Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Sisi Lain Self-Improvement yang Bisa Jadi Perangkap Psikologis

ilustrasi semangat belajar (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi semangat belajar (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Self-improvement sering dianggap sebagai langkah positif untuk hidup yang lebih terarah dan penuh makna. Banyak orang merasa bahwa memperbaiki diri adalah tanda kedewasaan, semangat belajar, sekaligus bukti bahwa mereka punya visi besar untuk masa depan. Di balik manfaatnya, proses ini juga dapat menumbuhkan rasa percaya diri yang lebih sehat, menguatkan motivasi, serta membantu seseorang memahami potensi dirinya. Gak heran kalau tema pengembangan diri selalu jadi pembicaraan menarik di media sosial maupun buku-buku populer.

Namun, gak semua yang tampak positif selalu bebas risiko. Self-improvement ternyata punya sisi gelap yang jarang dibicarakan, dan justru bisa menggerogoti kondisi psikologis secara perlahan. Obsesi berlebihan terhadap versi terbaik diri kadang mendorong seseorang masuk ke jebakan perbandingan, standar tidak realistis, bahkan rasa bersalah yang berlebihan.

Alih-alih memberi ketenangan, hal ini malah menciptakan tekanan mental baru. Inilah beberapa sisi lain self-improvement yang sebaiknya diwaspadai agar proses pengembangan diri tetap sehat dan manusiawi.

1. Terjebak dalam perfeksionisme

ilustrasi wanita frustasi (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi wanita frustasi (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Perfeksionisme sering terlihat sebagai tanda ambisi yang tinggi. Namun, ketika dorongan untuk menjadi sempurna terlalu kuat, hal itu justru bisa memicu stres dan rasa frustrasi. Seseorang yang terjebak dalam pola pikir ini biasanya sulit menerima kesalahan, meski hanya kecil sekalipun. Hal ini menimbulkan siklus yang melelahkan, karena standar yang ditetapkan gak pernah terasa cukup.

Akibatnya, self-improvement berubah menjadi obsesi yang kaku, bukannya proses alami yang penuh fleksibilitas. Setiap kekurangan dianggap sebagai kegagalan besar yang harus segera diperbaiki. Kondisi seperti ini membuat seseorang lupa bahwa belajar justru lahir dari kesalahan yang manusiawi. Pada akhirnya, perfeksionisme bisa jadi jebakan psikologis yang menutup peluang untuk merasa puas dengan diri sendiri.

2. Perbandingan sosial yang merusak

ilustrasi aktif media sosial (pexels.com/Vlada Karpovich)
ilustrasi aktif media sosial (pexels.com/Vlada Karpovich)

Di era media sosial, membandingkan diri dengan orang lain terasa semakin mudah. Melihat pencapaian orang lain bisa memotivasi, tapi juga bisa membuat hati goyah. Saat self-improvement dijalankan dengan pola pikir kompetitif, seseorang bisa merasa dirinya selalu tertinggal. Perasaan ini lama-lama mengikis harga diri dan menguatkan rasa cemas.

Perbandingan sosial yang gak sehat juga mendorong lahirnya ilusi bahwa kebahagiaan hanya datang setelah mencapai standar tertentu. Padahal, realita setiap orang berbeda dan jalur perkembangan diri gak bisa dipukul rata. Kalau terus-menerus mengukur diri lewat pencapaian orang lain, self-improvement justru menjelma menjadi tekanan mental. Bukannya tumbuh, malah semakin merasa kekurangan.

3. Self-improvement sebagai bentuk pelarian

ilustrasi wanita belajar (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi wanita belajar (pexels.com/cottonbro studio)

Ada kalanya orang menjadikan self-improvement sebagai tameng untuk menutupi masalah lain yang lebih mendasar. Misalnya, fokus pada produktivitas untuk menghindari rasa kesepian, atau tenggelam dalam rutinitas belajar demi lari dari luka emosional. Sekilas tampak positif, tapi sebenarnya ini hanya bentuk pelarian. Masalah yang tidak pernah dihadapi akan tetap ada, meski dibungkus dengan aktivitas pengembangan diri.

Ketika self-improvement dijadikan pelarian, maka manfaat sejatinya justru hilang. Bukannya menumbuhkan kesadaran diri, malah menambah tumpukan beban yang tak terselesaikan. Self-improvement seharusnya hadir sebagai sarana refleksi, bukan sekadar alat penutup luka yang enggan dirawat. Pada titik tertentu, sikap ini justru menunda penyembuhan yang sebenarnya sangat dibutuhkan.

4. Ketergantungan pada validasi eksternal

ilustrasi cemas saat kerja (pexels.com/Ketut Subiyanto)
ilustrasi cemas saat kerja (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Self-improvement seringkali menumbuhkan rasa bangga ketika hasilnya terlihat oleh orang lain. Namun, bahaya muncul saat seluruh usaha pengembangan diri bergantung pada pujian, pengakuan, atau validasi eksternal. Ketika semua pencapaian selalu diukur dari seberapa besar respon orang lain, proses yang seharusnya menyehatkan justru berubah menjadi sumber kecemasan baru. Ketiadaan apresiasi bisa membuat seseorang merasa usahanya sia-sia, padahal nilai sesungguhnya ada pada perubahan internal yang dialami.

Lebih jauh, ketergantungan pada validasi eksternal juga menciptakan pola hidup yang rapuh. Motivasi hanya muncul ketika ada sorotan, bukan karena dorongan tulus dari dalam diri. Dalam jangka panjang, hal ini menggerus kemampuan untuk merasa cukup dengan diri sendiri. Self-improvement pun kehilangan esensi utamanya, karena lebih fokus pada citra luar ketimbang pertumbuhan batin.

5. Kehilangan identitas asli

ilustrasi bosan kerja remote (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi bosan kerja remote (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Obsesi memperbaiki diri terkadang membuat seseorang terlalu sibuk mengikuti standar luar. Akibatnya, identitas asli bisa terkikis sedikit demi sedikit. Seseorang yang terjebak dalam kondisi ini mulai sulit membedakan mana yang benar-benar menjadi keinginan pribadinya dan mana yang hanya hasil dari tekanan sosial. Perlahan, mereka membangun versi diri yang lebih sesuai ekspektasi orang lain daripada mendengarkan suara hati sendiri.

Kehilangan identitas asli membuat proses self-improvement terasa seperti memakai topeng yang melelahkan. Bukannya merasa semakin otentik, justru semakin asing dengan diri sendiri. Hal ini berbahaya karena tanpa pijakan jati diri yang kuat, semua pencapaian terasa hampa. Akhirnya, perjalanan pengembangan diri yang mestinya membebaskan justru mengekang kebebasan batin.

Self-improvement tetaplah hal yang positif, tapi penting disadari bahwa proses ini bukan sekadar mengejar citra sempurna. Ada sisi-sisi yang bisa menjadi perangkap psikologis bila dijalani tanpa keseimbangan dan refleksi mendalam. Dengan mengenali potensi jebakan tersebut, perjalanan pengembangan diri bisa dijalani dengan lebih sehat, tulus, dan membahagiakan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ananda Zaura
EditorAnanda Zaura
Follow Us

Latest in Life

See More

[QUIZ] Pilih Tokoh Upin dan Ipin untuk Lihat Seberapa Introvert Kamu

14 Sep 2025, 17:15 WIBLife