Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Cara Bawaslu Daerah Awasi Hak Pilih bagi Pekerja di Luar Negeri

IMG_20251009_111312.jpg
Komisioner Bawaslu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Hasan Basri bersama Komisioner Bawaslu Lombok Timur, Jauhari Marjan saat melakukan uji petik pemutakhiran data pemilih berkelanjutan (dok. Istimewa)
Intinya sih...
  • Bawaslu melakukan kampanye untuk merubah pandangan masyarakat terhadap politik uang
  • TKI dan TKW tetap punya hak pilih, jika dihalangi bisa dikenakan sanksi pidana
  • Uji petik dilakukan untuk mencegah terjadinya anomali data pada daftar pemilih.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di tingkat daerah melakukan pengawasan terhadap pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. Hal ini salah satunya dilakukan oleh Bawaslu Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bawaslu Lombok Timur dengan melakukan uji petik pada Kamis (9/10/2025).

Adapun karakteristik warga di Lombok Timur beragam, di antaranya ada sebuah desa yang warganya bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri. Mereka tentu masih memiliki hak pilih saat pemungutan suara. Namun fenomena ini juga rawan terjadinya anomali data dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Lombok Timur, Johari Marjan menjelaskan upaya agar pemilih yang bekerja di luar negeri ini tetap terdata sebagai pemilih. Salah satu yang dilakukan dengan menggelar uji petik, yakni melakukan pengawasan dan konfirmasi langsung ke masyarakat secara acak.

Kemudian terkait jika ada warga yang bekerja di luar negeri ini, maka Bawaslu melakukan pendataan dan mengonfirmasi langsung ke kerabat.

"Kita kalau di Bawaslu ya itu kalau yang TKI kita buatkan kode bahwa ini yang menjadi TKI. Kami di Bawaslu langsung mengonfirmasi ke keluarganya, menanyakan langsung ini kira kira baliknya kapan. Itu yang kira kira kami lakukan, sehingga kita bisa tahu," kata dia kepada IDN Times.

Marjan mengatakan, warga yang bekerja di luar negeri dan masuk dalam DPT tetap tercatat sebagai pemilih yang memenuhi syarat.

Namun saat melakukan pengawasan di lapangan, Bawaslu terkendala jika ada TKI maupun TKW yang tidak memiliki legalitas administrasi.

"Ini TKI ada dua macam, ada yang legal ada juga yang ilegal, nah yang ilegal ini kan gak bisa kita punya datanya, karena kalau yang legal kan kita bisa koordinasi dengan pihak dinas transmigrasi misalkan, nah ini yang kita lakukan. Kemudian apakah bertabrakan atau enggak, ya di DPT tetap ada, tetapi kalau kita punya basis datanya ya kita kasih kode jadi kalau itu ternyata, dia tetap hidup ya di DPT-nya tetap hidup," tuturnya.

1. Upaya tekan politik uang

Ilustrasi politik uang. (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi politik uang. (IDN Times/Arief Rahmat)

Marjan lantas menjelaskan, tugas Bawaslu pasca Pemilu 2024 dan menjelang Pemilu 2029 yang terhitung masih empat tahun lagi. Bawaslu daerah, khususnya di Lombok Timur saat ini berupaya melakukan kampanye untuk merubah pandangan masyarakat terhadap politik uang dan mau berpartisipasi mengawasi pelanggaran pemilu

"Saya selalu mengatakan kegiatan Bawaslu ini kan merubah paradigma, terutama terkait tentang dampak money politik, bagaimana mereka memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam hal ini melaporkan pelanggaran pemilu," ungkapnya.

Marjan menilai, mengubah masyarakat ini harus berkelanjutan, tidak bisa instan. Ia mencontohkan, Bawaslu Lombok Timur membuat program sosialisasi ke sekolah. Dia berharap pemilih pemula aktif membantu Bawaslu menjadi agen informan mengawasi tahapan pemungutan suara.

"Dalam konteks kerja kami ya harus continue dilakukan karena kalau mau merubah paradigma ini tidak bisa instan. Jadi Itu menurut kami ya Bawaslu harus keluar dari wilayah kantor, tetapi harus terjun langsung ke masyarakat untuk mendapatkan informasi informasi langsung dari masyarakat," imbuh dia.

