Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Lewat GenRengers Educamp, Nordianto Perangi Bahaya Pernikahan Dini

Nordianto Hartoyo Sanan (kemenpora.go.id)
Nordianto Hartoyo Sanan

"Setiap semester, bisa 8 sampai 9 orang teman saya menghilang dari sekolah. Mereka tidak sekolah lagi, bahkan ada juga yang berdekatan dengan waktu ujian tiba-tiba menghilang. Setelah saya cari tahu, ternyata mereka dinikahkan oleh orangtuanya", ujar Nordianto pada sebuah wawancara.

Pernikahan dini banyak terjadi di Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, tempat asal pemuda bernama Nordianto Haryanto Sanan yang akrab disapa Anto. Kalimantan Barat termasuk daerah dengan angka pernikahan dini yang sangat tinggi, masuk tiga besar hingga tahun 2014.

Ketika itu, Anto kecil merasa resah melihat teman-temannya harus putus sekolah dan menikah lalu melahirkan di usia sangat muda. Hal serupa ternyata juga dialami ibu dari Anto sendiri yang menikah di usia 16 tahun hingga mengalami beberapa kali keguguran dan gangguan kesehatan reproduksi.

Fenomena pernikahan dini di Indonesia ibarat gunung es yang sebenarnya butuh penanganan serius, tapi seakan masih dianggap biasa. Tak hanya di daerah, masalah ini bahkan juga muncul di kota-kota besar yang seperti melihat pernikahan dini bukan lagi hal tabu.

1. Keresehan Anto kecil memang benar, data pernikahan dini di Indonesia begitu memprihatikan

ilustrasi pernikahan
ilustrasi pernikahan (pexels.com/Gabriel Jiménez)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 Ayat 1 mengatur bahwa usia yang sudah diperbolehkan untuk menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. WHO juga mengkategorikan pernikahan dini (early married) jika dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan yang masih masuk golongan anak-anak atau remaja dengan usia di bawah usia 19 tahun.

Namun faktanya, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2020 menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan kasus pernikahan dini yang tergolong tinggi, yakni sebesar 8,19 persen. Bahkan menurut data United Nations Children's Fund (UNICEF) 2023, Indonesia menempati peringkat empat dengan jumlah kasus perkawinan anak sebanyak 25,53 juta.

Rilis Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang mengutip data Pengadilan Agama selama tahun 2022 menyebutkan bahwa ada ada 55 ribu pengajuan dispensasi pernikahan pada usia anak-anak. Dispensasi diajukan orangtua yang menginginkan anaknya segera menikah karena sudah memiliki pacar atau hamil di luar nikah. Rata-rata dispensasi diajukan untuk anak-anak berstatus siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SMP.

2. Anto menyadari kompleksitas di balik pernikahan dini dan dampaknya yang jelas sangat berbahaya

ilustrasi masa depan anak
ilustrasi masa depan anak (pexels.com/Ahmed akacha)

Berdasarkan pengamatan Anto, banyak faktor yang menjadi penyebab angka perkawinan dini di Kalimantan Barat sangat tinggi. Kondisi keluarga yang kesulitan ekonomi menjadikan orangtua ingin segera menikahkan anak demi meringankan beban keluarga dan berharap anaknya mendapat kehidupan layak. Sementara, pendidikan yang rendah baik pada orangtua maupun anak membuat kebanyakan dari mereka tidak melakukan kalkulasi dampak pernikahan dini.

Selain itu, media massa dan kemudahan akses informasi juga turut berperan. Mengutip data BKKBN, usia seks anak muda cenderung semakin maju. Jika pada dekade 90an, remaja baru mengerti seks di usia 20 tahun ke atas, remaja di era ini justru sudah mengenal dan melakukan seks di luar nikah sejak usia 16-17 tahun.

“Kasus pernikahan dini bukan hanya karena dijodohkan dan keinginan orangtua. Tidak jarang  juga  karena anak perempuannya telah hamil di luar nikah. Saya menyaksikan sepertinya  normal saja, anak perempuan dinikahkan di usia muda."

