5 Alasan Punya Love Language yang Sama Bisa Picu Konflik, Kok Bisa?

- Ekspektasi terlalu tinggi ke pasangan.
- Cara ekspresi bisa berbeda meski love language-nya sama.
- Jadi kurang mengapresiasi usaha pasangan.
Pernah gak kamu ngerasa udah cocok banget sama pasangan karena love language kalian sama, tapi ternyata hubungan justru sering ribut? Padahal katanya punya bahasa cinta yang sama itu ideal dan bikin hubungan makin romantis. Nyatanya, kenyataan gak selalu seindah teori, apalagi kalau ekspektasi mulai gak sejalan.
Banyak orang berpikir punya love language yang sama itu otomatis bikin hubungan harmonis. Tapi justru karena merasa “udah sama”, banyak pasangan jadi gak peka atau malah saling menuntut. Yuk, simak kenapa punya bahasa cinta yang sama bisa jadi bumerang dalam hubungan!
1. Ekspektasi terlalu tinggi ke pasangan

Saat kamu tahu love language kalian sama, biasanya muncul ekspektasi bahwa pasangan pasti tahu cara membahagiakanmu. Misalnya, kalau sama-sama suka “words of affirmation”, kamu berharap dia terus ngasih pujian atau kata-kata manis. Tapi saat itu gak terjadi, kamu bisa merasa kecewa banget.
Padahal, belum tentu dia mengekspresikannya dengan cara yang kamu bayangkan. Bisa aja caranya berbeda walaupun love language-nya sama. Ekspektasi tinggi yang gak dikomunikasikan ini sering jadi pemicu konflik dalam hubungan percintaan.
2. Cara ekspresi bisa berbeda meski love language-nya sama

Love language “acts of service” misalnya, bisa dimaknai beda oleh tiap orang. Kamu mungkin merasa disayang kalau pasangan bantu cuci piring, tapi dia menganggap membelikanmu makanan adalah bentuk perhatian. Padahal sama-sama tindakan, tapi gak selalu nyambung satu sama lain.
Nah, perbedaan tafsir ini bisa bikin salah paham. Kamu bisa merasa dia gak ngerti kamu, padahal dia pikir udah melakukan hal yang benar. Konflik love language ini sering muncul karena komunikasi yang kurang jelas.
3. Jadi kurang mengapresiasi usaha pasangan

Karena merasa udah satu bahasa, kamu jadi jarang mengapresiasi pasangan. Kamu anggap itu hal biasa karena kalian memang sepaham. Lama-lama, pasangan bisa merasa usahanya gak dihargai.
Rasa “taken for granted” ini sering jadi sumber masalah kecil yang menumpuk. Padahal, apresiasi kecil kayak bilang “makasih” tetap penting meski bahasa cinta kalian sama. Dalam hubungan, saling menghargai gak boleh dianggap sepele.
4. Gak terbuka sama love language lain
.jpg)
Fokus ke satu love language kadang bikin kamu lupa kalau ada cara lain buat menunjukkan cinta. Misalnya, kamu dan pasangan sama-sama suka quality time, tapi malah lupa pentingnya physical touch atau hadiah kecil. Akhirnya hubungan jadi monoton dan kurang variatif.
Padahal, keberagaman cara mencintai bisa memperkuat hubungan. Coba lebih terbuka dan fleksibel dalam mengekspresikan kasih sayang. Bahasa cinta yang sama bukan berarti harus terpaku di situ terus-menerus.
5. Rentan jadi ajang membandingkan siapa yang lebih effort

Karena kalian punya bahasa cinta yang sama, kamu bisa jadi terlalu sadar siapa yang lebih sering menunjukkan cinta lewat cara itu. Misalnya, kamu selalu memberi kata-kata manis, tapi merasa pasanganmu jarang melakukannya balik. Lama-lama jadi ajang hitung-hitungan effort.
Padahal, cinta itu gak seharusnya dihitung kayak skor. Kalau kamu mulai merasa lebih “berjuang”, bisa muncul rasa kesal dan kecewa. Bahasa cinta yang sama bisa bikin kamu lebih sensitif terhadap ketimpangan, kalau gak diiringi komunikasi yang sehat.
Punya love language yang sama itu bisa jadi kekuatan, tapi juga bisa jadi jebakan kalau gak disadari sejak awal. Intinya, kunci hubungan sehat bukan cuma dari kesamaan, tapi dari bagaimana kalian saling memahami dan beradaptasi. Yuk, mulai lebih peka, hargai usaha pasangan, dan jangan lupa komunikasikan kebutuhanmu dengan cara yang baik!