"Seperti yang kalian tahu, hambatan terbesar dari lingkungan kita salah satunya adalah foodways. Foodways itu lekat sekali dengan kehidupan sederhana, lekat sekali dengan keseharian kita. Tapi, jika dibalut dengan sustainability, rasanya itu kayak kepentingan orang yang jauh di sana, bukan urusan ibu-ibu di rumah tangga saja," katanya.
Sensasi Membaca Buku di Rumah Presiden, Terasa Damai dan Sejuk!

- Usai silent reading, para narasumber berkumpul, mendiskusikan topik sustainability, dan menyaksikan peluncuran buku “Climate Action 101: Indonesia’s Guide for Newbies”. Acara ini menjadi wadah bagi lebih dari 200 pengunjung yang disebut sebagai Cucu Intelektual untuk bertukar pandangan tentang permasalahan berkelanjutan masa kini.
Jakarta, IDN Times - Minggu sore (26/10/2025) sekitar pukul 14.30 WIB, kawasan Patra Kuningan diguyur hujan deras. Derasnya tak hanya membuat bumi basah, tapi menyegarkan udara siang yang sempat menyengat. Di sebuah perpustakaan dengan separuh dinding kaca dan separuhnya lagi rak kayu megah dengan bentuk mezzanine, puluhan orang berkumpul. Mereka duduk di atas bantal lantai. Masing-masing hening dalam buku yang dibacanya.
Udara menjadi semakin dingin di ruang itu ketika suhu hujan di luar, diguyur sejuknya AC di dalam. Ada yang duduk di dekat rak buku, sebagian duduk di dekat miniatur pesawat terbang. Sesekali, mereka itu membenarkan posisi duduknya agar tidak pegal dan tetap fokus pada deretan kata di lembar demi lembar buku. Ada pula yang nyaris merebahkan tubuhnya di atas bean bag. Tapi, tetap saja suasananya terasa damai dan sejuk.
1. Suasana membaca di Perpustakaan Habibie Ainun

Tidak terasa, sejam telah berlalu. Momen silent reading yang digelar pada acara Ruang Baca Cucu Intelektual "Untuk Peradaban yang Lebih Baik" di Wisma Habibie & Ainun, Patra Kuningan, Jakarta Selatan, usai. Ya, kami semua baru saja merasakan sensasi membaca buku di rumah presiden. Lebih tepatnya, di Perpustakaan Habibie & Ainun, perpustakaan milik Presiden Republik Indonesia ketiga, BJ Habibie.
Rak buku kayu tingkat dengan tangga melingkar berwarna keemasan, jadi daya tarik utama ruang itu. Pengunjung yang datang ke sana, selalu suka pada sudut itu. Taman hijau di belakang dinding kaca serta sepasang kolam ikan kaca sebelum pintu masuk, turut membuat nuansa perpustakaan menjadi syahdu. Yang unik, dengan latar belakang pendidikan di bidang teknik, Habibie lebih banyak mengoleksi buku tentang agama, budaya, dan peradaban. Untuk saat ini, buku-buku yang jumlahnya mencapai 5.000 itu, belum diperbolehkan disentuh dan dibaca oleh pengunjung.
Sebelum sesi silent reading dimulai, suasana sempat menjadi meriah saat host saat itu, Ifan Ohsi, mengantarkan pengunjung mencicipi rempang. Makanan ini adalah pisang yang dipotong dadu dan digoreng dengan tepung seakan-akan itu adalah rempeyek kacang. Alkisah, Habibie saat itu ingin menikmati rempeyek. Sayangnya, ia memiliki pantangan makan kacang demi menjaga kesehatannya. Kokinya yang bernama Sigit, mencari siasat dan terciptalah rempang.
Di samping suguhan kudapan rempang, masih ada bakwan jagung yang terasa gurih seperti mengandung campuran telur. Untuk minumannya, ada es kelapa muda cincau yang manisnya terasa segar.
2. Usai membaca, para narasumber berkumpul, mendiskusikan topik sustainability, dan menyaksikan peluncuran buku

Di balik kegiatan silent reading atau membaca senyap sebelumnya, rupanya ada semangat untuk menyampaikan pentingnya gaya hidup berkelanjutan di tengah krisis iklim global. Hal ini terwujud nyata lewat diskusi sekaligus peluncuran buku “Climate Action 101: Indonesia’s Guide for Newbies”. Peluncuran buku ini merupakan kolaborasi antara The Habibie Center (THC), Society of Renewable Energy (SRE), Pear Press, dan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Acara yang digelar pada dua hari itu, yakni 25 dan 26 Oktober, sejatinya menjadi wadah bagi lebih dari 200 pengunjung yang disebut sebagai Cucu Intelektual (istilah yang sering digunakan Habibie untuk menyebut pemuda-pemudi Indonesia). Mereka bertukar pandangan tentang permasalahan berkelanjutan masa kini dengan melibatkan pihak-pihak strategis serta menggunakan bahasa yang dipahami oleh kelompok terkait.
Dalam kehidupan rumah tangga, misalnya. Putri Habibie (konten kreator memasak dan Ambassador Wisma Habibie & Ainun) menyebut bahwa rumah tangga adalah garda utama dari kesuksesan sustainability dunia.
3. Isu krisis iklim berdampak pada semua kalangan masyarakat. Kita wajib memilih tindakan yang bisa mengurangi dampaknya

Isu lingkungan, termasuk krisis iklim, merupakan cakupan isu sustainability yang paling kentara. Jika selama ini pembahasan sustainability sampai di titik keilmuan atau STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) saja, perspektif sosial pun sudah seharusnya bisa masuk ke dalamnya.
Aufar Satria (Commissioner, Board of Advisors SRE) yang saat itu menjadi moderator, menyampaikan bahwa setiap tindakan kita perlu dipertimbangkan konsekuensinya terhadap iklim. "Wajib bagi kita untuk memilih tindakan yang dapat secara aktif mengurangi dampaknya, sekecil apa pun bentuknya.” Baginya, menangani isu krisis iklim harus terus dilakukan berbarengan, bahkan sampai di tingkat ruang pribadi.
Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Hujan deras tidak lagi mengguyur. Rangkaian acara Ruang Baca Cucu Intelektual "Untuk Peradaban yang Lebih Baik" pun usai. Para pengunjung berhamburan ke setiap sudut perpustakaan untuk berfoto. Selain kenangan memasuki rumah presiden dan pengalaman membaca di perpustakaannya, tidak lupa ada ilmu tentang sustainability yang bisa mereka bawa pulang selepas diskusi tadi.


