Faktor lain yang tidak kalah berperan adalah adanya budaya dan tradisi yang sudah mengakar kuat, bahwa pernikahan dini merupakan hal wajar. Pada beberapa kelompok masyarakat, menolak lamaran juga dianggap sebagai hinaan sekalipun anak yang dilamar usianya masih di bawah 16 tahun.

Pernikahan dini memberikan lebih banyak dampak negatif bagi anak, salah satu yang paling berbahaya adalah tingginya risiko kematian ibu dan anak. Dampak-dampak lain pun memicu persoalan serius, mulai dari masalah kesehatan khususnya pada organ reproduksi, kasus bayi stunting, hingga minimnya kesiapan mental dalam menjalani pernikahan sehingga memicu pasangan muda akhirnya memilih bercerai.

3. Menjadi konselor sejak SMP, Anto menemukan misi untuk memerangi pernikahan dini

Tangkapan layar YouTube
Tangkapan layar YouTube (youtube.com/@nordiantohartoyosanan417)

Sejak tahun 2009, tepatnya saat duduk di bangku kelas 3 SMP, Anto sudah tertarik dengan isu-isu seksualitas pada remaja. Setelah mengikuti pelatihan dari PIK (Pusat Informasi dan Konseling) Remaja BKKN, Anto merasa menemukan apa yang dia cari selama ini. Dia mengikuti pelatihan-pelatihan tentang permasalahan dan isu-isu seputar kesehatan reproduksi remaja, termasuk masalah perkawinan anak.

Anto meneruskan ketertarikannya hingga SMA yang kemudian mengantarkan dia menjadi Konselor Muda untuk remaja di Provinsi Kalimantan Barat. Pada 2014, Anto mewakili Provinsi Kalimatan Barat dalam ajang pemilihan Duta Mahasiswa GenRe (Generasi Remaja) tingkat nasional dari BKKBN. Terpilih sebagai pemenang, Anto mendapatkan sejumlah uang dan menggunakan uang tersebut untuk touring selama dua bulan ke desa-desa di Kalimantan Barat. Dia berkeliling dengan motornya setiap akhir minggu, setelah jam kuliah. Dari perjalanan terjun langsung ke lapangan inilah, Anto menemukan betapa kompeksnya usaha untuk memerangi pernikahan dini. Di titik ini, Anto merasa bahwa kehadirannya sendiri saja tidak akan cukup.

“Saya harus menanamkan semangat perjuangan dan melahirkan pejuang-pejuang lokal di desa mereka untuk membantu teman-teman lain di daerah mereka tersebut."

Anto pun teringat kisah superhero yang kerap ditontonnya saat kecil. Keinginan untuk bisa membantu banyak orang muncul dalam benaknya. Dia yakin siapapun itu bisa mengambil peran untuk menjadi pahlawan di lingkungannya. Maka, pada akhir 2014 tersebut, Anto menggagas kelahiran GenRengers Educam, yaitu sebuah program kemah untuk memberikan edukasi dan pelatihan kepada remaja. 

4. GenRengers Educam hadir sebagai solusi dari grassroot yang benar-benar memahami kondisi di lapangan

Tangkapan layar YouTube
Tangkapan layar YouTube (youtube.com/@nordiantohartoyosanan417)

Lewat program GenRengers Educamp, Anto tidak serta-merta melarang anak muda untuk menikah. Tetapi, dia mengajarkan berbagai hal tentang kesehatan reproduksi, bahaya seks bebas, serta pentingnya kemandirian ekonomi dalam membangun rumah tangga. Hasil akhir yang diharapkan adalah banyak anak muda mampu menyerap informasi sehingga menyadari bahwa perkawinan usia muda memiliki banyak dampak buruk. 

Di tahap ini, Anto jelas tidak bisa bergerak sendiri. Dia bersama 20 relawan sebagai tim inti mengerjakan program yang dijalankan selama 3 hari 2 malam untuk memberikan edukasi dan pelatihan kepada para remaja dengan tiga hal pokok, yaitu:

  1. Remaja diajarkan bagaimana mengenal dan peduli terhadap diri sendiri, termasuk mengajarkan mengenai organ-organ reproduksi.
  2. Remaja diajarkan tentang kewirausahaan sebagai solusi dari masalah ekonomi yang menjadi penyebab tingginya angka pernikahan dini.
  3. Remaja diajarkan berkreasi dan berinovasi, serta memahami teknologi.

