Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Debat Politik Tak Kunjung Usai? Ini Penjelasan Psikologinya

ilustrasi (unsplash.com/@creativechristians)
ilustrasi (unsplash.com/@creativechristians)
Intinya sih...
  • Debat politik di media sosial sering buntu karena manusia membuat keputusan moral berdasarkan intuisi, bukan logika.
  • Ketika dihadapkan pada informasi bertentangan dengan keyakinan, orang mencari alasan untuk menolaknya, menjadikan koreksi fakta tidak efektif.
  • Media sosial memperkuat tribalisme dan polarisasi dengan menghilangkan nuansa manusiawi dalam diskusi politik.

Pernahkah kamu frustasi karena debat politik di media sosial tidak pernah mencapai titik terang? Jonathan Haidt dalam The Righteous Mind menjelaskan bahwa ini bukan sekadar masalah logika, melainkan cara kerja pikiran manusia. Menurut penelitiannya, kita sebenarnya membuat keputusan moral berdasarkan intuisi, baru kemudian mencari pembenaran rasional.

Mekanisme psikologis inilah yang membuat perdebatan tentang pemilu, kebijakan pemerintah, atau isu sosial sering berujung pada buntu. Artikel ini akan mengungkap mengapa kita sulit menerima fakta yang bertentangan dengan keyakinan, dan bagaimana cara berdebat yang lebih produktif.

1. Gajah dan penunggang: Siapa yang sesungguhnya memegang kendali?

ilustrasi (unsplash.com/@andremouton)
ilustrasi (unsplash.com/@andremouton)

Haidt menggambarkan pikiran manusia seperti penunggang (logika) di atas gajah (intuisi). Penunggang merasa memegang kendali, tetapi gajahlah yang menentukan arah. Dalam debat politik, emosi dan prasangka sering kali lebih kuat daripada fakta dan data. Studi menunjukkan bahwa ketika dihadapkan pada informasi yang bertentangan dengan keyakinan, orang cenderung mencari alasan untuk menolaknya. Ini menjelaskan mengapa koreksi fakta sering tidak mengubah pendapat seseorang. Kita bukan makhluk rasional, melainkan makhluk yang pandai merasionalisasi.

2. Moralitas sebagai tameng keyakinan

ilustrasi (unsplash.com/@heathermount)
ilustrasi (unsplash.com/@heathermount)

Enam fondasi moral menurut Haidt bukan hanya panduan perilaku, tetapi juga tameng psikologis. Ketika nilai-nilai moral kita dipertanyakan, otak merespons seperti menghadapi ancaman fisik. Reaksi ini bisa diamati melalui scan fMRI yang menunjukkan aktivitas di area otak terkait emosi. Inilah yang membuat debat tentang isu seperti pajak atau hak asasi manusia terasa sangat personal. Kita tidak sedang berdebat tentang kebijakan, melainkan mempertahankan identitas moral.

3. Medsos: Panggung pertunjukan untuk gajah-gajah galak

ilustrasi (unsplash.com/@ravinepz)
ilustrasi (unsplash.com/@ravinepz)

Media sosial telah mengubah debat politik menjadi ajang pertunjukan moral. Platform seperti Twitter dan Facebook menghilangkan nuansa manusiawi dalam diskusi, sekaligus memperkuat efek "kita vs mereka". Algoritma yang dirancang untuk engagement justru memperdalam polarisasi dengan terus menyajikan konten yang sesuai dengan bias kita. Haidt menyebut ini sebagai "tribalisme 2.0" - bentuk primitif loyalitas kelompok yang diperkuat teknologi.

4. Fakta vs narasi: Mengapa cerita selalu menang?

ilustrasi (unsplash.com/@creativechristians)
ilustrasi (unsplash.com/@creativechristians)

Penelitian Haidt menunjukkan bahwa manusia lebih mudah menerima informasi yang disampaikan melalui cerita daripada data mentah. Ini menjelaskan mengapa konspirasi dan hoax politik begitu mudah menyebar. Narasi yang menyentuh fondasi moral (seperti pengkhianatan atau ketidakadilan) akan lebih cepat diterima, terlepas dari kebenarannya. Dalam satu eksperimen, peserta lebih percaya pada statistik yang dibungkus dalam cerita dramatis daripada data yang disajikan secara objektif.

5. Keluar dari labirin moral sendiri

ilustrasi (unsplash.com/@evangelineshaw)
ilustrasi (unsplash.com/@evangelineshaw)

Haidt menawarkan solusi sederhana namun sulit: berlatih mendengarkan. Dalam sebuah eksperimen, peserta yang diminta menjelaskan argumen lawan politik dengan baik justru menunjukkan peningkatan toleransi. Ini bukan tentang mengubah pendapat, melainkan memahami bahwa kebenaran memiliki banyak sisi. Latihan "berpikir seperti musuh" bisa menjadi vaksin terhadap fanatisme buta.

Debat politik yang tidak produktif bukanlah tanda kebodohan, melainkan cerminan cara kerja pikiran manusia yang telah berevolusi selama ribuan tahun. Dengan memahami mekanisme psikologis di balik perbedaan pendapat, kita bisa beralih dari debat yang memecah belah ke diskusi yang membangun.

Seperti kata Haidt, kebijaksanaan dimulai ketika kita menyadari bahwa setiap orang hanya melihat sebagian dari gajah yang sangat besar. Langkah pertama untuk berdebat lebih baik mungkin adalah berhenti sejenak dan bertanya: "Apakah saya sedang mendengarkan, atau hanya menunggu giliran berbicara?"

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anastasia Jaladriana
EditorAnastasia Jaladriana
Follow Us