Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa itu Kondisi Darurat Militer dan Kapan Bisa Diterapkan?

(Dokumentasi TNI AD)
Ilustrasi ketika prajurit TNI Angkatan Darat (AD) melakukan patroli skala besar di ibu kota Jakarta. (Dokumentasi TNI AD)
Intinya sih...
  • Pihak yang berhak menentukan kondisi menjadi darurat militer adalah presiden
  • Situasi yang membuka celah diberlakukan darurat militer
  • Indonesia pernah dua kali alami darurat militer
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Demonstrasi yang berujung ricuh dan meluas hingga ke kota-kota lain di Tanah Air memicu spekulasi pemerintah segera menyatakan keadaan negara dalam bahaya. Bila itu yang terjadi, maka pemerintah dapat memberlakukan aturan darurat militer.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan, darurat militer sebagai keadaan darurat suatu wilayah yang dikendalikan oleh militer sebagai pemimpin tertinggi. Dengan demikian, militer ditempatkan sebagai penanggung jawab pemerintahan sementara.

Dasar hukum yang digunakan oleh pemerintah untuk menyatakan keadaan di Tanah Air dalam keadaan darurat militer adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya.

Di dalam aturan itu, keadaan bahaya diberikan penetapan level. Pertama, darurat sipil, kedua darurat militer, dan ketiga keadaan perang.

Pasal 8 ayat 3 mengatakan, bila suatu wilayah dikategorikan masuk ke darurat sipil, maka penguasa darurat sipil adalah kepala daerah. Kepala daerah memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan situasi pada umumnya.

Di dalam Pasal 14 tertulis, kepala daerah selaku penguasa darurat sipil dapat menyuruh pejabat kepolisian untuk menggeledah setiap tempat meski ditentang oleh individu yang memiliki atau menghuni properti tersebut.

"Penguasa darurat sipil dapat menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa," demikian isi Pasal 14 ayat (1) itu.

1. Pihak yang berhak menentukan kondisi menjadi darurat militer adalah presiden

1000006514-Photoroom.png
Presiden Prabowo Subianto ketika melantik Letjen TNI Djon Afriandi sebagai Panglima Kopassus di Batujajar. (www.instagram.com/@penkopassus)

Lebih lanjut, di dalam Pasal 1 ayat (1) tertulis dengan jelas pihak yang berhak menyatakan keadaan suatu negara darurat militer adalah presiden.

"Presiden atau panglima tertinggi angkatan perang yang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang," demikian isi pasal tersebut.

Presiden pula yang berhak mengakhiri suatu keadaan tak lagi dalam kondisi bahaya. Di dalam Perppu tersebut tidak tertulis presiden perlu berkonsultasi lebih dulu dengan parlemen sebelum menyatakan darurat militer. Meskipun, keputusan untuk menetapkan darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada 2003 diprotes karena seharusnya tetap melewati konsultasi lebih dulu dengan DPR.

Hal itu tertulis di dalam Undang-Undang Pertahanan Negara Pasal 14 ayat (2). Pasal itu berbunyi 'dalam hal pengerahan kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menghadapi ancaman bersenjata, maka kewenangan presiden itu harus mendapat persetujuan DPR.'

2. Situasi yang membuka celah diberlakukan darurat militer

Ilustrasi prajurit TNI (tniad.mil.id)
Ilustrasi prajurit TNI (tniad.mil.id)B

Berdasarkan Perppu Nomor 23 Tahun 1959, ada beberapa penyebab sehingga kebijakan darurat militer dapat dijustifikasi, yakni:

  1. Keamanan atau ketertiban hukum, di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa
  2. TImbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan di Indonesia dengan cara apapun juga
  3. Hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata dikhawatirkan ada gejala-gejala yang membahayakan hidup negara

3. Indonesia pernah dua kali alami darurat militer

IMG_20250901_102208.jpg
Ilustrasi seorang prajurit TNI di Jawa Tengah. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Sebelumnya, Indonesia sudah pernah dua kali mengalami keadaan bahaya darurat militer. Pertama pada 1999 di Timor Timur dan kedua pada 2003 di Aceh. Peristiwa itu terjadi dalam dua kepemimpinan presiden yang berbeda.

A. Darurat Militer Timor Timur

Darurat Militer di Daerah Provinsi Timor Timur diberlakukan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107 Tahun 1999. Kondisi darurat militer di Timor Timur berlaku pada 7 September 1999. Keppres yang ditetapkan di Jakarta tersebut ditandatangani oleh Presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie atau BJ Habibie, sehari sebelumnya atau 6 September 1999. 

Kemudian, keppres dicabut melalui Keppres Nomor 112 Tahun 1999 tentang Pencabutan Keppres Nomor 107 Tahun 1999 tentang Keadaan Darurat Militer di Daerah Provinsi Timor Timur. Pencabutan dilakukan pada 23 September 1999. 

B. Darurat Militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Sementara, darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam diatur dalam Keppres Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Beleid tersebut diteken oleh Megawati Soekarnoputri pada 19 Mei 2003. 

Saat itu, darurat militer diberlakukan untuk menghadapi GAM yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Status darurat diterapkan karena kondisinya semakin buruk dengan tindak kekerasan bersenjata yang mengarah pada terorisme

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah Sunariyah
EditorSunariyah Sunariyah
Follow Us