Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

AHY Instruksikan Kader Demokrat Kaji Pemisahan Pemilu Nasional-Lokal

1000136933_11zon.jpg
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). (IDN Times/Amir Faisol)
Intinya sih...
  • Demokrat membuka komunikasi dengan partai lain terkait pemisahan pemilu
  • DPR didesak segera bahas RUU Pemilu oleh pakar hukum
  • Perintah MK ke DPR sudah menumpuk, termasuk soal pelanggaran pembagian bansos dan netralitas penyelenggara pemilu
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (SBY) menginstruksikan kadernya untuk mengkaji pemisahan pemilu tingkat nasional dan lokal menyusul adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/2024.

Herman mengatakan, hasil kajian itu nantinya akan didiskusikan bersama fraksi-fraksi lain di parlemen. AHY meminta kader Demokrat untuk mengkaji aspek peraturan perundang-undangan terkait sistem kepemiluan Indonesia.

"Ketua Umum sudah memberikan instruksi kepada kami bahwa untuk mendalami situasi ini, kemudian hal-hal yang sifatnya teknis dan non-teknis, kemudian dari sisi peraturan perundang-undangan, kemudian bagaimana juga menggali dari Undang-Undang Dasar sebagai landasan utama konstitusi kita," kata Herman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/8/2025).

"Ini sedang kami dalami terus, dan tentu pada akhirnya nanti akan kami bicarakan bersama dengan fraksi-fraksi lain di DPR," sambung dia.

1. Demokrat buka komunikasi bareng parpol lain terkait pemisahan pemilu

Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Demokrat, Herman Khaeron (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Demokrat, Herman Khaeron (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Herman menambahkan, pihaknya juga sudah berkomunikasi dengan fraksi-fraksi partai lain di parleme untuk mendalami pemisahan pemilu nasional dan lokal yang diperintahkan oleh MK.

Kendati, pembahasan antar fraksi ini masih belum final. Menurut dia, DPR akan membahas secara serius melalu revisi undang-undang pemilu, undang-undang pilkada, dan bahkan mungkin undang-undang partai politik.

"Kami sudah ada komunikasi. Kami komunikasi dengan partai-partai lain, bagaimana menyikapinya, tentu belum final. Ini kan masih dalam tahap mengkaji," kata dia.

2. DPR didesak segera bahas RUU Pemilu

Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini sebut putusan MK soal ambang batas pencalonan presiden merupakan keputusan yang monumental. (IDN Times/Fauzan)
Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini sebut putusan MK soal ambang batas pencalonan presiden merupakan keputusan yang monumental. (IDN Times/Fauzan)

Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI segera merevisi undang-undang pemilu. Hal ini menyusul keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135 tahun 2024. Adapun dalam amar putusan tersebut, MK memerintahkan agar pelaksanaan pemilu antara rezim nasional dan lokal dipisah.

"Semakin lama direvisi maka semakin banyak diyakini uji materi ke MK. Karena kenapa karena masyarakat tidak punya saluran untuk ikut berpartisipasi dalam reformasi hukum pemilu," kata Titi Anggraini.

Titi mengatakan, saat ini terjadi sejumlah tantangan yang muncul paska keluarnya putusan MK 135/2024. Pertama, telah terjadi kekosongan hukum karena putusan MK 135/2024 belum ditiindak lanjut serius oleh pembentuk UU.

Kedua, kalau pembahasan perubahan UU pemilu di parlemen molor dan dilakukan secara tertutup, tergesa-gesa, dan tidak partisipatif, maka berpotensi terhadap kurangnya legitimasi. Ketiga, tuntutan bersaing karena ada kepentingan dari para pihak yang mau menjadi penjabat.

"Di Indonesia ini pasca putusan 135 yang kita hadapi setidaknya adalah kekosongan hukum. Dan ketidakpastian hukum karena belum ada tindak lanjut dari putusan MK," kata dia.

3. Perintah MK ke DPR sudah menumpuk

Titi Anggraini, perempuan tangguh 2024 yang menginspirasi. (IDN Times/Tata Firza)
Titi Anggraini, perempuan tangguh 2024 yang menginspirasi. (IDN Times/Tata Firza)

Di sisi lain, Titi juga menegaskan, judicial orders atau perintah MK ke pembentuk undang-undang yang telah diberikan kewenangan melakukan rekayasa konstitusi sudah terlalu menumpuk. MK telah memberikan judicial orders pada sengketa hasil pilpres tidak dilakukan untuk pengaturan Pilkada 2024. Konsekuensinya, MK lebih tegas di dalam menindak soal pelanggaran pembagian bansos atau netralitas penyelenggara pemilu.

Selain itu, pengaturan keserentakan akhir masa jabatan seleksi penyelenggara pemilu juga sudah menjadi judicial orders MK dalam putusan 120/2022.

"Kata MK seleksi penyelenggara pemilu tidak boleh dilakukan dalam tahapan pemilu harus dilakukan di luar tahapan pemilu. Maka harus diatur dalam UU," kata dia.

Judicial orders lainnya adalah rekonstruksi ambang batas parlemen sebagai tindaklanjut putusan MK 116/2023, yang hingga sekarang juga belum ada tindak lanjut secara serius di parlemen. "Jadi yang dibutuhkan adalah sebenarnya kepatuhan kita semua, konsistensi kita semua di dalam berkonstitusi dan membiasakan budaya konstitusi," kata dia.

"Kalau publik diminta patuh pada tadi, putusan 55/2020, putusan nomor 90/2023, soal syarat usia, maka hal yang sama juga dibutuhkan dari institusi dan kelembagaan penyelenggaraan negara kita, termasuk para politisi kita," imbuh dia lagi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us