Dengan tiga program ini, diharapkan bisa mengurangi angka pernikahan dini dan melahirkan local champion atau kader-kader yang nantinya dapat meneruskan informasi yang didapat dari pelatihan ke lingkungan mereka masing-masing.

“Saya tidak bermimpi anak-anak ini dapat menolong jutaan remaja lainnya. Mimpi saya, mereka dapat selamat dahulu dan kemudian dapat menjadi role model bagi sebaya mereka dan akhirnya remaja lain akan mengikuti apa yang mereka kerjakan."

5. GenRengers Educamp yang digagas Anto berhasil memberi dampak dengan mengurangi angka pernikahan dini

Ilustrasi aksi yang berdampak
Ilustrasi aksi yang berdampak (freepik.com/mindandi)

Program GenRengers Educamp yang digagas Anto berhasil menunjukkan hasil nyata. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2017, Kalimantan Barat mengalami penurunan jumlah perempuan menikah di bawah umur 18 tahun dari 104/1.000 menjadi 39/1.000. Program GenRengers Educamp berhasil mengedukasi sekitar 400 remaja per tahun dan menjadikan mereka duta GenRengers di 14 kabupaten dan kota di Kalimantan Barat. 30 remaja dari tiap kabupaten dan kota yang terlibat program tersebut juga berhasil menyelesaikan SMA dan perguruan tinggi.

Program GenRengers Educamp pun terus berkembang hingga pada tahun 2019 program ini sudah direduplikasi di 5 provinsi dan 24 kabupaten/kota. Atas kepeduliannya untuk memerangi pernikahan dini, Anto pun pernah mendapatkan beasiswa Euroweek Youth Leader di Polandia.

Hal membanggakan lainnya adalah keberhasilan salah satu peserta GenRengers Educamp bernama Adinda Aisyah Nindyani. Aisyah yang ketika itu duduk di bangku SMP tidak hanya meneruskan perjuangan Anto, tetapi juga mendapatkan kesempatan mengikuti pertukaran pelajar selama hampir 10 bulan di Westfield High School di Washington, Amerika Serikat. Prestasi Aisyah pun semakin membuktikan bagaimana kemunculan local champion yang digagas oleh Anto dapat menjadi solusi nyata untuk semakin meredam angka pernikahan dini.

6. Dedikasi Anto pada isu pernikahan dini begitu besar hingga mendapat penghargaan dari ASTRA

Nordianto Hartoyo Sanan (kemenpora.go.id)
Nordianto Hartoyo Sanan

Kontribusi Anto melalui GenRengers EduCamp telah membuat perubahan nyata, yaitu penurunan angka pernikahan dini di Kalimantan Barat. Semangat perubahan yang diusung sejalan dengan semangat ASTRA yang kemudian menganugerahkan SATU Indonesia Awards kepada Anto pada tahun 2018. Menjadi perhelatan yang ke-14, SATU Indonesia Awards mengambil tema: Perubahan Hari ini Untuk Indonesia Lebih Baik.

Perjuangan Anto terbukti memberikan dampak yang sangat besar. Memerangi pernikahan dini berarti ikut serta mewujudkan keluarga-keluarga yang berkualitas, yang harapannya dapat melahirkan generasi anak bangsa yang berkualitas pula.

Keberhasilan Anto juga tidak lepas dari kepekaannya yang luar biasa dalam menangkap isu sosial di sekitarnya, dari teman-teman sekolah bahkan pengalaman ibunya sendiri. Meski tidak bisa dimungkiri bahwa melihat teman-temannya yang "hilang" dan ibunya yang sakit-sakitan adalah pengalaman pahit. Namun, Anto tetap berusaha untuk kuat dan bangkit bergerak memikirkan misi besarnya memerangi pernikahan dini. Hal ini tentunya bisa menjadi penyemangat bagi generasi muda untuk bergerak membuat perubahan, mulai dari langkah-langkah kecil yang bisa jadi sangat bermakna.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us

Latest in Life

See More

4 Perempuan Hebat Raih Penghargaan L’Oréal–UNESCO For Women in Science

13 Nov 2025, 22:03 WIBLife