2. TKI dan TKW tetap punya hak pilih

ilustrasi Tenaga Kerja Indonesia (IDN Times/Nathan Manaloe).
ilustrasi Tenaga Kerja Indonesia (IDN Times/Nathan Manaloe).

Sementara, Komisioner Bawaslu Provinsi NTB, Hasan Basri menegaskan TKI dan TKW tetap punya hak pilih. Bahkan jika hak pilihnya dihalangi maka bisa dikenakan sanksi pidana.

"Boleh dia punya hak pilih. Namanya kan masuk dalam DPT begitu nanti sebelum hari H dia datang, dia punya hak untuk melakukan memilih. Boleh, justru kalau menghalangi-halangi dia untuk tidak memilih, ada pidananya. Karena sekali lagi memilih itu adalah hak, ini harus dipahami dulu, bukan kewajiban. Memilih itu adalah hak. Namanya hak, bisa dia gunakan, bisa dia tidak gunakan," ucap dia kepada IDN Times.

"Terkait ada warga NTB Yang melakukan kerja di luar negeri, kemudian nanti dia akan pulang sementara namanya ada dalam DPT wajib hukumnya dia itu dilayani," lanjutnya.

Adapun, uji petik dilakukan Bawaslu untuk mencegah terjadinya anomali data pada daftar pemilih. Kasus ini biasanya rawan terjadi jelang pemungutan suara, di mana terdapat kejanggalan atau ketidaksesuaian pada data pemilu. Penyebabnya beragam, mulai dari kesalahan input data, kegagalan sistem IT, kesalahan sistem pemutakhiran data, hingga upaya kecurangan

Hasan menjelaskan, uji petik ini dilakukan dengan melakukan pengawasan dan konfirmasi langsung ke masyarakat secara acak. Dalam hal ini, Bawaslu mengerahkan jajaran di tingkat kabupaten/kota.

"Dalam proses pemutahiran daftar pemilih berkelanjutan, Bawaslu melakukan pengawasan langsung. Kenapa harus dilakukan uji petik, jadi sebelum ke uji petik itu, teman-teman KPU RI kan mendapat data dari Kemendagri. Kemudian KPU RI menyampaikan data-data itu kepada KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota untuk melakukan sinkronisasi. Kemudian mereka melakukan coktas namanya, pencocokan terbatas. Proses-proses itulah yang diawasi oleh Bawaslu Kabupaten/Kota," tuturnya.

Hasan menuturkan, Bawaslu memahami bahwa data dari Kemendagri yang diberikan kepada KPU, tidak dapat diakses oleh Bawaslu. Namun, Bawaslu tetap berupaya untuk memperoleh data pemilih. Oleh sebab itu uji petik diselenggarakan dengan mengacu pada data pemungutan suara terakhir yakni Pemilu dan Pilkada 2024.

Pemutakhiran data pemilih berkelanjutan ini dilakukan secara rutin oleh jajaran Bawaslu kabupaten/kota setiap tiga bulan sekali. Kemudian secara berjenjang ke tingkat provinsi enam bulan sekali dan di tingkat pusat setiap setahun sekali.

"Kami paham itu karena itu mekanisme kami menghormati itu. Tetapi sebagai seorang pengawas, tidak boleh kehilangan arah walaupun tidak memiliki data. Karena bagi kami, data yang dikirim oleh Kemendagri kepada KPU itu, sumber datanya itu adalah pemilu dan atau pemilihan terakhir. Atau kan sumber datanya dari pemilu 2019 atau 2024 dan pilkada terakhir. Nah, itu kami punya sumber data dari situ. Kami lakukanlah uji petik," ungkap Hasan.

3. Kendala awasi pemutakhiran data pemilih

IMG_20251009_110715.jpg
Komisioner Bawaslu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Hasan Basri bersama Komisioner Bawaslu Lombok Timur, Jauhari Marjan saat melakukan uji petik pemutakhiran data pemilih berkelanjutan (dok. Istimewa)

Bawaslu pun menjelaskan, uji petik ini dilakukan untuk memvalidasi data, apakah pemilih yang terdata pada pemungutan suara terakhir tersebut masih memenuhi syarat (MS) atau tidak memenuhi syarat (TMS).

