Bivitri: Usulan Pilgub Lewat DPRD Tak Bakal Turunkan Biaya Politik

- Pakar hukum tata negara menolak usulan pemilihan kepala daerah lewat DPRD untuk mengatasi politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan.
- Mayoritas calon kepala daerah di Pilkada 2024 bukan calon organik, mereka hanya boneka hasil kreasi dengan dukungan elite parpol.
- Koordinator Komite Pemilih Indonesia menyatakan elektabilitas calon kepala daerah tidak terangkat tanpa endorsement tokoh tertentu, yang akan memengaruhi kinerja pemimpin daerah dan anggaran negara.
Jakarta, IDN Times - Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti tidak sepakat dengan usulan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), agar konsep pemilihan kepala daerah dikembalikan lewat DPRD. Usulan itu tidak akan mengatasi substansi isu pilkada yakni politik berbiaya tinggi atau politik uang.
"Ini gimana analisisnya? Kalau mau menganalisa hukum dan kebijakan, maka kita harus lihat akar masalahnya apa. Kebijakan itu selalu menyasar akar masalah, bukan menyasar gejala. Gejala orang yang berkurang partisipasinya di TPS (Tempat Pemungutan Suara), bukan berarti semua digebyah uyah," ujar Bivitri ketika dihubungi pada Sabtu (7/12/2024).
"Jadi, ibaratnya kalau ada tikus di lumbung, tikusnya ya kita cari bukan lumbungnya kita bakar," imbuhnya.
Pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, kata Bivitri, tidak akan menghapus praktik politik uang hingga penyalahgunaan kekuasaan. "Semua praktik itu malah akan pindah ke DPRD. Cuma akan lebih elite. Hal ini menurut saya lebih mengerikan," katanya.
Sedangkan, dalam praktik pilkada langsung, calon kepala daerah masih bisa mengerem agar tidak terlalu mencolok melakukan praktik politok uang.
1. Mayoritas calon kepala daerah adalah boneka politik

Poin lain yang disorot oleh Bivitri yaitu mayoritas calon kepala daerah yang maju di Pilkada 2024 bukan lah calon organik. Mereka tidak dikenal oleh publik di daerahnya dan berani maju karena dapat dukungan dari elite parpol.
"Ibaratnya mereka ini seperti boneka hasil kreasi. Mereka gak akan punya jiwa dan pikiran. Mereka tidak punya gagasan tentang daerahnya karena banyak di antara mereka bukan calon organik. Yang dibutuhkan untuk menang adalah support dari kreatornya," kata Bivitri.
Bentuk support itu bisa disampaikan secara verbal melalui video. Bivitri menyinggung video dukungan yang direkam oleh Prabowo terhadap pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin. Selain itu, ada pula dukungan dalam bentuk logistik atau uang.
"Calon pemimpin daerah yang seperti ini bukan fokus bagaimana cara menyejahterakan atau membahagiakan warganya. Fokus mereka hanya mencaplok sumber daya," tutur dia.
2. Calon kepala daerah yang maju karena endorsement harus balas budi

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jerry Sumampouw juga menyampaikan pendapat yang senada dengan Bivitri. Dalam Pilkada 2024, sosok calon kepala daerah juga menjadi faktor penting.
Maka, kata Jerry, tak heran bila elektabilitas calon kepala daerah tidak terangkat ketika kampanye dilakukan sehingga perlu dibantu lewat endorsement tokoh-tokoh tertentu. Meski demikian, endorsement tersebut tidak gratis.
"Orang yang dipilih karena endorsement sudah pasti dia akan bayar utang ke orang-orang yang mendukungnya. Kalau dia gak bisa bayar utangnya sendiri, ujung-ujungnya akan korupsi meskipun tidak semua praktik korupsi akan terungkap. Karena tipikal orang yang maju karena endorsement, biasanya hanya mengejar jabatan semata," kata Jerry di Jakarta pada Sabtu kemarin.
Ia pun memberikan contoh kabinet gemuk Prabowo-Gibran. Dalam pandangannya, alasan Prabowo menyiapkan 48 posisi menteri karena terlalu banyak orang yang berkontribusi dalam pemenangannya dulu di pilpres.
"Sehingga, dia harus bayar itu. Padahal, Indonesia sedang mengalami krisis keuangan. Tapi, pemerintahnya gak punya kepekaan terhadap isu-isu ini," tutur dia.
3. Waketum PKB usulkan agar gubernur dipilih saja oleh DPRD

Usulan agar pilkada dihapuskan salah satunya disampaikan oleh Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Jazilul Fawaid. Menurut elite PKB itu, dengan pemilihan lewat DPRD bakal menghemat anggaran.
Jazilul mencontohkan biaya Pilgub Jawa Barat yang mencapai Rp1 triliun pada Pilkada serentak 2024.
"Itu bukan anggaran yang kecil. Kalau yang Rp1 triliun itu diberikan ke salah satu kabupaten di salah satu provinsi, di NTT misalnya, itu bisa membuat ekonomi bangkit," kata Jazilul di Jakarta pada 28 November 2024 lalu.
Jazilul menyebut bahwa otonomi daerah sejatinya diberikan kepada kabupaten/kota sehingga pilkada langsung cukup di tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu, pilkada secara langsung di tingkat provinsi harus dievaluasi.
Wakil Ketua Umum PKB itu mengatakan demokrasi harus tetap berjalan dan rakyat harus mendapat kesempatan untuk partisipasi. Kendati demikian, penggunaan anggaran harus tetap menjadi perhatian.
Persoalan biaya politik itu, kata Jazilul, harus menjadi pembicaraan di antara partai-partai politik. Pembahasan itu bisa pada momen revisi paket undang-undang politik dengan sistem omnibus law, yang menggabungkan UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Pilkada.