Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Perdebatan Membingungkan soal Wewenang Perintah Penahanan Netanyahu

Benjamin Netanyahu menerima penghargaan Herman Kahn dari Hudson Institute. (commons.wikimedia.org/Hudson Institute)
Benjamin Netanyahu menerima penghargaan Herman Kahn dari Hudson Institute. (commons.wikimedia.org/Hudson Institute)

Sangat menarik dan sekaligus membingungkan, mengikuti debat tentang apakah Mahkamah Tribunal Internasional (ICC) di Den Haag, Negeri Belanda, mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan perintah penahanan kepada PM Netanyahu dan Menhan Gallant dari Israel. Keduanya memimpin penyerangan balasan terhadap Gaza yang merupakan tindakan genosida terhadap orang-orang Palestina, yang sampai sekarang sudah berjumlah lebih dari 40.000 orang, termasuk orang tua, perempuan dan anak-anak.

Penyerangan itu merupakan tindakan balasan terhadap serangan gerilyawan Palestina dengan bantuan Hezbollah yang didukung Iran terhadap Israel yang menyebabkan terbunuhnya 1.200 orang Israel, Oktober 2023 yang lalu.

Belum lama yang lalu Bapak Suci, Franciskus, juga menganjurkan agar dilakukan penelitian yang serius apakah memang tantara Israel melaksanakan genosida terhadap orang-orang Palestina, seperti di tahun empat puluhan Nazi Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Jahudi di sejumlah negara di Eropa. Israel belum lama yang lalu memperoleh dukungan dari Presiden Perancis Macron, yang mengatakan bahwa ICC tidak mempunyai hak untuk mengeluarkan perintah menangkap PM Netanyahu dan Menhan Gallant, karena Israel tidak mengakui Mahkamah Tribunal Den Haag tersebut.

Masalah di atas membingungkan, dan karena telah menelan korban jiwa puluhan ribu dan
gedung, termasuk gedung sekolah di Gaza dan Rafah Crossing, perbatasan Mesir menurut
pendapat saya tidak bisa dibiarkan tanpa ada penyelesaian. Tetapi buat PM Netanyahu
tampaknya beliau tidak peduli pendapat dunia, karena telah mengatakan sebelumnya
bahwa beliau tidak akan menghentikan serangan balik sampai melenyapkan Hamas dari
Israel. PM Netanyahu merasa seperti mendapat mandat dari nenek moyang yang menuntut balasan terhadap perlakuan Nazi atas orang-orang Jahudi dahulu, dan tidak nampak peduli bahwa pembunuhan sekarang dilancarkan terhadap orang-orang Palestina.

Dengan perkataan lain PM Netanyahu tidak peduli kalau tindakan ini dianggap genosida. PM Netanyahu memperoleh dukungan penuh dari Menteri Keamanan Israel Itamar Ben Gvir dan Menkeu Bezalel Smotrich, tetapi sebenarnya meskipun tidak keluar dari kabinet, Menhan Gallant sudah tidak lagi mendukung hal ini.

Saya jelas bukan ahli hukum, apalagi hukum internasional, akan tetapi mengatakan bahwa
suatu negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan sengaja melakukan
pembunuhan terhadap penduduk negara lain, apalagi termasuk orang tua, perempuan dan
anak-anak yang sama sekali tidak bersalah, karena negara tersebut tidak mendukung
Mahkamah Tribunal International, Den Haag, menurut saya itu suatu alasan yang sama
sekali tidak masuk akal dan karena itu tidak bisa diterima.

Mana ada negara yang secara suka rela menundukkan diri pada ketentuan Mahkamah Tribunal Internasional dan kemudian mekukan tidak seperti itu? Itu kan sama dengan menulis death warrant terhadap diri sendiri sebelum melakukan tindakan kriminal. Membunuh hanya dibenarkan kalau dilakukan anggota militer yang mempertahankan negaranya yang diserang negara lain dan dilakukan dalam pertempuran. Itu yang saya tahu. Di luar itu harus ada pertanggungjawaban. Memang kalau orang masih menundukkan diri pada Perjanjian Lama, ‘an eye for an eye ‘ ya demikian. Tapi apa masih ada yang percaya ajaran ini?

Saya belum mendengar perubahan sikap AS di bawah Presiden Biden. Presiden Biden selalu melihat Israel sebagai close ally, tetapi pada waktu yang sama juga mendorong PM
Netanyahu agar mengusahakan persetujuan untuk dapat hidup berdampingan antara Israel dan Palestina sebagai tetangga dan bukannya terus menerus berperang satu dengan yang lain.

Saya berharap Indonesia dibawah Presiden Prabowo bisa memaiankan peran untuk menjadi perantara yang mampu mendamaikan kedua belah pihak dan mengantar keduanya untuk bisa berunding dalam suasana damai untuk kemajuan kedua negara ini di masa depan. Semoga. (Dradjad, 07/12/2024).

Guru Besar ekonomi Emeritus FEBUI, Jakarta, dan Guru Besar Tamu Ekonomi Internasional, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapore.

Share
Topics
Editorial Team
J. S. Djiwandono
EditorJ. S. Djiwandono
Follow Us