Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Contoh Hubungan Cinta yang Transaksional, Seperti Apa? 

ilustrasi pasangan (pexels.com/Vera Arsic)
ilustrasi pasangan (pexels.com/Vera Arsic)
Intinya sih...
  • Hubungan transaksional sering didasarkan pada keuntungan finansial, membuat salah satu pihak merasa dimanfaatkan.
  • Hubungan demi status sosial cenderung penuh kepalsuan dan kurang fondasi emosional yang kuat.
  • Ada juga hubungan yang terjebak karena perasaan berutang budi, tanpa dasar rasa cinta yang tulus.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di dunia ini, gak semua hubungan dibangun atas dasar cinta yang tulus. Ada juga yang lebih mirip transaksi, di mana salah satu atau kedua pihak mengharapkan sesuatu sebagai timbal balik. Hubungan kayak gini sering kali terlihat harmonis di luar, tapi di dalamnya penuh perhitungan.

Sebenarnya, hubungan transaksional gak selalu buruk, tapi kalau semua aspek didasarkan pada keuntungan semata, maka itu bisa jadi tanda bahaya. Nah, berikut ini beberapa contoh hubungan cinta yang bersifat transaksional dan bisa bikin kamu berpikir ulang soal arti hubungan yang sehat.

1. Hubungan berdasarkan materi

ilustrasi pasangan (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi pasangan (pexels.com/Mikhail Nilov)

Ini adalah bentuk hubungan transaksional yang paling umum. Salah satu pihak, atau bahkan keduanya, menjalin hubungan dengan tujuan utama mendapatkan keuntungan finansial. Bisa berupa pasangan yang selalu meminta hadiah mahal, hanya mau jalan di tempat mewah, atau bergantung sepenuhnya pada pasangannya secara finansial tanpa ada usaha untuk membangun kemandirian. Hubungan ini lebih terasa seperti kontrak bisnis daripada cinta, karena ketika uang atau fasilitas hilang, hubungan pun ikut goyah.

Dalam jangka panjang, hubungan seperti ini bisa membuat salah satu pihak merasa dimanfaatkan. Ada juga kasus di mana seseorang terus menerus memberi, berharap bisa membeli cinta pasangannya. Tapi sayangnya, cinta sejati gak bisa diukur dengan uang. Ketika salah satu pihak berhenti memberikan keuntungan materi, hubungan pun biasanya langsung berakhir. Ini menunjukkan kalau hubungan tersebut memang sejak awal hanya berbasis transaksi, bukan perasaan.

2. Hubungan demi status sosial

ilustrasi pasangan (pexels.com/S and S Love Story)
ilustrasi pasangan (pexels.com/S and S Love Story)

Ada juga orang yang menjalin hubungan hanya karena ingin menaikkan status sosial mereka. Misalnya, seseorang memilih pasangan bukan karena cinta, tapi karena pasangannya berasal dari keluarga kaya, terkenal, atau memiliki koneksi yang bisa membantu karier mereka. Hubungan ini sering kali terlihat sempurna dari luar, penuh dengan pamer kebahagiaan di media sosial, tapi di dalamnya penuh dengan kepalsuan.

Masalahnya, hubungan seperti ini gak punya fondasi emosional yang kuat. Ketika status sosial yang diharapkan gak bisa lagi didapatkan, atau ketika ada pasangan lain yang lebih menguntungkan secara status, hubungan ini bisa hancur dalam sekejap. Lebih buruk lagi, hubungan seperti ini cenderung membuat seseorang kehilangan jati diri karena hanya berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan pasangannya.

3. Hubungan yang berdasarkan balas budi

ilustrasi pasangan (pexels.com/Dax Dexter Delada)
ilustrasi pasangan (pexels.com/Dax Dexter Delada)

Kadang, seseorang merasa terjebak dalam hubungan hanya karena merasa berutang budi. Bisa karena pasangannya pernah menolongnya dalam keadaan sulit, membiayai pendidikannya, atau memberikan bantuan besar lainnya. Perasaan ini bisa berkembang menjadi keterpaksaan untuk tetap bertahan dalam hubungan, meskipun sebenarnya gak ada rasa cinta yang tulus.

Hubungan seperti ini bisa terasa berat karena salah satu pihak selalu merasa berkewajiban untuk membalas kebaikan pasangannya. Padahal, hubungan yang sehat harusnya didasarkan pada keinginan untuk bersama, bukan karena rasa bersalah atau tanggung jawab semata. Kalau hanya bertahan karena takut dianggap gak tahu balas budi, maka hubungan ini gak akan memberikan kebahagiaan jangka panjang.

4. Hubungan demi keuntungan emosional

ilustrasi pasangan (pexels.com/Vera Arsic)
ilustrasi pasangan (pexels.com/Vera Arsic)

Ada juga hubungan yang bersifat transaksional secara emosional. Salah satu pihak hanya mencari pasangan untuk mendapatkan validasi, perhatian, atau dukungan emosional tanpa benar-benar berusaha memberikan hal yang sama. Ini sering terjadi pada orang-orang yang memiliki rasa tidak aman tinggi dan butuh seseorang untuk terus meyakinkan mereka bahwa mereka berharga.

Dalam jangka panjang, hubungan ini bisa melelahkan. Pasangan yang selalu memberikan dukungan emosional tanpa mendapatkan hal yang sama bisa merasa terkuras dan akhirnya kehilangan semangat dalam hubungan. Cinta yang sehat harus berjalan dua arah, di mana kedua belah pihak saling mendukung, bukan hanya satu pihak yang terus memberi.

5. Hubungan yang hanya berdasarkan fisik

ilustrasi pasangan (pexels.com/ Ba Tik)
ilustrasi pasangan (pexels.com/ Ba Tik)

Banyak juga hubungan yang dijalin hanya karena ketertarikan fisik semata. Pasangan yang hanya bersama karena daya tarik fisik cenderung gak memiliki koneksi emosional yang kuat. Hubungan ini sering kali penuh dengan gairah di awal, tapi ketika ketertarikan fisik mulai berkurang, hubungan pun perlahan memudar.

Masalahnya, daya tarik fisik gak bisa bertahan selamanya. Jika gak ada hal lain yang mengikat, seperti kesamaan nilai, kepercayaan, atau visi hidup, maka hubungan ini gak akan bertahan lama. Hubungan yang sehat butuh lebih dari sekadar ketertarikan fisik. Perasaan, komitmen, dan komunikasi adalah hal yang jauh lebih penting untuk membangun hubungan jangka panjang.

Gak ada yang salah dengan menerima keuntungan dalam hubungan, selama itu dilakukan secara seimbang dan gak hanya satu pihak yang terus memberi. Masalah muncul ketika hubungan hanya didasarkan pada transaksi semata tanpa adanya ketulusan. Hubungan yang sehat harusnya memberi rasa nyaman, bukan beban. Kalau kamu merasa hubunganmu lebih mirip transaksi daripada cinta, mungkin sudah saatnya untuk mengevaluasi apakah itu benar-benar yang kamu inginkan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Annisa Nur Fitriani
EditorAnnisa Nur Fitriani
Follow Us