Pemilih MS sendiri misalnya, ada warga yang baru berusia 17 tahun sehingga sudah masuk sebagai pemilih. Selain itu, ada pula warga yang menjadi pemilih baru karena merupakan pensiunan aparat TNI-Polri.

"Kategorinya cuma dua. Pemilih memenuhi syarat dan pemilih tidak memenuhi syarat. Pemilih memenuhi syarat itu masuk dalam pemilih baru. Misal, orang yang berumur 17 tahun, dia kan pemilih baru. Atau TNI-Polri yang sudah pensiun, kan dia masuk dalam pemilih baru. Pemilih baru, dia baru bisa menjadi pemilih," tutur Hasan.

Sementara pemilih yang TMS misalnya ada peralihan status dari masyarakat sipil menjadi anggota TNI-Polri. Selain itu, pemilih yang ternyata meninggal dunia juga masuk kategori TMS.

"Yang kedua, pemilih tidak memenuhi syarat. Ya tadi misalnya yang dulu, dia masih sipil. Dia beralih status menjadi TNI-Polri sehingga harus dihapus datanya sebagai pemilih. Yang kedua, dulu dia belum meninggal dunia. Tapi sekarang dia meninggal dunia," jelas Hasan.

Nantinya pemilih yang dinyatakan TMS dan MS namun belum masuk data pemilih tersebut, akan menjadi temuan Bawaslu. Kemudian data itu akan menjadi saran perbaikan yang diberikan kepada KPU.

Hasan lantas mengungkap berbagai kendala yang dialami Bawaslu saat melakukan pemutakhiran data pemilih. Kendala pertama, terkait dengan data pemilih yang tidak diberikan oleh KPU.

"Idealnya data by name by address yang diturunkan oleh Kemendagri kepada KPU, kami harus pegang. Ideal, itu salah satu kendalanya. Akhirnya kami mengambil ide, mengambil cara adalah mengambil data pemilu atau pilkada terakhir," tutur dia.

"Bisa saja data yang kami pegang, berbeda dengan data yang dipegang oleh teman-teman KPU. Tapi Bawaslu bukan di situ. Kami punya prinsip adalah, setiap warga negara yang sudah memiliki hak pilih, maka wajib hukumnya dia masuk dalam daftar pemilih. Itu yang kita dorong. Begitupun pemilih atau warga yang tidak memiliki syarat, meninggal dunia, harus dikeluarkan dari daftar," sambungnya.

Kendala kedua terkait dengan kurangnya antusiasme masyarakat. Mengingat pemutakhiran data pemilih berkelanjutan ini dilakukan di luar tahapan pemilu maupun pilkada.

"Beda kayak pemilu, pilkada kan semua bergerak ini. Caleg bergerak, partai politik bergerak, tim sukses bergerak. Karena euforianya tinggi. Jadi apa istilahnya, suasana kebatinannya itu dia berbeda. Antara suasana kebatinan ada pesta dengan tidak ada pesta," ungkap Hasan.

Kemudian ketiga, kendala yang dialami karena kurangnya jumlah personel sumber daya manusia. Sehingga pengawasan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan ini tidak bisa dilakukan secara menyeluruh. Oleh sebab itu, sistem uji petik dilakukan.

Hasan menjelaskan, personel Bawaslu yang dikerahkan di luar tahapan ini tidak bisa dikerahkan sebanyak ketika pemilu dan pilkada berlangsung.

"Kalau ada pemilu dan pilkada, itu jumlah pasukan Bawaslu sampai ke pengawas desa, Panwascam ada. Kan (kalau banyak) nggak perlu seharusnya dari Bawaslu Provinsi, cukup dengan pengawas desa kan. Kalau saat pemilu ada pengawas desanya. Kita mau turun ke dusun itu tinggal cek TPS berapa. Ada pengawas TPS-nya. Jadi, data yang kita kumpulkan itu pasti banyak karena SDMnya infrastrukturnya itu banyak. Kalau sekarang kan hanya levelnya dari kabupaten," imbuhnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in News

See More

Perludem Usul Bawaslu Diubah Jadi Badilu, Ini Alasannya

11 Okt 2025, 15:04 WIBNews