Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Hukum Mengembalikan Seserahan karena Batal Nikah setelah Lamaran

Ilustrasi pernikahan Islam (Pexels.com/Dio Helmy Ardham)
Intinya sih...
  • Lamaran dalam Islam tidak mengikat, hanya janji perkawinan yang bisa dibatalkan
  • Mahar dan seserahan dapat ditarik kembali jika pernikahan dibatalkan sebelum akad nikah
  • Pihak laki-laki berhak meminta kembali mahar karena tujuannya sebagai imbalan kepada perempuan

Dalam Islam, proses lamaran atau khitbah dilakukan sebelum memasuki akad pernikahan. Khitbah merupakan cara untuk menunjukkan keinginan pihak laki-laki atau perempuan untuk menikah sekaligus memberitahu pada wali. 

Meski lamaran tidak mengikat, namun banyak orang memberi hadiah, tukar cincin, atau melakukan seserahan pada momen ini. Lantas, bagaimana bila pernikahan dibatalkan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak setelah lamaran?

1. Hukum mahar seserahan apabila lamaran batal

ilustrasi seserahan pernikahan (instagram.com/seserahan_by_rosearbor)

Lamaran merupakan janji perkawinan, bukanlah akad yang mengikat, sebagaimana disampaikan dalam pemaparan di laman NU Online. Lamaran tidak mengikat karena prosesi ini bermakna pertemuan dua keluarga untuk merencanakan pernikahan sehingga tak ada konsekuensi apabila perjanjian tersebut batal.

Termasuk untuk seserahan, apabila mahar telah diserahkan terlebih dahulu dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, maka bisa ditarik kembali apabila perkawinan dibatalkan. Hal ini merujuk pada hukum Islam berikut ini: 

“Lamaran itu hanya janji perkawinan, bukan akad yang mengikat. Masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut berhak untuk mengurungkan rencananya yang telah disepakati. Pembuat syariat (Allah) tidak menetapkan sanksi material bagi pihak yang menyalahi janji karena pembatalannya meskipun tindakan demikian dianggap sebagai akhlak tercela dan pelakunya disifatkan sebagai orang munafik kecuali jika ada sejumlah hal situasi darurat yang memaksanya untuk menyalahi janji tersebut,” (Lihat Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, [Kairo, Al-Fathu lil I‘lam Al-Arabi: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 20).

2. Siapakah yang berhak memiliki mahar apabila pernikahan batal?

ilustrasi cincin seserahan (instagram.com/seserahan_by_rosearbo)

Kepemilikan mahar dapat beralih dari pihak laki-laki ke pihak perempuan apabila telah melangsungkan akad pernikahan. Apabila belum akad, maka mahar itu murni milik pihak laki-laki. Hal ini tak hanya merujuk pada mahar, namun juga seserahan yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan selama proses lamaran. 

Meski pembatalan pernikahan merupakan perbuatan tercela, namun kepemilikan mahar masih menjadi hak orang yang memberikan, yakni pihak laki-laki. Hal ini merujuk pada hukum Islam di bawah ini: 

“Sedangkan (utuh atau sebagian) mahar yang diserahkan lebih dulu saat lamaran (sebelum akad nikah) oleh pihak laki-laki yang melamar, boleh diminta kembali apakah mahar itu masih ada, rusak, atau sudah digunakan. Kalau sudah habis atau sudah digunakan, maka mahar itu dikembalikan dalam bentuk nilainya jika barang itu dapat dinilai dengan nominal, dan dikembalikan dengan barang sejenis bila barang serupa itu mudah ditemukan, apapun sebabnya baik dari pihak laki-laki yang melamar maupun dari pihak perempuan yang dilamar. Hukum ini disepakati secara fiqih,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 26).

3. Apakah perlu mengembalikan seserahan dan mahar jika pernikahan batal?

ilustrasi seserahan lamaran (instagram.com/seserahan_by_rosearbor)

Pihak laki-laki yang telah memberikan mahar kepada perempuan, berhak untuk meminta kembali. Sebab, tujuan mahar adalah imbalan dari pihak laki-laki kepada perempuan sehingga apabila tidak terwujud, maka kepemilikannya tidak sah dan wajib dikembalikan pada pemiliknya. 

Hal tersebut merupakan penjelasan yang dipaparkan dalam NU Online. Sejalan dengan keterangan tersebut, Syekh Wahbah Az-Zuhayli turut menerangkan bahwa perkawinan yang gagal di tengah perjalanan, tidak memiliki konsekuensi apa pun. 

Semua penjelasan di atas juga berlaku untuk barang seserahan yang dimaksudkan sebagai mahar. Sementara beberapa ulama memiliki pandangan berbeda terkait barang seserahan yang tidak dimaksudkan untuk mahar. Untuk itu, dianjurkan kedua belah pihak mendiskusikan hal ini secara kekeluargaan. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dina Fadillah Salma
Febriyanti Revitasari
Dina Fadillah Salma
EditorDina Fadillah Salma
Follow Us