Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Gelombang PHK Mengintai hingga 2026, DPR Desak Keran Impor Diperketat

Gelombang PHK Mengintai hingga 2026, DPR Desak Keran Impor Diperketat
Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menggelar FGD membahas MBG di Blora. (IDN Times/Fariz Fardianto)
Intinya sih...
  • Permendag 8/2024 dianggap jadi biang masalah masalah PHK
  • Keran impor harus dibatasi, permendag 8/2024 harus direvisi
  • Tingginya biaya produksi membuat harga barang tidak kompetitif
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menilai gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) berpotensi meningkat hingga akhir 2025, dan berlanjut pada 2026. Ia mengatakan fenomena ini bisa terjadi jika tidak ada langkah korektif dari pemerintah.

Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sepanjang Januari hingga November terdapat 79.302 pekerja kehilangan pekerjaannya. Hal ini dipicu lemahnya pertumbuhan ekonomi yang hanya bergerak di kisaran 5 persen.

“Ini bukan sekadar data statistik, tetapi gambaran nyata tekanan ekonomi yang dirasakan pekerja dan dunia usaha,” ujar Edy kepada wartawan, Jumat (26/12/2025).

1. Permendag 8/2024 jadi biang masalah

Gelombang PHK Mengintai hingga 2026, DPR Desak Keran Impor Diperketat
ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)

Edy menjelaskan sektor pengolahan menjadi penyumbang terbesar PHK, disusul sektor perdagangan dan pertambangan. Salah satu pemicu utama adalah terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang membuka arus impor secara luas.

Aturan ini berdampak terhadap produk lokal, terutama di sektor tekstil, alas kaki, dan industri padat karya, kalah bersaing dengan produk impor yang lebih murah dan diminati pasar domestik.

Selain itu, penurunan upah riil pekerja sejak 2018 hingga 2024 seperti dicatat Bank Dunia, telah menekan daya beli buruh. Hal ini tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal III 2025 yang hanya 4,89 persen atau masih di bawah 5 persen.

“Daya beli yang melemah berdampak pada penurunan konsumsi barang dan jasa, menekan produksi, dan berujung pada PHK lanjutan," ujar dia.

2. Keran impor harus dibatas, permendag 8/2024 harus direvisi

Gelombang PHK Mengintai hingga 2026, DPR Desak Keran Impor Diperketat
ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)

Edy juga menyoroti masih tingginya biaya produksi. Kondisi ini membuat harga barang dan jasa tidak kompetitif sehingga produk sulit terserap pasar dan dunia usaha terpaksa melakukan efisiensi tenaga kerja.

Menurut Edy, pertumbuhan ekonomi yang lemah turut memengaruhi pembukaan lapangan kerja dan keberlangsungan usaha. Iklim investasi yang belum membaik menyebabkan jumlah lapangan kerja baru, khususnya formal, sangat terbatas.

“Pemerintah harus segera memetakan persoalan PHK ini dan mengambil langkah konkret,” tuturnya.

Legislator Dapil Jaw Tengah III itu mendorong revisi Permendag 8/2024. Menurutnya, keran impor harus dibatasi agar tidak mematikan produk lokal, penurunan suku bunga perbankan untuk industri padat karya, pemberian insentif pajak dan harga energi, serta perpanjangan stimulus ekonomi seperti PTKP di angka Rp10 juta.

3. Iklim investasi harus ditata ulang

Anggota Komisi IX DPR Edy Wuryanto soroti pentingnya rantai pasok lokal untuk MBG. (Dok. DPR RI)
Anggota Komisi IX DPR Edy Wuryanto soroti pentingnya rantai pasok lokal untuk MBG. (Dok. DPR RI)

Edy juga meminta pemerintah menyediakan pinjaman berbunga murah bagi perusahaan yang kesulitan modal kerja. Selain itu, ia mendorong negosiasi ulang dengan kreditor bagi perusahaan yang dipailitkan melalui dukungan atau penjaminan pembayaran utang agar usaha masih bisa diselamatkan dan lapangan kerja tidak hilang.

Dalam jangka menengah, perbaikan iklim investasi menjadi kunci peningkatan lapangan kerja. Edy mendorong pemberian insentif pajak dan kemudahan perizinan bagi investor baru, termasuk mengajak investor mengelola aset perusahaan pailit dengan skema insentif pajak jangka panjang, seperti pada kasus Sritex.

Di sisi lain, peran KBRI juga perlu dioptimalkan untuk memasarkan peluang investasi di sektor potensial seperti pariwisata dan pertanian.

Edy mengingatkan, meningkatnya PHK akan berdampak langsung pada pengangguran terbuka dan kemiskinan. Data BPS Agustus 2025 menunjukkan pembukaan lapangan kerja hanya 1,99 juta, didominasi sektor informal.

“Lapangan kerja formal yang sedikit dan tidak berkualitas akan memperburuk perlindungan pekerja dan meningkatkan risiko kemiskinan baru,” kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
Rochmanudin Wijaya
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in Business

See More

Menkeu Terima Rp6,62 T Hasil Sitaan Kejagung, Bisa untuk Tekan Defisit

26 Des 2025, 23:13 WIBBusiness