. Baginya, ini tak sekadar jumlah, tapi juga amanah yang begitu besar. Ini harus dijaga dan disampaikan untuk masyarakat di Desa Ban.
Akhirnya, setelah puluhan tahun tak tersentuh air bersih, kini Desa Ban memiliki akses air bersih langsung dari sumber mata air pegunungan, tanpa harus menimba dengan jarak yang berkilo-kilometer. Dengan semangat gotong royong yang solid, masyarakat Desa Ban akhirnya membangun jalur-jalur air untuk mengalirkan air sumber ke desanya. Mereka juga difasilitasi membangun cubang besar untuk menampung air-air tersebut.
Rasa lega, haru, dan sukacita seolah mewarnai perjuangan ini. Desa yang dulunya kering, kini sudah dialiri air bersih. Hingga ribuan berkat tak ubahnya mengalir deras untuk Reza. Ini sederas aliran air yang dibangunnya.
“Saya ingat banget, ada nenek-nenek sama kakek-kakek bilang, 'Makasih banyak, ya. Saya gak tau siapa kamu, tapi makasih sudah bantu.' Kelian adat pun juga bilang kaya gini, 'Ini bakal kita jaga banget, tidak seperti bantuan lainnya yang terbengkalai.' Saat saya pulang dari desa itu, saya dibawain keladi [ubi rambat warna putih], dibungkusin, dibawain pulang. Dipeluk dan dikasih buah-buahan hasil kebun dan lain-lain,” kisahnya menceritakan kebaikan-kebaikan warga Desa Ban membuatnya terharu.
Pada Januari 2020, cubang air bersih di Desa Ban diresmikan. Banyak doa dan harapan besar yang turut mengalir seiring derasnya aliran air dari pegunungan yang murni itu. Reza pun seolah tak henti-hentinya berucap syukur. Akhirnya, inisiatif yang ia bangun ini direstui Tuhan.
“Jadi, air itu, kan, keluar, ya, dari pipa itu. Saya ngerasain sendiri airnya keluar, betapa segarnya air itu. Terus, pada hari kita peresmian itu hujan. Filosofi dari orang Bali, apabila misalkan kita melakukan sebuah kebaikan dan itu hujan, itu berarti alam semesta merestui kita,” kisahnya penuh haru.
“Hidup seperti pohon, hidup untuk menghidupi,” prinsip hidup yang dipegang Reza ini seolah telah mengakar kuat dalam benaknya. Empati dan jiwa sosialnya yang begitu besar mengantarkannya pada kebaikan-kebaikan yang tak ternilai bagi sekitar. Atas dedikasinya yang berharga ini, Reza Riyady Pragita diganjar dengan penghargaan SATU Indonesia Award 2022 bidang kesehatan tingkat provinsi oleh PT Astra International Tbk. Ini menjadi sebuah anugerah yang begitu besar dari Tuhan. “Mari, kita terus bergerak dari hal yang kecil aja,” tambahnya mengirimkan pesan untuk kita semua.


















